Habakuk 1:1-4: Pergumulan Iman dalam Ketidakadilan Dunia
Pendahuluan:
Habakuk 1:1-4 adalah bagian awal dari kitab Habakuk yang mencerminkan pergumulan iman seorang nabi terhadap ketidakadilan dan kejahatan yang merajalela. Habakuk dengan berani berseru kepada Tuhan, mempertanyakan mengapa kejahatan dibiarkan terjadi tanpa intervensi ilahi. Ayat-ayat ini menjadi refleksi universal bagi banyak orang percaya yang bertanya-tanya mengapa Allah tampaknya diam di tengah penderitaan.
Artikel ini akan menguraikan Habakuk 1:1-4 dalam perspektif teologi Reformed, dengan merujuk pada pandangan beberapa pakar teologi seperti John Calvin, Charles Spurgeon, dan R.C. Sproul.
Teks Alkitab: Habakuk 1:1-4 (AYT):1 Nubuat yang Nabi Habakuk lihat.2 “Berapa lama lagi, TUHAN, aku harus berseru, minta tolong dan tidak akan Engkau dengar? Atau, aku berteriak kepada-Mu, ‘Kekerasan!’ dan Engkau tidak akan menyelamatkan?3 Mengapa Engkau membuatku melihat kejahatan? Mengapa Engkau tidak memandang pada kesalahan? Penindasan dan kekerasan ada di hadapanku, terjadi perbantahan dan pertikaian.4 Oleh sebab itu, hukum diabaikan, dan keadilan tidak pernah muncul. Karena orang jahat mengepung orang benar, maka muncul keadilan yang bengkok.”A. Analisis Teologis dan Konteks Sejarah
Habakuk hidup sekitar akhir abad ke-7 SM, sebelum kehancuran Yerusalem oleh Babel pada tahun 586 SM. Saat itu, Yehuda mengalami kemerosotan moral dan spiritual yang parah. Raja-raja yang tidak setia, ketidakadilan sosial, dan penindasan terjadi di mana-mana. Habakuk melihat keadaan ini dan bergumul dengan fakta bahwa Tuhan seolah-olah membiarkan kejahatan terus terjadi.
1. Habakuk 1:1 - Nubuat yang Nabi Habakuk Lihat
Ayat pertama menyatakan bahwa apa yang akan diungkapkan oleh Habakuk adalah "nubuat" (Ibrani: massa), yang berarti pesan ilahi yang mengandung peringatan atau hukuman. Berbeda dengan nabi-nabi lain yang menyampaikan nubuat kepada umat, kitab ini lebih menekankan dialog pribadi Habakuk dengan Tuhan.
John Calvin dalam komentarnya menekankan bahwa "penglihatan" ini bukan hanya informasi tentang masa depan, tetapi juga suatu pewahyuan yang menuntun umat Allah untuk memahami rencana-Nya dalam sejarah. Habakuk mengajarkan bahwa Allah tidak diam, tetapi tetap bekerja meskipun umat-Nya tidak segera melihat hasilnya.
2. Habakuk 1:2 - Seruan Putus Asa Nabi
Habakuk berseru kepada Tuhan dengan nada frustrasi:“Berapa lama lagi, TUHAN, aku harus berseru, minta tolong dan tidak akan Engkau dengar?”
Nabi tidak hanya bertanya, tetapi mempertanyakan keadilan Tuhan. Ini menunjukkan kejujuran Habakuk dalam hubungannya dengan Tuhan.
Charles Spurgeon menafsirkan ayat ini sebagai refleksi dari iman yang diuji. Menurutnya, orang percaya sering kali mengalami musim di mana mereka merasa doa mereka tidak dijawab. Namun, justru dalam keadaan seperti itulah mereka dipanggil untuk tetap percaya kepada Allah.
R.C. Sproul menambahkan bahwa seruan Habakuk menunjukkan pemahaman teologi Reformed tentang kedaulatan Allah. Meskipun tampaknya Tuhan diam, itu bukan berarti Ia tidak bertindak. Allah memiliki rencana yang melampaui pemahaman manusia.
3. Habakuk 1:3 - Kejahatan yang Tampak Tak Terbendung
Habakuk bertanya kepada Tuhan mengapa Ia membiarkan kejahatan terjadi. Ini adalah pertanyaan klasik dalam teologi yang dikenal sebagai theodicy – bagaimana Allah yang baik dapat membiarkan penderitaan dan ketidakadilan terjadi?
