1 Korintus 6:1: Dilarang Mengajukan Perkara di Hadapan Orang Tidak Percaya
Pendahuluan:
1 Korintus 6:1 memberikan peringatan yang kuat kepada umat percaya mengenai resolusi konflik di antara mereka. Ayat ini menyatakan:
Dalam konteks surat Paulus kepada jemaat di Korintus, ayat ini menyoroti kebiasaan jemaat yang membawa perselisihan di antara mereka ke pengadilan sekuler, yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai kekristenan. Paulus menegaskan bahwa orang percaya harus menyelesaikan konflik mereka di antara sesama orang percaya, bukan di hadapan hakim yang tidak mengenal Allah."Apakah ada di antara kamu yang, jika mempunyai suatu perkara dengan orang lain, berani mencari keadilan pada orang-orang yang tidak benar dan bukan pada orang-orang kudus?"
Artikel ini akan mengeksplorasi makna ayat ini berdasarkan perspektif beberapa pakar teologi, membahas konteks budaya dan hukum pada masa Paulus, serta relevansi pesan ini dalam kehidupan Kristen masa kini. Dengan memahami pesan dalam 1 Korintus 6:1, kita dapat menangkap prinsip-prinsip penyelesaian konflik yang alkitabiah.
1. Konteks Budaya dan Hukum pada Masa Paulus
Untuk memahami pesan Paulus, penting untuk mengetahui latar belakang budaya dan hukum pada zaman itu. Di dunia Yunani-Romawi, pengadilan publik adalah arena yang sering digunakan untuk menyelesaikan konflik. Di Korintus, sebuah kota yang kaya dan beragam budaya, pengadilan sering menjadi tempat perselisihan terbuka, di mana keputusan seringkali dipengaruhi oleh kekuasaan dan uang, bukan keadilan sejati.
F.F. Bruce dalam The New Testament History menjelaskan bahwa pengadilan Romawi pada masa itu memiliki reputasi yang korup. Orang kaya sering kali menggunakan pengaruh mereka untuk memenangkan kasus, sementara orang miskin atau lemah sering kali tidak mendapatkan keadilan yang layak. Paulus, dalam konteks ini, mengingatkan jemaat bahwa menyelesaikan perselisihan melalui sistem seperti itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kerajaan Allah.
William Barclay dalam The Letters to the Corinthians menyebutkan bahwa membawa perselisihan ke pengadilan publik bukan hanya menunjukkan kurangnya hikmat rohani, tetapi juga mencemarkan kesaksian gereja di hadapan orang-orang tidak percaya. Bagi Paulus, tindakan seperti itu menunjukkan kegagalan untuk mencerminkan kasih, kesatuan, dan kedewasaan rohani.
2. Makna “Orang-orang Kudus” dan “Orang yang Tidak Benar”
Dalam 1 Korintus 6:1, Paulus membedakan antara "orang-orang kudus" dan "orang-orang yang tidak benar."
- Orang-orang kudus mengacu pada umat percaya, yaitu mereka yang telah dikuduskan melalui iman kepada Kristus. Mereka dipanggil untuk hidup dalam kekudusan dan mencerminkan karakter Allah.
- Orang yang tidak benar merujuk pada mereka yang berada di luar iman Kristen, yang tidak hidup menurut standar kebenaran Allah.
John Stott dalam Basic Christianity menyebutkan bahwa istilah “orang-orang kudus” menunjukkan identitas baru umat percaya di dalam Kristus. Mereka dipanggil untuk hidup sebagai komunitas yang mencerminkan nilai-nilai kerajaan Allah. Membawa perkara kepada “orang yang tidak benar” menunjukkan ketergantungan pada sistem yang tidak selaras dengan kehendak Allah.
Leon Morris dalam The First Epistle of Paul to the Corinthians menegaskan bahwa istilah “orang yang tidak benar” tidak hanya merujuk pada ketidakadilan moral, tetapi juga ketidaksediaan mereka untuk hidup di bawah otoritas Allah. Paulus mengingatkan jemaat bahwa keadilan sejati hanya dapat ditemukan dalam konteks kehidupan bersama umat percaya.
