Lukas 17:7-10: Pelajaran tentang Pelayanan Tanpa Pamrih
Pendahuluan:
Lukas 17:7-10 adalah perikop dalam Injil Lukas yang sering kali menantang pemahaman kita tentang pelayanan, kerendahan hati, dan pengharapan akan penghargaan. Dalam ayat-ayat ini, Yesus mengajarkan bahwa sebagai hamba Allah, kita seharusnya melayani dengan sikap hati yang rendah dan tanpa menuntut penghargaan. Dengan menggunakan perumpamaan seorang hamba yang melakukan tugasnya tanpa harapan balas jasa, Yesus mengungkapkan prinsip dasar pelayanan Kristen: melayani bukan untuk mendapatkan penghargaan, tetapi sebagai respons kasih kita kepada Allah.Artikel ini akan mengupas makna Lukas 17:7-10, serta mendalami bagaimana beberapa teolog menafsirkan perikop ini dalam konteks pelayanan Kristen. Dengan memahami pesan Yesus ini, kita dapat belajar untuk melayani dengan motivasi yang benar, mengarahkan fokus kita kepada kehendak Allah dan bukan kepada pengakuan dari manusia.
Teks Lukas 17:7-10
Berikut adalah teks Lukas 17:7-10:
"Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Siapkan makanan untukku, ikat pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai makan dan minum! Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan.”
1. Konteks dan Latar Belakang: Mengapa Yesus Memberikan Perumpamaan Ini?
Perikop ini muncul setelah Yesus memberikan beberapa ajaran kepada murid-murid-Nya tentang pengampunan dan iman. Lukas 17:7-10 menjadi pengajaran tambahan untuk menekankan sikap hati dalam pelayanan dan hubungan antara Allah dan umat-Nya. Perumpamaan ini menyoroti relasi antara Tuhan dan hamba sebagai ilustrasi untuk menjelaskan bahwa pelayanan kepada Allah bukanlah sesuatu yang harus diganjar, melainkan suatu kewajiban yang dilakukan dengan penuh kerendahan hati.
William Barclay, seorang penafsir Alkitab, menekankan bahwa perumpamaan ini mengingatkan murid-murid untuk tidak berfokus pada penghargaan atau upah dari Allah, tetapi pada kesetiaan dalam melaksanakan tugas yang telah dipercayakan. Menurut Barclay, Yesus ingin menekankan bahwa melayani Allah bukanlah tentang penghargaan atau kebanggaan diri, melainkan tentang kasih yang tulus dan ketaatan tanpa syarat.
Leon Morris dalam tafsirannya mengenai Injil Lukas juga menjelaskan bahwa Yesus menggunakan ilustrasi ini untuk mengoreksi pola pikir yang menganggap bahwa pelayanan kepada Allah seharusnya dihargai. Menurut Morris, Yesus menyoroti pentingnya sikap hamba yang tidak menuntut balas jasa, karena pelayanan mereka merupakan bagian dari panggilan hidup sebagai pengikut Kristus.
2. Hamba sebagai Simbol Orang Percaya yang Melayani Allah
Dalam perumpamaan ini, Yesus menggunakan figur “hamba” sebagai simbol untuk menunjukkan posisi orang percaya di hadapan Allah. Seorang hamba tidak memiliki hak atas dirinya sendiri, tetapi seluruh hidupnya berada di bawah kuasa dan kehendak tuannya. Demikian juga, orang percaya dipanggil untuk melayani Allah dengan sepenuh hati dan tanpa menuntut penghargaan, karena segala sesuatu yang kita lakukan adalah respons terhadap kasih karunia Allah.
John Stott dalam The Radical Disciple menekankan bahwa pelayanan Kristen harus dilakukan dengan sikap hamba yang setia. Stott menjelaskan bahwa seorang murid Kristus yang sejati memahami bahwa kehidupannya bukan lagi miliknya, tetapi milik Allah yang telah menyelamatkannya. Pelayanan yang sejati adalah pelayanan yang didasari oleh rasa syukur atas kasih Allah dan keinginan untuk memuliakan-Nya, tanpa mengharapkan pengakuan atau upah.
Dietrich Bonhoeffer dalam The Cost of Discipleship juga berbicara tentang pelayanan tanpa pamrih sebagai tanda dari hidup yang benar-benar menyerah kepada Kristus. Menurut Bonhoeffer, hamba yang setia tidak lagi berfokus pada hak atau keuntungan pribadi, melainkan hanya pada kehendak Allah. Bagi Bonhoeffer, pelayanan yang tulus adalah pelayanan yang keluar dari ketaatan dan kasih yang tidak mengharapkan balas jasa.