Ayat ini menggambarkan keadaan Yehuda yang dipenuhi dengan:
- Kekerasan (hamas) – ketidakadilan sosial yang merajalela
- Penindasan dan pertikaian – perselisihan yang mengakibatkan kehancuran hubungan masyarakat
- Keadaan moral yang rusak – hukum Tuhan diabaikan
John Calvin menjelaskan bahwa dosa adalah konsekuensi dari kejatuhan manusia. Tuhan membiarkan manusia menjalani kebebasannya, tetapi tidak berarti Dia tidak memiliki kendali atas sejarah.
4. Habakuk 1:4 - Keadaan Hukum yang Rusak
Ayat ini menggambarkan bagaimana hukum tidak lagi ditegakkan:"Oleh sebab itu, hukum diabaikan, dan keadilan tidak pernah muncul."
Hukum Tuhan (torah) tidak lagi menjadi standar moral masyarakat. Orang jahat menguasai orang benar, dan keadilan menjadi terbalik.
Charles Spurgeon melihat ayat ini sebagai peringatan bagi gereja modern. Ketika umat Tuhan meninggalkan firman-Nya, maka yang terjadi adalah korupsi spiritual dan sosial.
R.C. Sproul menekankan bahwa ini adalah penggambaran dari dunia yang telah jatuh dalam dosa. Tetapi meskipun keadilan tampak terdistorsi, Allah tetap memiliki rencana penebusan yang pada akhirnya akan dinyatakan dalam Kristus.
B. Makna Teologis Habakuk 1:1-4: Pergumulan Iman dalam Ketidakadilan Dunia
1. Habakuk dan Tradisi Doa Keluhan
Dalam Habakuk 1:2, nabi berseru kepada Tuhan:"Berapa lama lagi, TUHAN, aku harus berseru, minta tolong dan tidak akan Engkau dengar? Atau, aku berteriak kepada-Mu, 'Kekerasan!' dan Engkau tidak akan menyelamatkan?" (AYT).
Keluhan ini mencerminkan tradisi doa ratapan dalam Perjanjian Lama, yang juga ditemukan dalam kitab Mazmur (Mazmur 13:2, 22:2). Keluhan semacam ini bukanlah tanda ketidakpercayaan, tetapi ekspresi iman yang mendalam. Habakuk percaya bahwa Tuhan itu adil dan berdaulat, sehingga dia merasa berhak untuk bertanya mengapa keadilan Tuhan tampaknya tertunda.
Walter Brueggemann, seorang teolog Perjanjian Lama, menjelaskan bahwa doa keluhan merupakan bentuk keintiman dengan Tuhan. Dengan berani bertanya, Habakuk menunjukkan bahwa relasinya dengan Tuhan bukan relasi pasif, tetapi aktif dan penuh keterlibatan.
2. Masalah Teodisi: Mengapa Tuhan Tampak Diam?
Habakuk 1:3 mengajukan pertanyaan mendalam mengenai kejahatan:"Mengapa Engkau membuatku melihat kejahatan? Mengapa Engkau tidak memandang pada kesalahan? Penindasan dan kekerasan ada di hadapanku, terjadi perbantahan dan pertikaian." (AYT).
Ayat ini mencerminkan salah satu permasalahan teologi yang paling tua, yaitu teodisi—pembelaan terhadap keadilan Tuhan di tengah keberadaan kejahatan. Jika Tuhan adalah Mahakuasa dan Mahabaik, mengapa Dia membiarkan penderitaan dan ketidakadilan terjadi?
Agustinus dari Hippo berpendapat bahwa kejahatan bukan berasal dari Tuhan, tetapi merupakan akibat dari kehendak bebas manusia yang menyimpang dari kehendak ilahi. Dalam pandangan ini, Tuhan mengizinkan kejahatan karena Dia telah memberi manusia kebebasan untuk memilih.
Namun, dalam kasus Habakuk, masalahnya lebih kompleks. Kejahatan yang dikeluhkan bukan hanya dosa individu, tetapi juga kejahatan sistemik yang dilakukan oleh orang-orang berkuasa. John Goldingay menekankan bahwa Habakuk bukan hanya berbicara tentang dosa pribadi, tetapi juga tentang ketidakadilan sosial yang membuat hukum menjadi tidak efektif.
