Panggilan untuk Mati dalam Perspektif Kekristenan
Pendahuluan:
Dalam Kekristenan, panggilan untuk "mati" adalah konsep yang sering muncul, terutama dalam kaitannya dengan mengikuti Yesus Kristus. Namun, "mati" di sini bukan berarti kematian fisik secara harfiah, melainkan suatu panggilan untuk mati terhadap diri sendiri, melibatkan penyangkalan diri, dan menjalani hidup yang berfokus kepada Kristus. Kematian terhadap diri sendiri berarti melepaskan keinginan, ego, dan kepentingan pribadi, serta mengarahkan hidup sepenuhnya kepada kehendak Allah. Panggilan ini menggugah orang percaya untuk menjalani kehidupan yang didasarkan pada kasih, pengorbanan, dan komitmen yang teguh kepada Allah.Artikel ini akan membahas konsep panggilan untuk mati dalam iman Kristen dengan merujuk pada berbagai pandangan dari beberapa pakar teologi. Kita akan mengeksplorasi apa artinya mati bagi diri sendiri, bagaimana konsep ini diterapkan dalam kehidupan orang percaya, serta implikasi rohani dari pengorbanan dan penyangkalan diri dalam mengikuti Kristus.
1. Definisi “Mati bagi Diri Sendiri” dalam Alkitab
Panggilan untuk mati terhadap diri sendiri memiliki dasar yang kuat dalam Perjanjian Baru. Dalam Matius 16:24, Yesus berkata, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." Ayat ini menyiratkan bahwa mengikuti Yesus berarti siap untuk menanggalkan kehendak pribadi dan menggantinya dengan kehendak Allah.
Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Jerman dan martir Kristen, dalam bukunya The Cost of Discipleship menekankan bahwa panggilan untuk mengikut Kristus adalah panggilan untuk datang dan mati. Bagi Bonhoeffer, seseorang yang mengikuti Yesus tidak dapat mengutamakan keinginannya sendiri, tetapi harus menempatkan kehendak Allah di atas segalanya. Bonhoeffer menegaskan bahwa panggilan untuk mati adalah panggilan untuk hidup dalam penyangkalan diri dan bersedia berkorban demi Kristus.
John Stott juga membahas konsep ini dalam bukunya The Cross of Christ, dengan menyatakan bahwa salib adalah simbol panggilan untuk mati bagi diri sendiri. Menurut Stott, ketika Yesus meminta murid-murid-Nya untuk memikul salib mereka, itu berarti mereka harus siap mengesampingkan ambisi pribadi, kebanggaan, dan keinginan untuk mengikuti jalannya sendiri. Salib, bagi Stott, adalah tanda penyerahan diri sepenuhnya kepada Kristus.
2. Mengapa Kita Dipanggil untuk Mati bagi Diri Sendiri?
Panggilan untuk mati bagi diri sendiri adalah bagian dari proses pengudusan dalam hidup seorang Kristen. Dengan menanggalkan ego dan melepaskan ambisi pribadi, orang percaya memberikan ruang bagi Roh Kudus untuk bekerja dalam hidup mereka dan membentuk mereka menjadi serupa dengan Kristus. Mati bagi diri sendiri membawa manusia keluar dari kehidupan yang berfokus pada diri sendiri, dan mengarahkannya pada kehidupan yang berfokus pada Allah dan pelayanan kepada sesama.
C.S. Lewis dalam bukunya Mere Christianity menyatakan bahwa kematian terhadap diri sendiri adalah bagian dari proses "mati untuk hidup," di mana manusia perlu meninggalkan kehidupan yang berpusat pada diri sendiri dan mulai hidup untuk Allah. Menurut Lewis, dalam proses ini, seseorang meninggalkan "manusia lama" dan menjadi "manusia baru" yang diubahkan oleh Kristus. Bagi Lewis, panggilan untuk mati bagi diri sendiri adalah panggilan untuk menemukan kehidupan yang sejati dalam Kristus.
A.W. Tozer dalam The Pursuit of God juga berbicara tentang kematian terhadap diri sendiri sebagai langkah penting dalam perjalanan rohani. Tozer menjelaskan bahwa ketika seseorang mati bagi diri sendiri, ia tidak lagi mencari kepuasan di dunia ini, melainkan dalam kehendak Allah. Tozer menyatakan bahwa mati bagi diri sendiri membawa orang percaya kepada kehidupan yang bebas dari perhambaan ego dan mendorong mereka untuk hidup dalam kebebasan yang sejati di dalam Allah.