3. Mengapa Orang Percaya Tidak Boleh Mengajukan Perkara di Hadapan Orang Tidak Percaya?
Paulus memberikan alasan teologis dan praktis mengapa umat percaya tidak boleh menyelesaikan konflik di hadapan orang tidak percaya:
a. Kehormatan Gereja
Membawa perselisihan ke pengadilan sekuler dapat mencemarkan kesaksian gereja di mata dunia. Gereja dipanggil untuk menjadi terang dan garam dunia, mencerminkan kasih dan kesatuan Kristus. Konflik internal yang dipublikasikan menunjukkan kelemahan spiritual gereja dan merusak integritas komunitas Kristen.
R.C. Sproul dalam The Holiness of God menekankan bahwa gereja adalah tempat di mana keadilan Allah dinyatakan. Menyelesaikan perselisihan di luar gereja berarti mengabaikan peran gereja sebagai saksi kebenaran Allah di dunia.
b. Kompetensi Orang Percaya
Paulus percaya bahwa orang percaya yang dipenuhi oleh Roh Kudus dan hikmat ilahi memiliki kapasitas untuk menyelesaikan konflik secara benar. Dalam ayat 2-3, Paulus menyatakan bahwa orang percaya akan menghakimi dunia dan malaikat, sehingga mereka pasti mampu menyelesaikan perkara kecil di antara sesama.
John MacArthur dalam The MacArthur New Testament Commentary menjelaskan bahwa ketidakmampuan jemaat Korintus untuk menyelesaikan perselisihan menunjukkan kedangkalan rohani mereka. MacArthur menegaskan bahwa gereja harus berfungsi sebagai tempat di mana hikmat ilahi diterapkan dalam menyelesaikan konflik.
c. Kasih sebagai Dasar Penyelesaian Konflik
Dalam Matius 18:15-17, Yesus mengajarkan prinsip penyelesaian konflik di dalam komunitas gereja, dimulai dengan pendekatan pribadi dan diakhiri dengan keterlibatan komunitas. Pendekatan ini didasarkan pada kasih, pengampunan, dan pemulihan, bukan balas dendam atau pembuktian siapa yang benar.
Dietrich Bonhoeffer dalam Life Together menekankan bahwa penyelesaian konflik di gereja harus didasarkan pada kasih dan kerendahan hati. Bonhoeffer menulis bahwa komunitas Kristen yang sejati adalah tempat di mana kesalahan dapat diakui dan dipulihkan tanpa melibatkan dunia luar.
4. Relevansi Prinsip Ini dalam Kehidupan Kristen Masa Kini
Meskipun konteks modern berbeda dari zaman Paulus, prinsip yang terkandung dalam 1 Korintus 6:1 tetap relevan bagi kehidupan Kristen hari ini:
a. Menjaga Kesatuan Gereja
Menyelesaikan konflik di dalam gereja membantu menjaga kesatuan tubuh Kristus. Ketika konflik diselesaikan dengan cara yang alkitabiah, gereja mencerminkan kasih dan keadilan Allah kepada dunia.
b. Kesaksian kepada Dunia
Gereja dipanggil untuk menjadi saksi tentang karakter Allah. Jika umat percaya menyelesaikan konflik mereka melalui pengadilan sekuler, hal itu dapat merusak kesaksian gereja dan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat hidup sesuai dengan ajaran Kristus.
c. Menerapkan Prinsip Kerajaan Allah
Menghindari pengadilan sekuler dalam menyelesaikan konflik adalah cara untuk menunjukkan bahwa umat percaya hidup berdasarkan nilai-nilai kerajaan Allah, yang mencakup kasih, pengampunan, dan keadilan sejati.
