Perumpamaan tentang Penabur dalam Lukas 8:5-8, 11-15: Menyikapi Firman Allah dan Berbuah

Pendahuluan:

Lukas 8:5-8 dan 11-15 menyajikan salah satu perumpamaan Yesus yang terkenal, yaitu Perumpamaan tentang Penabur. Perumpamaan ini menjelaskan bagaimana firman Allah diterima oleh berbagai jenis orang, diibaratkan sebagai tanah yang berbeda-beda. Melalui perumpamaan ini, Yesus mengajarkan tentang sikap hati manusia dalam menerima firman Allah serta tantangan yang dihadapi dalam proses pertumbuhan iman. Berikut adalah teks perumpamaan dan penjelasannya menurut Alkitab AYT:

  • Lukas 8:5-8: Yesus berbicara tentang petani yang menabur benih di berbagai tempat. Ada benih yang jatuh di pinggir jalan, di atas batu, di tengah semak duri, dan di tanah yang subur. Setiap tempat tersebut menggambarkan bagaimana benih tersebut bertumbuh atau gagal bertumbuh.
  • Lukas 8:11-15: Yesus kemudian menjelaskan bahwa benih tersebut adalah firman Allah, dan tanah-tanah yang berbeda menggambarkan respons orang-orang terhadap firman tersebut.
    Perumpamaan tentang Penabur dalam Lukas 8:5-8, 11-15: Menyikapi Firman Allah dan Berbuah
    Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi makna dari perumpamaan ini, pandangan beberapa pakar teologi, serta implikasi bagi kehidupan orang percaya. Kita juga akan melihat bagaimana perumpamaan ini menggambarkan tantangan dalam beriman dan bagaimana kita dapat berbuah dalam ketekunan.

1. Penabur dan Benih: Firman Allah sebagai Sumber Kehidupan

Yesus memulai perumpamaan ini dengan menggambarkan seorang petani yang menabur benih. Dalam Lukas 8:11, Yesus menjelaskan bahwa benih tersebut adalah firman Allah. Firman Allah adalah kebenaran yang diwahyukan, yang memberi kehidupan rohani. Seperti halnya benih yang memiliki potensi untuk tumbuh menjadi tanaman yang subur, firman Allah memiliki kekuatan untuk membawa kehidupan baru dan mengubah hati manusia.

John Stott, dalam bukunya The Contemporary Christian, menekankan bahwa Firman Allah memiliki kuasa yang luar biasa untuk mengubah kehidupan. Menurut Stott, firman itu tidak pernah gagal; yang menentukan keberhasilannya adalah respons orang yang mendengar firman itu. Firman Allah adalah sumber kehidupan rohani, dan ketika ditanam di hati yang subur, firman itu menghasilkan buah yang berlimpah.

R.C. Sproul, dalam Knowing Scripture, menegaskan bahwa firman Allah tidak hanya membawa pengetahuan, tetapi juga menuntut respons. Firman itu memanggil orang untuk bertindak, baik dalam iman maupun dalam ketaatan. Firman yang ditabur oleh Yesus adalah kebenaran yang harus dihidupi, bukan sekadar informasi yang diketahui.

2. Empat Jenis Tanah: Respons terhadap Firman

Perumpamaan tentang penabur menggambarkan empat jenis tanah yang melambangkan empat respons manusia terhadap firman Allah:

a. Tanah di Pinggir Jalan: Firman yang Diambil oleh Setan

Dalam Lukas 8:12, Yesus menjelaskan bahwa benih yang jatuh di pinggir jalan adalah gambaran orang-orang yang mendengar firman, tetapi setan datang dan mengambil firman itu dari hati mereka. Ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang mendengar firman, tetapi tidak memberikan kesempatan bagi firman itu untuk tertanam. Mereka mendengar, tetapi tidak percaya dan tidak diselamatkan.

Charles Spurgeon, dalam khotbah-khotbahnya, sering kali menekankan bahwa musuh terbesar iman adalah ketidakpedulian. Spurgeon mengingatkan bahwa setan selalu siap mencuri firman dari hati yang keras atau acuh tak acuh, sehingga firman tidak pernah berakar. Bagi mereka yang hidup di pinggir jalan kehidupan, firman Allah hanya terdengar sebentar dan segera dilupakan.

b. Tanah Berbatu: Iman yang Cepat Pudar

Dalam Lukas 8:13, Yesus menggambarkan benih yang jatuh di tanah berbatu sebagai orang-orang yang menerima firman dengan sukacita, tetapi karena tidak berakar, iman mereka hanya bertahan sebentar. Ketika kesulitan datang, mereka segera berbalik dari Allah.

John Calvin, dalam komentarnya terhadap Injil Lukas, menekankan bahwa iman yang dangkal tidak dapat bertahan lama. Calvin menjelaskan bahwa ada orang-orang yang tampak antusias menerima firman Allah, tetapi ketika iman mereka diuji oleh penderitaan atau tantangan, mereka segera jatuh. Tanah berbatu menggambarkan hati yang tidak siap untuk bertahan dalam ujian iman.

Timothy Keller, dalam Walking with God through Pain and Suffering, juga menekankan bahwa iman yang tidak berakar dalam kebenaran tidak akan mampu bertahan dalam menghadapi penderitaan. Keller mengingatkan bahwa iman sejati selalu diuji melalui kesulitan, dan hanya iman yang berakar kuat yang akan bertahan.

c. Tanah yang Dikelilingi Semak Duri: Firman yang Dicekik oleh Kekhawatiran dan Hawa Nafsu

Dalam Lukas 8:14, Yesus menggambarkan benih yang jatuh di antara semak duri sebagai orang-orang yang mendengar firman, tetapi khawatir akan kehidupan dunia ini, kekayaan, dan kesenangan hidup menghalangi firman tersebut untuk bertumbuh. Hati mereka dicekik oleh hal-hal duniawi sehingga mereka tidak dapat berbuah.

John Stott menekankan bahwa dunia menawarkan banyak godaan yang dapat mencekik pertumbuhan rohani seseorang. Hawa nafsu duniawi, kekhawatiran akan masa depan, dan pencarian kesenangan sering kali menghalangi firman Allah untuk menghasilkan buah. Stott menjelaskan bahwa ketika orang lebih mengutamakan hal-hal duniawi daripada firman Allah, mereka tidak akan pernah mencapai potensi rohani yang seharusnya mereka miliki.

C.S. Lewis, dalam bukunya The Screwtape Letters, menggambarkan bagaimana setan menggunakan hal-hal duniawi untuk menjauhkan orang dari Allah. Lewis menjelaskan bahwa kekayaan, kesenangan, dan kekhawatiran duniawi sering kali menjadi alat setan untuk mencegah orang hidup sesuai dengan firman Allah. Semak duri kehidupan dapat tampak tidak berbahaya, tetapi mereka memiliki kuasa untuk menghancurkan pertumbuhan rohani.

d. Tanah Subur: Firman yang Berbuah dalam Ketekunan

Akhirnya, dalam Lukas 8:15, Yesus menggambarkan benih yang jatuh di tanah subur sebagai orang-orang yang mendengarkan firman Allah, menyimpannya dalam hati yang jujur dan baik, serta berbuah dalam ketekunan. Ini menggambarkan mereka yang dengan tulus menerima firman Allah dan hidup dalam ketaatan.

John MacArthur, dalam komentarnya terhadap perumpamaan ini, menekankan bahwa tanah subur menggambarkan hati yang siap menerima firman Allah, menyimpannya dengan iman, dan menghidupinya dalam ketekunan. Orang yang menerima firman dengan hati yang baik akan berbuah, bukan hanya sebentar, tetapi secara konsisten sepanjang hidup mereka. MacArthur menjelaskan bahwa firman Allah memiliki kekuatan untuk menghasilkan buah, tetapi hanya jika ditanam di hati yang benar.

