Khotbah Kristus di Bukit oleh William Perkins

Pendahuluan:

Khotbah di Bukit (The Sermon on the Mount) adalah salah satu bagian paling terkenal dan mendalam dari ajaran Yesus Kristus, yang tercatat dalam Injil Matius 5-7. Khotbah ini mencakup berbagai aspek kehidupan Kristen, mulai dari etika, moralitas, hingga hubungan dengan Allah dan sesama. William Perkins, seorang teolog Puritan terkemuka dari abad ke-16, memberikan perhatian khusus pada Khotbah di Bukit dalam karyanya, menawarkan analisis yang mendalam dan teologis terhadap ajaran Yesus ini.
Khotbah Kristus di Bukit: Analisis dan Pemahaman oleh William Perkins
Dalam artikel ini, kita akan menggali pemahaman Perkins tentang Khotbah di Bukit, dengan fokus pada interpretasi teologisnya, relevansinya dalam konteks Puritanisme, dan aplikasinya bagi kehidupan Kristen.

1. Latar Belakang William Perkins

William Perkins adalah salah satu teolog Puritan paling berpengaruh pada zamannya. Lahir pada tahun 1558, Perkins mengajar di Universitas Cambridge dan menjadi terkenal karena tulisannya yang luas tentang teologi Reformed. Salah satu karya utamanya adalah "The Art of Prophesying," di mana ia menekankan pentingnya pengajaran Alkitab yang akurat dan aplikasi praktis dari ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Perkins hidup dalam konteks Reformasi Inggris, di mana terdapat ketegangan antara Gereja Inggris dan kelompok-kelompok reformis seperti Puritan. Puritan, termasuk Perkins, berusaha memurnikan praktik dan doktrin gereja agar lebih sesuai dengan Alkitab. Khotbah di Bukit menjadi salah satu fokus utama Perkins karena ajaran ini menyajikan panduan moral dan etika yang mendalam, yang sangat relevan dengan upaya Puritan untuk membentuk masyarakat yang lebih saleh dan berpusat pada Allah.

2. Interpretasi Perkins tentang Khotbah di Bukit

Perkins mendekati Khotbah di Bukit dengan pemahaman bahwa ini bukan sekadar ajaran etis, tetapi juga sebuah cetak biru untuk kehidupan Kristen yang didasarkan pada transformasi batiniah dan ketaatan kepada Allah. Dia melihat Khotbah di Bukit sebagai inti dari pengajaran moral Yesus, yang dirancang untuk mengarahkan hati orang percaya kepada kehidupan yang berkenan kepada Tuhan.

a. Makna Bahagia dalam "Ucapan Bahagia" (The Beatitudes)

Perkins memulai analisisnya dengan bagian pertama dari Khotbah di Bukit, yang dikenal sebagai Ucapan Bahagia (Matius 5:3-12). Ucapan Bahagia mencakup serangkaian pernyataan yang dimulai dengan "Berbahagialah," yang menunjukkan kondisi kebahagiaan sejati dalam pandangan Allah.

Menurut Perkins, kata "berbahagia" (blessed) dalam konteks ini tidak hanya merujuk pada kebahagiaan duniawi, tetapi lebih kepada keadaan diberkati secara rohani, yang melibatkan hubungan yang benar dengan Allah. Misalnya, ketika Yesus mengatakan, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga," Perkins menafsirkan ini sebagai kebahagiaan yang berasal dari kerendahan hati dan pengakuan akan kebutuhan akan kasih karunia Allah. Ini menekankan pentingnya sikap batin yang benar sebagai dasar dari kehidupan Kristen yang sejati.

Perkins juga menekankan bahwa setiap ucapan bahagia adalah paradoks dalam pandangan duniawi. Dunia mungkin melihat kemiskinan, kesedihan, dan penganiayaan sebagai hal yang negatif, tetapi Yesus mengajarkan bahwa keadaan ini membawa berkat ketika dilihat dari perspektif kerajaan Allah. Perkins melihat ini sebagai pengajaran yang mendalam tentang bagaimana umat Kristen harus menilai hidup mereka, tidak berdasarkan standar dunia, tetapi berdasarkan standar Allah yang kekal.

b. Hukum yang Digenapi dalam Kristus

Perkins juga memberikan perhatian khusus pada bagian Khotbah di Bukit yang membahas hubungan antara hukum Taurat dan ajaran Yesus (Matius 5:17-20). Yesus mengatakan, "Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya."

Menurut Perkins, ini adalah pernyataan kunci dalam pemahaman teologis tentang hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Yesus, dalam pandangan Perkins, tidak datang untuk membatalkan hukum Allah, tetapi untuk menggenapinya, baik dalam arti pemenuhan nubuat mesianis maupun dalam memperdalam makna moral dari hukum itu sendiri.