Timothy Keller dalam The Reason for God menyebutkan bahwa gereja adalah komunitas di mana kasih dan keadilan Allah menjadi nyata. Keller menekankan bahwa gereja harus menjadi tempat di mana perselisihan dapat diselesaikan tanpa mengorbankan integritas dan kesaksian iman.
5. Bagaimana Orang Percaya Harus Menyelesaikan Konflik?
Paulus tidak hanya mengkritik praktik jemaat Korintus, tetapi juga memberikan solusi. Penyelesaian konflik di antara orang percaya harus mencerminkan prinsip-prinsip berikut:
a. Mengutamakan Kasih dan Pengampunan
Dalam Kolose 3:13, Paulus menulis, "Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain. Sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian." Penyelesaian konflik harus dimulai dengan sikap hati yang penuh kasih dan pengampunan.
b. Mengikuti Prinsip Alkitabiah
Yesus memberikan langkah-langkah untuk menyelesaikan konflik dalam Matius 18:15-17. Langkah-langkah ini mencakup pendekatan pribadi, melibatkan saksi, dan, jika perlu, melibatkan gereja. Pendekatan ini bertujuan untuk memulihkan hubungan, bukan sekadar memenangkan argumen.
c. Melibatkan Hikmat Roh Kudus
Penyelesaian konflik harus melibatkan doa dan hikmat dari Roh Kudus. Dalam Yakobus 1:5, kita diajak untuk meminta hikmat kepada Allah jika kita merasa kekurangan hikmat. Hikmat ilahi memampukan kita untuk mengambil keputusan yang benar dan adil.
6. Tantangan dalam Menerapkan Prinsip Ini
Meskipun prinsip dalam 1 Korintus 6:1 jelas, menerapkannya dalam kehidupan nyata tidak selalu mudah. Beberapa tantangan yang dihadapi termasuk:
- Kurangnya Kedewasaan Rohani: Tidak semua jemaat memiliki kedewasaan rohani yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik secara alkitabiah.
- Kompleksitas Hukum Modern: Dalam beberapa kasus, sistem hukum modern memerlukan keterlibatan pengadilan, terutama dalam kasus yang melibatkan aspek legal atau kontrak yang rumit.
- Kesalahpahaman tentang Kasih: Beberapa orang mungkin menyalahartikan kasih sebagai sikap pasif, sehingga menghindari penyelesaian konflik yang sehat.
Dallas Willard dalam The Spirit of the Disciplines menyarankan bahwa jemaat harus dilatih untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip penyelesaian konflik yang alkitabiah. Menurut Willard, ini adalah bagian dari pertumbuhan rohani yang diperlukan untuk menciptakan komunitas yang mencerminkan kerajaan Allah.
Kesimpulan
1 Korintus 6:1 memberikan panduan penting bagi umat percaya tentang cara menyelesaikan konflik. Paulus menegaskan bahwa membawa perkara di antara sesama orang percaya ke pengadilan sekuler bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan. Sebagai umat percaya, kita dipanggil untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang mencerminkan kasih, keadilan, dan hikmat Allah.
Para teolog seperti John Stott, R.C. Sproul, dan Dietrich Bonhoeffer menekankan bahwa gereja harus menjadi tempat di mana konflik dapat diselesaikan dalam semangat kasih dan rekonsiliasi. Prinsip ini relevan dalam kehidupan Kristen masa kini, di mana kesatuan gereja dan kesaksian kepada dunia menjadi semakin penting.
Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup dalam kasih dan kedewasaan rohani, menjadikan gereja sebagai komunitas yang mencerminkan keadilan dan kasih Allah. Dengan menerapkan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam 1 Korintus 6:1, kita dapat menjaga kesatuan tubuh Kristus dan memberikan kesaksian yang kuat kepada dunia tentang kerajaan Allah. Penyelesaian konflik yang alkitabiah bukan hanya sebuah tugas, tetapi juga panggilan untuk mencerminkan karakter Kristus dalam setiap aspek kehidupan kita.