3. Kematian bagi Diri Sendiri sebagai Dasar Kasih dan Pengorbanan
Dalam Yohanes 15:13, Yesus berkata, "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." Dengan ayat ini, Yesus mengajarkan bahwa kasih sejati membutuhkan pengorbanan. Mati bagi diri sendiri memungkinkan seseorang untuk hidup dalam kasih, di mana mereka dapat melepaskan keinginan pribadi demi kebaikan orang lain.
Henri Nouwen, dalam bukunya The Return of the Prodigal Son, menekankan bahwa mati bagi diri sendiri adalah panggilan untuk mengosongkan diri dari kebutuhan untuk dicintai dan diakui, dan menggantinya dengan keinginan untuk mencintai dan melayani sesama. Nouwen menjelaskan bahwa ketika seseorang mati bagi dirinya sendiri, dia mampu mengasihi orang lain tanpa syarat dan menempatkan kebutuhan mereka di atas kebutuhan pribadinya.
Timothy Keller dalam The Meaning of Marriage juga menjelaskan bahwa kasih sejati selalu melibatkan pengorbanan dan penyangkalan diri. Keller menegaskan bahwa mati bagi diri sendiri memungkinkan orang untuk mengasihi dengan tulus dan tanpa pamrih, serta menempatkan kebahagiaan orang lain di atas kebahagiaan pribadi. Bagi Keller, kasih yang sejati lahir dari kematian terhadap keinginan egois dan membuka jalan bagi hubungan yang saling melayani.
4. Penyangkalan Diri dan Memikul Salib: Jalan Mengikut Kristus
Matius 16:24 menyebutkan dua aspek penting dari panggilan untuk mati: penyangkalan diri dan memikul salib. Penyangkalan diri berarti melepaskan hak dan keinginan pribadi, sementara memikul salib berarti siap menghadapi penderitaan, kesulitan, dan bahkan penganiayaan karena mengikuti Kristus.
John Piper dalam bukunya Don’t Waste Your Life menegaskan bahwa memikul salib berarti siap untuk menjalani kehidupan yang penuh pengorbanan dan penderitaan demi Kristus. Piper menekankan bahwa panggilan untuk memikul salib bukanlah panggilan untuk hidup nyaman, tetapi panggilan untuk hidup dalam penyangkalan diri demi kemuliaan Allah. Piper mengajarkan bahwa ketika orang percaya memikul salib mereka, mereka menunjukkan komitmen untuk hidup dalam kehendak Allah, bahkan jika itu berarti mengorbankan kenyamanan pribadi.
Dallas Willard dalam The Divine Conspiracy juga berbicara tentang penyangkalan diri sebagai langkah penting dalam kehidupan Kristen. Willard menjelaskan bahwa memikul salib berarti siap untuk meninggalkan kesenangan duniawi dan menggantinya dengan komitmen untuk mengikuti Kristus. Menurut Willard, memikul salib bukan hanya tentang menerima penderitaan, tetapi juga tentang mengarahkan hidup pada tujuan yang kekal dan bukan pada hal-hal sementara.
5. Transformasi Melalui Kematian terhadap Diri Sendiri
Dalam Roma 6:6, Paulus menulis, "Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa." Ayat ini menunjukkan bahwa kematian terhadap diri sendiri adalah bagian dari proses transformasi yang memungkinkan orang percaya untuk hidup dalam ketaatan kepada Allah dan lepas dari perhambaan dosa.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menegaskan bahwa kematian terhadap diri sendiri adalah bagian dari perjalanan pengudusan. Calvin menyatakan bahwa manusia lama, yang berpusat pada dosa dan keinginan egois, harus mati agar manusia baru, yang hidup dalam ketaatan kepada Allah, dapat muncul. Bagi Calvin, panggilan untuk mati terhadap diri sendiri adalah panggilan untuk hidup dalam kebaruan hidup yang diciptakan oleh Roh Kudus.
Wayne Grudem dalam Systematic Theology juga membahas pentingnya transformasi ini. Grudem menjelaskan bahwa kematian terhadap diri sendiri membuka jalan bagi orang percaya untuk hidup dalam kebenaran dan kekudusan. Melalui kematian terhadap diri sendiri, orang percaya diubah menjadi serupa dengan Kristus dan hidup dalam ketaatan penuh kepada kehendak Allah.