Jonathan Edwards, dalam Religious Affections, menekankan bahwa buah rohani adalah tanda dari iman yang sejati. Bagi Edwards, berbuah dalam ketekunan adalah bukti bahwa seseorang benar-benar mengalami transformasi rohani melalui firman Allah. Ketekunan dalam iman menunjukkan bahwa seseorang memiliki hubungan yang nyata dengan Kristus.

3. Pentingnya Ketekunan dalam Berbuah

Salah satu pesan utama dalam perumpamaan ini adalah bahwa pertumbuhan rohani dan buah iman membutuhkan ketekunan. Lukas 8:15 menegaskan bahwa mereka yang berbuah melakukannya dalam ketekunan. Ketekunan adalah kunci untuk hidup dalam iman dan menghadapi tantangan kehidupan dengan tetap berpegang pada firman Allah.

Dietrich Bonhoeffer, dalam The Cost of Discipleship, menekankan pentingnya ketekunan dalam mengikuti Kristus. Bonhoeffer menjelaskan bahwa menjadi murid Kristus tidak berarti hidup tanpa masalah, tetapi berarti tetap setia kepada firman Allah di tengah kesulitan dan penganiayaan. Ketekunan adalah tanda dari iman yang kuat dan teguh.

J.I. Packer, dalam bukunya Knowing God, juga menekankan bahwa ketekunan dalam iman bukanlah sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan manusia, tetapi oleh kasih karunia Allah. Packer menjelaskan bahwa Roh Kudus bekerja di dalam hati orang percaya untuk memberikan mereka kekuatan untuk tetap setia, bahkan ketika menghadapi pencobaan dan kesulitan. Ketekunan adalah hasil dari pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupan orang percaya yang telah menerima firman Allah dengan hati yang baik.

4. Implikasi Perumpamaan bagi Kehidupan Orang Percaya

Perumpamaan tentang penabur dalam Lukas 8:5-8, 11-15 mengajarkan kita banyak hal tentang bagaimana kita seharusnya menyikapi firman Allah. Firman Allah ditaburkan ke dalam kehidupan kita, tetapi hasil akhirnya bergantung pada bagaimana kita menerimanya. Hati yang terbuka dan siap untuk menerima firman akan berbuah, sementara hati yang keras, dangkal, atau terikat oleh hal-hal duniawi tidak akan menghasilkan apa-apa.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk memeriksa kondisi hati kita. Apakah kita memiliki hati yang siap menerima firman Allah, ataukah kita membiarkan kekhawatiran dan godaan dunia mencekik firman tersebut? 2 Korintus 13:5 menyuruh kita untuk menguji diri sendiri untuk melihat apakah kita hidup dalam iman. Firman Allah harus diterima dengan hati yang terbuka, dan kita harus berusaha untuk tetap berakar dalam firman tersebut agar dapat berbuah dalam ketekunan.

Kesimpulan.

Perumpamaan tentang penabur dalam Lukas 8:5-8, 11-15 menggambarkan bagaimana firman Allah dapat diterima dengan berbagai cara, tergantung pada kondisi hati manusia. Orang yang mendengar firman dapat jatuh ke dalam berbagai jebakan, termasuk ketidakpedulian, iman yang dangkal, atau terjerat oleh kekhawatiran dunia. Namun, mereka yang mendengar firman dengan hati yang jujur dan baik, serta berpegang pada firman dalam ketekunan, akan berbuah dan mengalami kehidupan yang penuh dengan berkat rohani.

Para teolog seperti John Stott, Charles Spurgeon, John Calvin, dan Dietrich Bonhoeffer menekankan pentingnya kondisi hati yang siap menerima firman Allah, serta ketekunan dalam menghadapi tantangan iman. Firman Allah memiliki kuasa yang luar biasa untuk mengubah hidup, tetapi tanggung jawab kita adalah memastikan bahwa kita siap untuk menerimanya dan membiarkannya bertumbuh dalam hati kita.

Sebagai orang percaya, kita harus berjuang untuk menjadi tanah yang subur, di mana firman Allah dapat tumbuh dan berbuah, membawa kemuliaan bagi Allah dan memperluas kerajaan-Nya di bumi.

Next Post Previous Post