Sophia dalam Teks Alkitab: Kebijaksanaan dalam Kitab Suci dan Tradisi
Dalam teologi Kristen, kebijaksanaan atau hikmat sering kali menjadi tema sentral yang melintasi batas antara pemahaman manusia dan wahyu ilahi. Dalam bahasa Yunani, istilah Sophia digunakan dalam Perjanjian Baru untuk merujuk kepada kebijaksanaan. Di Perjanjian Lama, konsep ini sering ditemukan dalam kata Ibrani hokmah (חָכְמָה), yang mengacu pada kualitas intelektual dan spiritual yang berasal dari Allah. Kebijaksanaan tidak hanya menjadi alat bagi manusia untuk memahami kehidupan, tetapi
juga sarana Allah untuk menyatakan diri-Nya dalam dunia.
1. Sophia dalam Perjanjian Lama: Hikmat Allah yang Aktif
a. Hikmat sebagai Kualitas Ilahi
Dalam Perjanjian Lama, kebijaksanaan sering digambarkan sebagai atribut Allah yang dinyatakan dalam penciptaan, hukum Taurat, dan hubungan-Nya dengan umat manusia. Salah satu teks penting adalah Amsal 8:22-31, di mana kebijaksanaan berbicara seolah-olah ia adalah pribadi yang bersama-sama dengan Allah dalam proses penciptaan:"Tuhan telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala." (Amsal 8:22, TB)
Para teolog Reformed melihat bagian ini sebagai metafora untuk menunjukkan kehadiran hikmat Allah yang aktif dalam ciptaan. Herman Bavinck, dalam Reformed Dogmatics, menjelaskan bahwa hikmat dalam Perjanjian Lama sering diidentifikasi dengan hukum Allah, yang menjadi panduan bagi manusia untuk hidup selaras dengan ciptaan.
b. Hikmat sebagai Jalan Hidup
Kebijaksanaan juga dilihat sebagai jalan hidup yang dipenuhi dengan ketaatan kepada Allah. Mazmur 111:10 menyatakan:"Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan; semua orang yang melakukannya berakal budi yang baik."
Louis Berkhof menjelaskan bahwa konsep hikmat dalam Perjanjian Lama tidak terbatas pada kecerdasan intelektual, tetapi lebih pada hidup yang tunduk kepada kehendak Allah. Hikmat sejati hanya dapat diperoleh melalui hubungan yang benar dengan Sang Pencipta.
2. Sophia dalam Perjanjian Baru: Kristus sebagai Hikmat Allah
a. Kristus sebagai Personifikasi Hikmat
Dalam Perjanjian Baru, konsep Sophia mencapai puncaknya dalam Yesus Kristus. Rasul Paulus secara eksplisit menyebut Kristus sebagai hikmat Allah dalam 1 Korintus 1:24 (TB):"Tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah."
Menurut John Calvin, penyebutan Kristus sebagai hikmat Allah menunjukkan bahwa semua kebenaran dan pengertian ilahi mencapai kepenuhannya dalam diri Kristus. Dalam Institutes of the Christian Religion, Calvin menulis:"Kristus adalah sumber segala hikmat, karena melalui Dia Allah menyatakan kehendak-Nya yang sempurna kepada manusia."
b. Hikmat dalam Konteks Salib
Paulus juga menunjukkan bahwa hikmat Allah bertentangan dengan hikmat dunia. Dalam 1 Korintus 1:18-25, ia menyatakan bahwa pesan salib adalah "kebodohan" bagi mereka yang binasa, tetapi adalah hikmat Allah bagi mereka yang diselamatkan.
R.C. Sproul menjelaskan bahwa salib adalah paradoks hikmat Allah. Ia menulis:"Melalui salib, Allah menunjukkan bahwa hikmat-Nya jauh melampaui pemahaman manusia. Hikmat dunia melihat salib sebagai kebodohan, tetapi dalam realitasnya, itulah jalan keselamatan."
c. Roh Kudus sebagai Pemberi Hikmat
Hikmat juga diberikan kepada umat percaya melalui Roh Kudus. Yakobus 1:5 (TB) menyatakan:
"Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit, maka hal itu akan diberikan kepadanya."
Teolog Reformed menekankan bahwa hikmat bukanlah hasil usaha manusia, tetapi pemberian Allah yang datang melalui karya Roh Kudus. Herman Bavinck menulis bahwa Roh Kudus bekerja dalam hati orang percaya untuk memperbarui pikiran mereka sehingga mereka dapat memahami hikmat Allah yang sejati.
3. Hikmat dalam Tradisi Kristen
a. Pandangan John Calvin
John Calvin secara konsisten menekankan bahwa hikmat sejati hanya berasal dari Allah. Dalam komentarnya tentang Mazmur dan Amsal, Calvin menekankan bahwa hikmat ilahi melibatkan pengenalan akan Allah dan pengenalan diri. Ia berkata:"Hikmat dimulai dengan mengenal Allah, karena hanya dengan mengenal Dia, kita dapat memahami dunia dan tempat kita di dalamnya."