Perkins menafsirkan bahwa penggenapan hukum oleh Kristus berarti bahwa umat Kristen dipanggil untuk hidup dalam ketaatan yang lebih dalam dan penuh kasih kepada Allah. Ini tidak berarti bahwa hukum Taurat tidak relevan, tetapi bahwa hukum tersebut menemukan maknanya yang sesungguhnya dalam Kristus. Oleh karena itu, Perkins menekankan bahwa ajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit harus dipahami sebagai penjelasan yang lebih mendalam dan spiritual dari hukum Allah, yang menuntut perubahan hati dan bukan sekadar ketaatan lahiriah.

c. Keadilan dan Kasih dalam Kehidupan Kristen

Salah satu tema sentral dalam Khotbah di Bukit adalah panggilan untuk hidup dengan standar moral yang lebih tinggi daripada yang diajarkan oleh hukum Yahudi pada saat itu. Yesus berulang kali mengatakan, "Kamu telah mendengar yang difirmankan ... tetapi Aku berkata kepadamu ..." (Matius 5:21-48), menunjukkan bahwa ajarannya melampaui interpretasi tradisional dari hukum.

Perkins menafsirkan ini sebagai panggilan kepada umat Kristen untuk mengejar keadilan yang lebih tinggi, yang didasarkan pada kasih dan kerendahan hati. Misalnya, dalam mengajarkan tentang mengasihi musuh, Yesus menunjukkan bahwa kasih Kristen harus melampaui batas-batas kebencian dan balas dendam. Perkins melihat ini sebagai pengajaran yang mendasar tentang bagaimana orang percaya harus meniru kasih Allah yang universal, yang mencakup semua orang, termasuk mereka yang memusuhi kita.

Dalam pandangan Perkins, keadilan yang diajarkan oleh Yesus bukanlah keadilan legalistik, tetapi keadilan yang berakar dalam kasih dan belas kasihan. Ini berarti bahwa hidup Kristen harus dicirikan oleh kemurahan hati, pengampunan, dan pelayanan kepada sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan. Perkins menekankan bahwa Khotbah di Bukit mengundang orang percaya untuk menjalani hidup yang mencerminkan karakter Allah, yang penuh kasih dan adil.

3. Khotbah di Bukit dan Etika Puritan

Sebagai seorang Puritan, Perkins sangat peduli dengan bagaimana ajaran Alkitab diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Puritan, kehidupan Kristen bukan hanya masalah iman pribadi, tetapi juga kehidupan yang diatur oleh prinsip-prinsip moral yang ketat dan disiplin rohani. Khotbah di Bukit, dengan ajarannya yang menuntut standar moral yang tinggi, sangat cocok dengan pandangan Puritan tentang kehidupan yang berkenan kepada Allah.

a. Disiplin Rohani dan Kesalehan Pribadi

Perkins menekankan bahwa Khotbah di Bukit menuntut umat Kristen untuk menjalani kehidupan yang ditandai oleh disiplin rohani dan kesalehan pribadi. Ini berarti berkomitmen untuk hidup dalam ketaatan kepada Allah, menjauhi dosa, dan mengejar kesucian. Perkins melihat ajaran Yesus tentang doa, puasa, dan memberi sedekah (Matius 6:1-18) sebagai panduan praktis bagi kehidupan rohani yang berfokus pada Allah, bukan pada pengakuan manusia.

Perkins juga menekankan pentingnya ketulusan dalam menjalankan disiplin rohani. Dia memperingatkan terhadap bahaya kemunafikan, di mana seseorang mungkin melakukan tindakan keagamaan hanya untuk dilihat dan dipuji oleh orang lain. Dalam pandangan Perkins, kehidupan rohani harus didorong oleh cinta yang tulus kepada Allah dan keinginan untuk menyenangkan-Nya, bukan oleh keinginan untuk mendapatkan pengakuan atau keuntungan duniawi.

b. Pengaruh Khotbah di Bukit dalam Pembentukan Masyarakat

Selain dampaknya pada kehidupan individu, Perkins percaya bahwa Khotbah di Bukit memiliki implikasi sosial yang signifikan. Dia berpendapat bahwa jika ajaran Yesus diterapkan dengan sungguh-sungguh, itu akan menghasilkan masyarakat yang lebih adil, damai, dan saleh. Dalam hal ini, Perkins melihat Khotbah di Bukit sebagai pedoman untuk pembentukan masyarakat Kristen yang ideal.

Perkins percaya bahwa ajaran Yesus tentang mengasihi musuh, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, dan mengampuni kesalahan orang lain (Matius 5:38-48) dapat menciptakan budaya yang berbeda dari dunia yang dikuasai oleh kebencian dan balas dendam. Dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh Khotbah di Bukit, perdamaian dan rekonsiliasi akan menjadi prioritas, dan hukum kasih akan mengatasi hukum pembalasan.