6. Panggilan untuk Mati bagi Diri Sendiri sebagai Jalan Menuju Hidup yang Berbuah
Dalam Yohanes 12:24, Yesus berkata, "Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah." Dalam perumpamaan ini, Yesus mengajarkan bahwa kematian terhadap diri sendiri adalah syarat untuk hidup yang berbuah.
Charles Spurgeon sering berbicara tentang pentingnya mati terhadap diri sendiri dalam khotbah-khotbahnya. Spurgeon mengajarkan bahwa ketika seseorang mati terhadap ego dan keinginan pribadinya, dia dapat menjadi alat yang efektif dalam pelayanan kepada Allah. Menurut Spurgeon, kematian terhadap diri sendiri memungkinkan Roh Kudus untuk bekerja dalam hidup orang percaya, sehingga hidup mereka menghasilkan buah rohani yang berlimpah.
Richard Foster dalam Celebration of Discipline juga menekankan bahwa kematian terhadap diri sendiri adalah langkah penting dalam kehidupan Kristen yang berbuah. Foster menjelaskan bahwa melalui disiplin rohani, orang percaya diajak untuk menanggalkan keinginan duniawi dan menggantinya dengan keinginan untuk melayani Allah dan sesama. Dengan mati bagi diri sendiri, orang percaya menghasilkan buah-buah yang memuliakan Allah dan bermanfaat bagi orang lain.
7. Kebangkitan dari Kematian Diri: Menghidupi Kebebasan dalam Kristus
Panggilan untuk mati bagi diri sendiri tidak berhenti pada penyangkalan diri, tetapi berujung pada kebangkitan dan kehidupan yang baru dalam Kristus. Dalam Roma 6:4, Paulus berkata, "Jadi kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru."
Timothy Keller dalam The Freedom of Self-Forgetfulness menekankan bahwa kematian terhadap diri sendiri membawa kita kepada kebebasan sejati di dalam Kristus. Keller menjelaskan bahwa ketika kita melepaskan ego, kita hidup dalam kebebasan dari kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari dunia. Menurut Keller, mati bagi diri sendiri membawa kita pada kehidupan yang penuh sukacita dalam Kristus, di mana kita tidak lagi terikat oleh penilaian dunia.
J.I. Packer dalam Knowing God mengajarkan bahwa kebangkitan dari kematian terhadap diri sendiri membawa kita pada kehidupan baru yang dipenuhi oleh kasih dan ketaatan kepada Allah. Packer menjelaskan bahwa ketika kita mati bagi diri sendiri, kita dibebaskan dari belenggu ego dan diberi kehidupan yang sejati dalam Kristus. Panggilan untuk mati bagi diri sendiri adalah panggilan untuk hidup dalam kebebasan dan kebenaran, di mana kita dapat melayani Allah dengan tulus.
Kesimpulan
Panggilan untuk mati dalam Kekristenan adalah panggilan untuk hidup dalam penyangkalan diri, melepaskan keinginan pribadi, dan mengarahkan hidup sepenuhnya kepada kehendak Allah. Para teolog seperti Dietrich Bonhoeffer, John Stott, C.S. Lewis, A.W. Tozer, dan lainnya menegaskan bahwa panggilan untuk mati bagi diri sendiri adalah inti dari kehidupan Kristen. Kematian terhadap diri sendiri bukan hanya tentang mengorbankan keinginan pribadi, tetapi juga panggilan untuk hidup dalam kasih, pengorbanan, dan penyerahan penuh kepada Kristus.
Dalam kehidupan Kristen, panggilan untuk mati bagi diri sendiri adalah panggilan untuk menemukan kehidupan yang sejati dalam Kristus. Orang percaya yang mengikuti panggilan ini menemukan kebebasan dari perhambaan ego dan memperoleh hidup yang dipenuhi dengan kasih, pelayanan, dan pengharapan. Dengan hidup dalam penyangkalan diri, orang percaya menjadi alat yang dipakai oleh Allah untuk menghasilkan buah rohani, membagikan kasih-Nya kepada dunia, dan hidup dalam sukacita yang sejati di dalam Kristus.