Calvin juga mengaitkan hikmat dengan kedaulatan Allah, di mana ia percaya bahwa segala sesuatu dalam hidup manusia diatur oleh hikmat Allah yang sempurna.
b. Herman Bavinck dan Keharmonisan Hikmat
Herman Bavinck melihat hikmat sebagai manifestasi dari keharmonisan ciptaan. Ia menulis:"Hikmat Allah terlihat dalam keteraturan dunia ini, di mana segala sesuatu bekerja bersama-sama untuk memuliakan Allah."
Bavinck juga menekankan bahwa hikmat manusia adalah pantulan dari hikmat Allah. Sebagai gambar Allah, manusia dipanggil untuk hidup dalam cara yang mencerminkan kebijaksanaan ilahi, yaitu dengan tunduk kepada kehendak-Nya.
c. Louis Berkhof dan Hikmat sebagai Karakteristik Allah
Dalam Systematic Theology, Louis Berkhof menyebut hikmat sebagai salah satu atribut Allah. Ia menjelaskan bahwa hikmat Allah adalah kemampuan-Nya untuk memilih sarana terbaik untuk mencapai tujuan-Nya yang sempurna. Berkhof menulis:"Hikmat Allah terlihat dalam rencana keselamatan-Nya, di mana Ia memilih jalan yang paling sesuai untuk mendamaikan keadilan dan kasih-Nya."
4. Sophia dan Kehidupan Kristen
a. Hikmat dalam Kehidupan Sehari-hari
Hikmat ilahi tidak hanya relevan dalam pemahaman teologis, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari umat Kristen. Yakobus 3:17 (TB) menyatakan:"Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya suka damai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik."
Teolog Reformed menekankan bahwa hikmat harus diwujudkan dalam kehidupan yang mencerminkan karakter Kristus. Hidup yang penuh hikmat berarti hidup dalam kebenaran, kasih, dan keadilan.
b. Hikmat sebagai Jalan untuk Mengenal Allah
Hikmat juga menjadi alat untuk mengenal Allah secara lebih mendalam. Amsal 2:6 (TB) menyatakan:
"Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian."
Menurut R.C. Sproul, hikmat membuka pintu bagi orang percaya untuk memahami wahyu Allah, baik melalui Firman-Nya maupun karya-Nya dalam ciptaan.
c. Doa untuk Hikmat
Umat Kristen diajak untuk terus berdoa meminta hikmat, sebagaimana yang diajarkan Yakobus. Dalam tradisi Reformed, doa untuk hikmat dipandang sebagai bentuk ketergantungan kepada Allah, yang adalah sumber segala pengetahuan dan pengertian.
5. Sophia dalam Perspektif Eskatologis
Dalam tradisi Kristen, hikmat juga memiliki dimensi eskatologis. Di masa depan, hikmat Allah akan dinyatakan secara penuh ketika Kristus datang kembali. Dalam Efesus 1:9-10 (TB), Paulus menyatakan bahwa Allah telah memberitahukan rencana-Nya yang tersembunyi, yaitu untuk mempersatukan segala sesuatu di bawah Kristus.
Herman Bavinck menulis:"Di akhir zaman, hikmat Allah akan terlihat dalam pemulihan segala sesuatu, di mana langit dan bumi yang baru akan mencerminkan kemuliaan-Nya secara sempurna."
Kesimpulan
Sophia, atau hikmat, adalah tema besar dalam Alkitab yang mengungkapkan karakter Allah, karya-Nya dalam penciptaan, dan rencana keselamatan-Nya dalam Kristus. Dalam Perjanjian Lama, hikmat Allah terlihat dalam keteraturan dunia dan hukum Taurat-Nya, sementara dalam Perjanjian Baru, hikmat mencapai kepenuhannya dalam diri Yesus Kristus, yang adalah personifikasi hikmat Allah.
Para teolog Reformed seperti John Calvin, Herman Bavinck, dan Louis Berkhof menekankan bahwa hikmat ilahi adalah pemberian Allah yang diberikan melalui karya Roh Kudus. Hikmat tidak hanya menjadi sarana untuk memahami Allah, tetapi juga untuk hidup dalam cara yang memuliakan Dia.
Bagi umat Kristen, Sophia tidak hanya menjadi konsep teologis, tetapi juga panggilan untuk hidup dalam takut akan Tuhan, ketaatan, dan kasih. Hikmat sejati hanya dapat ditemukan dalam hubungan yang intim dengan Allah, Sang Sumber segala hikmat.
Seperti yang tertulis dalam Amsal 9:10 (TB):
"Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian."