Galatia 2:1-2: Kedaulatan Allah dalam Penginjilan dan Pertahanan Injil

Galatia 2:1-2: Kedaulatan Allah dalam Penginjilan dan Pertahanan Injil

Pendahuluan:

Surat Galatia ditulis oleh Rasul Paulus untuk menanggapi permasalahan serius dalam gereja di Galatia, yaitu penyebaran ajaran sesat dari kelompok Yudaisme Kristen yang mengajarkan bahwa keselamatan bergantung pada iman kepada Kristus ditambah dengan hukum Taurat (khususnya sunat). Dalam Galatia 2:1-2, Paulus menceritakan bagaimana ia kembali ke Yerusalem setelah 14 tahun untuk mengonfirmasi Injil yang diberitakannya kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi.

Galatia 2:1-2 (AYT):(Galatia 2:1) Empat belas tahun kemudian, aku kembali lagi ke kota Yerusalem dengan Barnabas dan membawa Titus bersamaku.(Galatia 2:2) Aku pergi karena suatu penyataan dan untuk menjelaskan kepada mereka tentang Injil yang kuberitakan di antara orang-orang bukan Yahudi. Namun, aku melakukannya dalam pertemuan pribadi, yaitu hanya dengan mereka yang berpengaruh untuk memastikan bahwa apa yang kukerjakan dan yang sudah kukerjakan tidak sia-sia.

Bagian ini memiliki makna teologis yang sangat dalam dalam perspektif Reformed, karena berbicara tentang:

  1. Otoritas dan kedaulatan Allah dalam penginjilan.
  2. Pentingnya mempertahankan Injil yang murni.
  3. Kesatuan antara jemaat Yahudi dan non-Yahudi dalam tubuh Kristus.

Para teolog Reformed seperti John Calvin, Herman Bavinck, dan R.C. Sproul menafsirkan bagian ini sebagai bukti bahwa Injil adalah anugerah murni dari Allah, bukan hasil usaha manusia, dan bahwa kebenaran Injil harus dipertahankan dari segala bentuk penyimpangan.

Artikel ini akan mengupas eksposisi mendalam Galatia 2:1-2 dalam konteks teologi Reformed serta aplikasinya dalam kehidupan Kristen saat ini.

Latar Belakang Galatia 2:1-2

Paulus menulis surat ini kepada jemaat di Galatia (daerah di Asia Kecil, sekarang Turki) yang mulai dipengaruhi oleh ajaran "Injil lain" (Galatia 1:6-9).

Beberapa orang Yahudi Kristen mengajarkan bahwa orang percaya non-Yahudi harus disunat dan mengikuti hukum Taurat untuk diselamatkan. Paulus menentang ajaran ini dengan keras, karena keselamatan adalah anugerah melalui iman kepada Kristus saja (Sola Fide), bukan melalui perbuatan hukum Taurat.

A. Eksposisi Galatia 2:1-2

1. "Empat belas tahun kemudian, aku kembali lagi ke kota Yerusalem dengan Barnabas dan membawa Titus bersamaku." (Galatia 2:1)

A. Paulus Kembali ke Yerusalem dalam Waktu yang Ditentukan Allah

Paulus menyatakan bahwa ia kembali ke Yerusalem setelah 14 tahun, bukan karena tekanan manusia, tetapi karena tuntunan Allah. Ini menunjukkan bahwa pelayanan dan misi Paulus bukan berdasarkan rencana manusia, tetapi berdasarkan panggilan ilahi.

John Calvin berkomentar bahwa:

"Paulus tidak bertindak gegabah atau sembrono, tetapi mengikuti arahan ilahi. Misi sejati tidak didasarkan pada keputusan manusia, tetapi pada panggilan Allah." (Commentary on Galatians)

Dalam teologi Reformed, ini terkait dengan doktrin providensi Allah—bahwa setiap peristiwa dalam sejarah keselamatan terjadi sesuai dengan rencana Allah yang kekal (Efesus 1:11).

B. Keikutsertaan Barnabas dan Titus

Paulus membawa Barnabas dan Titus sebagai tanda kesatuan antara orang Yahudi dan non-Yahudi dalam Injil:

  • Barnabas → seorang Yahudi yang aktif dalam penginjilan kepada orang bukan Yahudi.
  • Titus → seorang Yunani yang telah menerima Injil tetapi tidak disunat.

Herman Bavinck menjelaskan bahwa keikutsertaan Titus adalah bukti bahwa keselamatan tidak bergantung pada sunat atau hukum Taurat:

"Jika sunat diperlukan untuk keselamatan, maka Titus harus disunat. Tetapi kehadiran Titus di Yerusalem sebagai orang percaya yang tidak bersunat adalah bukti bahwa keselamatan hanya oleh iman." (Reformed Dogmatics, Vol. 3)

2. "Aku pergi karena suatu penyataan..." (Galatia 2:2a)

A. Paulus Dipimpin oleh Penyataan Ilahi

Paulus menegaskan bahwa ia pergi ke Yerusalem karena suatu penyataan (apokalupsis), bukan karena tekanan dari para pemimpin gereja di Yerusalem.

R.C. Sproul mengaitkan ini dengan otoritas kerasulan Paulus:

"Paulus menerima Injil langsung dari Kristus, bukan dari manusia. Ini membuktikan bahwa otoritas kerasulannya berasal dari Allah sendiri." (The Holiness of God)

Dalam teologi Reformed, ini menegaskan bahwa Injil bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi wahyu langsung dari Allah (2 Timotius 3:16-17).

3. "Untuk menjelaskan kepada mereka tentang Injil yang kuberitakan di antara orang-orang bukan Yahudi..." (Galatia 2:2b)

A. Paulus Memastikan Injil yang Murni

Paulus ingin memastikan bahwa pengajarannya sesuai dengan kebenaran Injil dan tidak ada kontradiksi dengan para rasul lainnya.

John Calvin menulis:

"Paulus bukan mencari persetujuan manusia, tetapi ingin menunjukkan bahwa Injil yang ia beritakan adalah Injil yang sama dengan yang diberitakan oleh para rasul lainnya." (Commentary on Galatians)

Ini menegaskan doktrin kesatuan Injil—bahwa hanya ada satu Injil yang benar, yaitu keselamatan oleh anugerah melalui iman dalam Kristus saja (Sola Gratia, Sola Fide).

4. "Namun, aku melakukannya dalam pertemuan pribadi, yaitu hanya dengan mereka yang berpengaruh..." (Ayat 2c)

A. Diplomasi dalam Mempertahankan Injil

Paulus tidak langsung membahas isu ini di hadapan publik, tetapi lebih dulu berbicara secara pribadi dengan pemimpin-pemimpin gereja di Yerusalem (mungkin Petrus, Yakobus, dan Yohanes, lihat Galatia 2:9).

R.C. Sproul menjelaskan:

"Paulus memahami pentingnya hikmat dalam menghadapi kontroversi doktrinal. Terkadang, pendekatan pribadi lebih efektif dalam mempertahankan kebenaran Injil."

Ini menunjukkan bahwa dalam mempertahankan kebenaran, kita harus bijaksana dalam pendekatan kita, tidak dengan cara yang memecah belah tetapi dengan cara yang membangun dan menguatkan gereja.

5. "Untuk memastikan bahwa apa yang kukerjakan dan yang sudah kukerjakan tidak sia-sia." (Galatia 2:2d)

A. Menjaga Kemurnian Injil agar Pelayanan Tidak Sia-sia

Paulus tidak ingin pelayanannya dihancurkan oleh ajaran yang salah. Ia memahami bahwa jika gereja mulai mencampurkan hukum Taurat dengan Injil, maka dasar keselamatan akan dirusak.

John Calvin menekankan bahwa:

"Satu-satunya dasar keselamatan adalah anugerah Kristus. Jika hukum Taurat ditambahkan, maka Injil tidak lagi menjadi Injil yang benar."

Ini berkaitan dengan doktrin Justifikasi oleh Iman (Sola Fide), yang menjadi inti dari teologi Reformed.

B. Makna Teologis Galatia 2:1-2: Kedaulatan Allah dalam Penginjilan dan Pertahanan Injil

1. Kedaulatan Allah dalam Mengarahkan Penginjilan

Dalam tafsirannya, John Calvin menekankan bahwa perjalanan Paulus ke Yerusalem bukanlah keputusan pribadinya, tetapi merupakan respons terhadap penyataan Allah (ayat 2). Ini menunjukkan bahwa dalam setiap aspek penginjilan, Allah yang berdaulat mengarahkan langkah hamba-hamba-Nya.

Calvin menulis dalam Commentary on Galatians:

“Paulus tidak pergi ke Yerusalem karena ia takut Injilnya ditolak, tetapi karena ia tunduk pada kehendak Allah yang dinyatakan kepadanya.”

Kedaulatan Allah dalam penginjilan berarti bahwa bukan manusia yang menentukan hasil penginjilan, tetapi Allah yang telah menetapkan waktu, tempat, dan orang-orang yang akan mendengar serta menerima Injil.

2. Injil yang Benar Tidak Ditentukan oleh Otoritas Manusia

Paulus menjelaskan bahwa ia tidak pergi ke Yerusalem untuk mencari pengakuan dari para pemimpin gereja, tetapi untuk meneguhkan bahwa Injil yang ia beritakan sesuai dengan wahyu ilahi.

Herman Bavinck, dalam Reformed Dogmatics, menekankan bahwa otoritas Injil bukan berasal dari manusia atau institusi gerejawi, tetapi dari Allah sendiri. Ia menulis:

“Kebenaran Injil tidak bergantung pada persetujuan manusia, tetapi pada wahyu ilahi yang tidak dapat diubah.”

Paulus, sebagai rasul yang dipilih Allah, memberitakan Injil berdasarkan wahyu langsung dari Kristus (Galatia 1:11-12). Dengan demikian, gereja tidak boleh menyesuaikan Injil untuk menyenangkan manusia, tetapi harus tetap setia pada kebenaran yang telah dinyatakan Allah.

3. Perjuangan Melawan Legalistik dan Distorsi Injil

Paulus membawa Titus, seorang Yunani, sebagai bukti bahwa keselamatan tidak bergantung pada sunat atau hukum Taurat, tetapi semata-mata oleh anugerah Allah melalui iman kepada Kristus.

R.C. Sproul dalam Grace Unknown menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan perjuangan gereja mula-mula dalam mempertahankan Injil dari ancaman legalisme. Sproul menekankan bahwa menambahkan hukum Taurat sebagai syarat keselamatan adalah bentuk distorsi Injil yang berbahaya.

Sproul menulis:

“Ketika hukum Taurat ditambahkan sebagai syarat keselamatan, maka anugerah berhenti menjadi anugerah. Injil yang sejati adalah keselamatan oleh kasih karunia melalui iman, bukan hasil usaha manusia.”

Paulus berjuang untuk memastikan bahwa Injil yang ia wartakan kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi tetap murni, tanpa campuran hukum Taurat. Ini menunjukkan bahwa pertahanan terhadap kemurnian Injil adalah bagian dari misi gereja dalam setiap zaman.

4. Pentingnya Strategi dalam Penginjilan

Paulus memilih untuk bertemu secara pribadi dengan para pemimpin gereja di Yerusalem sebelum secara terbuka mengumumkan Injil yang ia wartakan.

Menurut John MacArthur, tindakan ini mencerminkan prinsip kebijaksanaan dalam penginjilan. MacArthur menulis:

“Paulus bukan hanya seorang pemberita Injil yang berani, tetapi juga seorang yang bijaksana dalam membangun konsensus dan menghindari perpecahan yang tidak perlu dalam gereja.”

Dalam penginjilan, strategi yang tepat diperlukan agar berita Injil dapat diterima tanpa mengorbankan kebenaran. Paulus tidak ingin pelayanannya menjadi sia-sia karena kesalahpahaman atau penolakan dari orang-orang yang berpengaruh.

5. Kesatuan Gereja dalam Penginjilan dan Pertahanan Injil

Meskipun Paulus mendapat wahyu langsung dari Tuhan, ia tetap menghormati otoritas para rasul lain dengan berbicara kepada mereka. Ini menunjukkan bahwa kedaulatan Allah dalam penginjilan tidak meniadakan pentingnya kesatuan gereja.

Louis Berkhof, dalam Systematic Theology, menekankan bahwa gereja yang sejati harus bersatu dalam doktrin dan misi penginjilan. Ia menulis:

“Kebenaran Injil tidak bisa dikompromikan, tetapi dalam mempertahankannya, kita harus tetap menjaga kesatuan tubuh Kristus.”

Paulus memahami bahwa meskipun ia memiliki otoritas kerasulan, ia tetap harus bekerja sama dengan para pemimpin gereja lainnya. Ini menjadi model bagi gereja masa kini bahwa pertahanan Injil harus dilakukan dalam semangat kesatuan, bukan perpecahan.

Kesimpulan: Kedaulatan Allah dalam Penginjilan dan Pertahanan Injil

Galatia 2:1-2 menunjukkan bagaimana kedaulatan Allah bekerja dalam penginjilan dan pertahanan Injil. Berdasarkan pandangan para teolog Reformed, kita dapat mengambil beberapa prinsip penting:

  1. Allah yang berdaulat mengarahkan penginjilan – Paulus pergi ke Yerusalem bukan karena keputusan pribadinya, tetapi berdasarkan penyataan Allah (John Calvin).
  2. Injil tidak bergantung pada otoritas manusia – Kebenaran Injil berasal dari wahyu ilahi, bukan dari persetujuan manusia (Herman Bavinck).
  3. Pertahanan terhadap Injil adalah bagian dari panggilan gereja – Legalisme adalah ancaman nyata yang harus dilawan agar Injil tetap murni (R.C. Sproul).
  4. Strategi yang bijaksana diperlukan dalam penginjilan – Paulus bertemu dengan pemimpin gereja secara pribadi sebelum menyatakan Injil secara terbuka (John MacArthur).
  5. Kesatuan gereja dalam misi Injil – Paulus bekerja sama dengan para rasul lain untuk memastikan kesatuan dalam penginjilan (Louis Berkhof).

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk setia dalam memberitakan Injil dan mempertahankannya dari segala bentuk distorsi. Dengan mengandalkan kedaulatan Allah, kita dapat dengan penuh keberanian menyebarkan Injil yang sejati kepada dunia.

"Sebab aku tidak malu terhadap Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani." (Roma 1:16)

Next Post Previous Post