3. Makna “Hamba yang Tidak Berguna”: Melayani Tanpa Harapan Penghargaan
Ungkapan “hamba yang tidak berguna” dalam Lukas 17:10 bisa menimbulkan kesalahpahaman. Di sini, Yesus bukan bermaksud merendahkan pelayanan kita, tetapi menekankan bahwa pelayanan kita kepada Allah bukanlah sesuatu yang "berjasa" sehingga harus diberi imbalan. Sebagai hamba-hamba Allah, kita melakukan apa yang memang sudah seharusnya kita lakukan.
Charles Spurgeon dalam khotbahnya menjelaskan bahwa sebagai hamba Allah, kita tidak memiliki alasan untuk menuntut penghargaan, karena segala sesuatu yang kita lakukan adalah kewajiban kita sebagai orang percaya. Spurgeon menekankan bahwa kebanggaan dalam pelayanan dapat menjerumuskan kita pada sikap kesombongan, sedangkan kesadaran bahwa kita adalah “hamba yang tidak berguna” membantu kita untuk tetap rendah hati di hadapan Allah.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menyatakan bahwa ungkapan ini mengingatkan kita akan keterbatasan kita di hadapan kemuliaan Allah. Calvin menjelaskan bahwa meskipun Allah menghargai dan mengasihi pelayanan kita, kita tidak boleh melayani-Nya dengan motivasi untuk menerima pujian atau balasan. Bagi Calvin, pelayanan yang tulus adalah pelayanan yang dilakukan dengan pengertian bahwa Allah-lah yang layak menerima segala pujian.
4. Prinsip Pelayanan dengan Kerendahan Hati dan Ketaatan
Yesus mengajarkan bahwa melayani dengan kerendahan hati berarti memahami bahwa semua yang kita lakukan adalah sebagai tanggapan terhadap anugerah Allah. Kita melayani karena Allah lebih dahulu mengasihi kita, bukan untuk memperoleh penghargaan atau pujian.
Henri Nouwen dalam bukunya In the Name of Jesus menekankan pentingnya melayani dengan kerendahan hati. Nouwen menjelaskan bahwa kerendahan hati dalam pelayanan berarti kita menganggap diri sebagai pelayan, bukan sebagai pemilik pelayanan itu sendiri. Dengan melayani Allah tanpa harapan akan pengakuan, kita menunjukkan kasih kita yang tulus kepada Allah dan sesama.
Timothy Keller dalam The Prodigal God juga berbicara tentang pentingnya kerendahan hati dalam melayani. Keller menekankan bahwa seorang pelayan yang sejati melayani dengan motivasi untuk memuliakan Allah dan bukan untuk menonjolkan diri. Pelayanan yang tulus akan menghasilkan sukacita yang murni, karena fokusnya adalah pada kehendak Allah, bukan pada pujian manusia.
5. Melayani sebagai Respons Kasih kepada Allah, Bukan sebagai Kewajiban
Meskipun Yesus menggunakan perumpamaan tentang seorang hamba yang memenuhi tugasnya, pelayanan kita kepada Allah lebih dari sekadar kewajiban; ini adalah respons kasih kita kepada-Nya. Ketika kita memahami kedalaman kasih dan anugerah Allah, kita akan melayani bukan karena terpaksa atau untuk memperoleh penghargaan, tetapi karena kita ingin membalas kasih-Nya dengan ketaatan dan kesetiaan.
C.S. Lewis dalam Mere Christianity berbicara tentang pelayanan sebagai respons kasih kepada Allah. Lewis menjelaskan bahwa iman Kristen memanggil orang percaya untuk hidup dalam pelayanan sebagai bentuk kasih dan syukur kepada Allah, bukan sebagai kewajiban yang kaku. Ketika kita memahami betapa besar kasih Allah kepada kita, kita akan melayani dengan hati yang bersukacita.
A.W. Tozer dalam The Pursuit of God juga menekankan bahwa pelayanan adalah hasil dari hubungan yang mendalam dengan Allah. Menurut Tozer, pelayanan yang sejati keluar dari kasih yang tulus kepada Allah, yang membuat kita ingin menyenangkan-Nya. Tozer menjelaskan bahwa ketika hati kita dipenuhi dengan kasih Allah, pelayanan akan menjadi sukacita, bukan beban.
6. Pelayanan dalam Kehidupan Sehari-hari: Menerapkan Prinsip Kerendahan Hati dan Ketaatan
Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip yang diajarkan Yesus dalam Lukas 17:7-10 dapat diaplikasikan dalam setiap aspek pelayanan kita, baik di gereja, keluarga, pekerjaan, maupun masyarakat. Melayani tanpa pamrih berarti kita tidak mencari pujian atau penghargaan dari orang lain, melainkan berfokus untuk menyenangkan Allah dan melayani sesama dengan kasih.
Richard Foster dalam Celebration of Discipline menekankan pentingnya melayani dengan semangat yang rendah hati dalam kehidupan sehari-hari. Foster menjelaskan bahwa setiap tindakan yang kita lakukan, bahkan yang terkecil sekalipun, bisa menjadi bentuk pelayanan kepada Allah jika dilakukan dengan sikap hati yang benar. Pelayanan yang sejati adalah pelayanan yang dilakukan dengan kerendahan hati dan kesadaran bahwa kita melayani Allah, bukan untuk mendapatkan penghargaan dari manusia.
John Piper dalam Desiring God mengajarkan bahwa sukacita sejati dalam pelayanan datang ketika kita berfokus pada Allah, bukan pada pujian atau pengakuan dari orang lain. Piper menjelaskan bahwa pelayanan yang dilakukan dengan tulus akan membawa kepuasan yang mendalam, karena kita melayani untuk memuliakan Allah dan bukan untuk mencari pujian.
7. Mengapa Pelayanan Tanpa Pamrih Menjadi Penting dalam Iman Kristen
Pelayanan tanpa pamrih menjadi penting karena mencerminkan sikap Yesus yang datang ke dunia bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani. Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk memiliki sikap yang sama, melayani tanpa pamrih, sebagai respons terhadap kasih Allah yang tak bersyarat.
J.I. Packer dalam Knowing God mengajarkan bahwa pelayanan yang tulus adalah tanda dari iman yang dewasa. Menurut Packer, orang percaya yang melayani tanpa pamrih menunjukkan bahwa mereka benar-benar mengerti tentang kasih karunia Allah. Dengan melayani tanpa pamrih, kita menunjukkan bahwa kita hidup bukan untuk diri kita sendiri, tetapi untuk memuliakan Allah.
Dallas Willard dalam The Divine Conspiracy juga menekankan bahwa pelayanan tanpa pamrih adalah bentuk penyerahan diri kepada kehendak Allah. Willard menjelaskan bahwa orang percaya yang hidup dalam pelayanan tanpa pamrih menunjukkan kehidupan yang berpusat pada Allah, di mana mereka memandang pelayanan sebagai cara untuk menyatakan kasih dan ketaatan kepada Tuhan.
Kesimpulan
Lukas 17:7-10 mengajarkan kita tentang pentingnya melayani Allah dengan kerendahan hati dan tanpa pamrih. Yesus menggunakan perumpamaan seorang hamba untuk mengingatkan kita bahwa pelayanan yang sejati tidak menuntut penghargaan atau pengakuan, tetapi dilakukan dengan sukacita sebagai respons terhadap kasih Allah. Kita dipanggil untuk melayani dengan sikap hati yang rendah, memahami bahwa segala sesuatu yang kita lakukan untuk Allah adalah kewajiban yang kita lakukan dengan penuh kasih.
Pandangan para teolog seperti William Barclay, John Stott, Dietrich Bonhoeffer, dan Henri Nouwen menyoroti pentingnya melayani tanpa pamrih sebagai tanda dari iman yang tulus. Pelayanan yang sejati adalah pelayanan yang dilakukan dengan motivasi untuk memuliakan Allah, bukan untuk memperoleh penghargaan.
Bagi setiap orang percaya, Lukas 17:7-10 adalah pengingat bahwa kita melayani Allah sebagai bentuk syukur atas kasih-Nya. Dengan melayani tanpa pamrih, kita mengarahkan hati kita kepada kehendak Allah dan menemukan sukacita dalam setiap tindakan pelayanan kita. Melalui pelayanan tanpa pamrih, kita mencerminkan karakter Kristus dan membawa kemuliaan bagi Allah yang telah mengasihi kita terlebih dahulu.