4. Relevansi Khotbah di Bukit untuk Kehidupan Kristen Modern

Meskipun ditulis lebih dari empat abad yang lalu, pemahaman Perkins tentang Khotbah di Bukit tetap relevan bagi kehidupan Kristen kontemporer. Dalam dunia yang sering kali dilanda oleh konflik, ketidakadilan, dan materialisme, ajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit menawarkan visi kehidupan yang berbeda, yang didasarkan pada kasih, kesederhanaan, dan pencarian akan Kerajaan Allah.

a. Tantangan untuk Hidup dalam Kerajaan Allah

Perkins menekankan bahwa Khotbah di Bukit adalah panggilan untuk hidup dalam terang Kerajaan Allah, yang berbeda dari nilai-nilai dunia. Ini berarti menempatkan prioritas pada hubungan dengan Allah dan mengejar kehidupan yang mencerminkan karakter Kristus. Dalam dunia modern, ini tetap menjadi tantangan bagi umat Kristen, yang sering kali harus berjuang melawan godaan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang tidak selaras dengan ajaran Kristus.

Perkins mengingatkan bahwa hidup dalam Kerajaan Allah memerlukan komitmen untuk menempatkan kehendak Allah di atas segalanya. Ini termasuk sikap yang benar terhadap kekayaan, di mana Yesus mengajarkan agar kita tidak mengumpulkan harta di bumi, tetapi mencari harta di surga (Matius 6:19-21). Dalam konteks modern, ini menantang umat Kristen untuk mempertimbangkan kembali sikap mereka terhadap materialisme dan mengejar kekayaan, serta mengingatkan mereka akan panggilan untuk hidup dalam kesederhanaan dan kemurahan hati.

b. Kasih dan Pengampunan sebagai Dasar Hubungan Sosial

Dalam masyarakat yang sering kali terpecah oleh perbedaan dan perselisihan, ajaran Yesus tentang kasih dan pengampunan dalam Khotbah di Bukit memiliki relevansi yang mendalam. Perkins menekankan bahwa umat Kristen dipanggil untuk menjadi pembawa damai dan agen rekonsiliasi, yang berusaha untuk mengatasi kebencian dengan kasih dan memulihkan hubungan yang rusak melalui pengampunan.

Ajaran ini menantang umat Kristen modern untuk mempertimbangkan bagaimana mereka dapat menjadi saksi Kristus di tengah masyarakat yang sering kali penuh dengan ketegangan dan konflik. Dalam dunia yang sering kali dikuasai oleh sikap egois dan dendam, panggilan untuk mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita (Matius 5:44) tetap menjadi salah satu aspek paling radikal dan menantang dari kehidupan Kristen.

c. Panggilan untuk Kesalehan Pribadi

Akhirnya, Perkins menekankan pentingnya kesalehan pribadi sebagai inti dari kehidupan Kristen. Khotbah di Bukit, dengan ajarannya tentang doa, puasa, dan memberi sedekah, mengingatkan umat Kristen akan pentingnya hubungan yang tulus dan mendalam dengan Allah. Dalam dunia yang sering kali terganggu oleh kesibukan dan distraksi, panggilan untuk menjalani kehidupan rohani yang disiplin dan berfokus pada Allah tetap relevan dan mendesak.

Kesimpulan

Khotbah Kristus di Bukit, seperti yang dianalisis oleh William Perkins, adalah salah satu ajaran paling mendalam dan menantang dalam Alkitab. Melalui pendekatannya yang teologis dan praktis, Perkins menyoroti pentingnya Khotbah di Bukit sebagai panduan bagi kehidupan Kristen yang sejati, yang didasarkan pada kasih, keadilan, dan kesalehan.

Bagi Perkins, Khotbah di Bukit bukan hanya kumpulan ajaran etis, tetapi panggilan untuk hidup dalam terang Kerajaan Allah, yang berbeda dari norma-norma dunia. Dengan menekankan pentingnya transformasi batin, disiplin rohani, dan kasih kepada sesama, Perkins menawarkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana ajaran Yesus ini dapat diterapkan dalam kehidupan individu dan masyarakat.

Dalam dunia modern, pesan Khotbah di Bukit tetap relevan dan mendesak. Itu mengundang kita untuk mempertimbangkan kembali prioritas kita, untuk hidup dalam kasih dan pengampunan, dan untuk mengejar kehidupan yang mencerminkan karakter Kristus. Sebagai umat Kristen, kita dipanggil untuk menjadikan ajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit sebagai landasan bagi kehidupan kita, dan dengan demikian menjadi saksi bagi Kerajaan Allah di dunia ini.

Next Post Previous Post