3. Ketidakadilan dalam Sistem Hukum dan Sosial
Habakuk 1:4 melanjutkan keluhannya dengan menunjukkan akibat dari kejahatan:"Oleh sebab itu, hukum diabaikan, dan keadilan tidak pernah muncul. Karena orang jahat mengepung orang benar, maka muncul keadilan yang bengkok." (AYT).
Di sini, Habakuk mengeluhkan bagaimana hukum yang seharusnya menegakkan keadilan malah menjadi alat penindasan. Orang jahat mendominasi, sementara orang benar terpinggirkan. Ini adalah gambaran dari suatu masyarakat di mana korupsi dan ketidakadilan menjadi norma.
Tim Keller dalam bukunya Generous Justice menekankan bahwa ketidakadilan sistemik seperti ini adalah akibat dari hati manusia yang berdosa. Jika hukum dibuat dan ditegakkan oleh orang-orang yang tidak takut akan Tuhan, maka hukum itu sendiri bisa menjadi alat penindasan.
Teolog Bruce Waltke menambahkan bahwa dalam perspektif Perjanjian Lama, hukum Tuhan seharusnya menjadi cerminan dari keadilan-Nya. Ketika hukum disalahgunakan, itu bukan hanya pelanggaran sosial, tetapi juga penghinaan terhadap karakter Tuhan yang adil.
4. Kedaulatan Tuhan atas Sejarah
Habakuk bertanya mengapa Tuhan tampaknya tidak bertindak. Namun, dalam bagian selanjutnya dari kitab ini, Tuhan menjawab bahwa Dia sedang bekerja, bahkan jika manusia tidak langsung melihat hasilnya (Habakuk 1:5-6).
Martin Luther melihat ini sebagai bukti bahwa Tuhan tetap berdaulat atas sejarah. Tuhan tidak diam, tetapi rencana-Nya sering kali berbeda dari ekspektasi manusia. Ketika kita merasa bahwa Tuhan tidak bertindak, sebenarnya Dia sedang bekerja dengan cara yang tidak kita mengerti.
N.T. Wright menyatakan bahwa salah satu kesalahan manusia adalah mengasumsikan bahwa Tuhan harus bekerja sesuai dengan logika kita. Padahal, dalam banyak kasus, Tuhan memiliki rencana jangka panjang yang tidak selalu langsung terlihat dalam waktu singkat.
5. Iman yang Bertahan di Tengah Ketidakpastian
Meskipun Habakuk memulai kitabnya dengan keluhan, kitab ini diakhiri dengan pernyataan iman yang luar biasa:"Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan... tetapi aku akan bersukacita di dalam TUHAN, aku akan bergembira di dalam Allah yang menyelamatkan aku." (Habakuk 3:17-18, AYT).
Habakuk belajar bahwa meskipun ia tidak selalu memahami tindakan Tuhan, ia tetap bisa mempercayai-Nya. Iman yang sejati bukanlah iman yang hanya ada ketika keadaan baik, tetapi iman yang tetap bertahan meskipun keadaan tampak buruk.
Dalam Perjanjian Baru, prinsip ini ditegaskan kembali dalam Roma 1:17: "Orang benar akan hidup oleh iman." Ayat ini mengutip Habakuk 2:4 dan menjadi dasar dari doktrin pembenaran oleh iman yang diajarkan oleh Paulus.
John Piper menafsirkan ini sebagai panggilan bagi orang percaya untuk memiliki iman yang tidak tergantung pada keadaan duniawi, tetapi bersandar sepenuhnya pada Tuhan.
Kesimpulan
Habakuk 1:1-4 memberikan refleksi teologis yang mendalam tentang bagaimana orang percaya harus menyikapi kejahatan dan ketidakadilan di dunia. Beberapa poin penting yang bisa kita pelajari adalah:
- Berdoa dengan jujur – Habakuk mengajarkan bahwa kita boleh membawa pergumulan kita kepada Tuhan dengan jujur.
- Percaya pada kedaulatan Tuhan – Meskipun kejahatan tampaknya menang, Tuhan tetap memegang kendali atas sejarah.
- Menegakkan keadilan – Kejahatan bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga masalah sosial dan sistemik yang harus diperangi.
- Iman yang bertahan – Orang benar hidup oleh iman, bukan oleh situasi yang terlihat.
Dengan memahami ini, kita bisa meneladani iman Habakuk: tetap percaya kepada Tuhan meskipun dunia tampak penuh dengan ketidakadilan. Tuhan tidak pernah diam—Dia selalu bekerja dalam cara-Nya yang sempurna.