5 Mitos tentang Pengkhotbah

5 Mitos tentang Pengkhotbah

Pendahuluan:

Pengkhotbah memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan gereja. Mereka bukan hanya orang yang berbicara di mimbar setiap hari Minggu, tetapi juga gembala yang bertanggung jawab untuk membimbing jemaat dalam kebenaran Firman Tuhan. Namun, ada banyak mitos tentang pengkhotbah dan pemberitaan Firman yang sering beredar di tengah umat Kristen. Beberapa mitos ini dapat menyebabkan kesalahpahaman tentang bagaimana sebuah khotbah seharusnya disampaikan dan bagaimana pengkhotbah melaksanakan tugasnya.

Dalam artikel ini, kita akan membahas lima mitos umum tentang pengkhotbah menurut perspektif teologi Reformed dan bagaimana kita seharusnya memahami pengajaran Firman Tuhan dengan benar.

Mitos 1: Khotbah Harus Selalu Menghibur dan Inspiratif

Apa yang dikatakan mitos ini?

Banyak orang berpikir bahwa khotbah yang baik adalah khotbah yang selalu menghibur, lucu, atau penuh dengan cerita inspiratif. Jika seorang pengkhotbah tidak membuat jemaat tertawa atau termotivasi, maka ia dianggap kurang berhasil dalam menyampaikan pesan.

Pandangan Teologi Reformed

Dalam tradisi Reformed, khotbah bukanlah sekadar pidato motivasi atau hiburan, tetapi penyampaian kebenaran Firman Tuhan dengan setia. 2 Timotius 4:2 menekankan bahwa pengkhotbah harus "memberitakan firman, siap siaga baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran."

Khotbah seharusnya tidak hanya menyenangkan telinga, tetapi juga menegur, menasihati, dan membangun jemaat dalam kebenaran. Memang, ada saatnya sebuah khotbah memberikan penghiburan, tetapi ada juga saatnya khotbah harus keras untuk menegur dosa dan membawa jemaat kepada pertobatan.

Bagaimana kita menerapkannya?

  • Jangan hanya mencari khotbah yang menyenangkan, tetapi carilah khotbah yang setia pada kebenaran Alkitab.
  • Pahami bahwa pemberitaan Firman bisa menyenangkan, tetapi juga bisa menegur dan menantang kita untuk bertumbuh.
  • Dukung pengkhotbah yang setia menyampaikan kebenaran, meskipun itu bukan yang ingin kita dengar.

Mitos 2: Siapa Saja Bisa Menjadi Pengkhotbah Tanpa Pelatihan yang Benar

Apa yang dikatakan mitos ini?

Beberapa orang percaya bahwa siapa saja yang memiliki keinginan dan kemampuan berbicara dapat menjadi pengkhotbah. Ada anggapan bahwa pendidikan teologi atau pelatihan pengkhotbah tidak terlalu penting, selama seseorang memiliki karisma dan pengalaman rohani pribadi.

Pandangan Teologi Reformed

Teologi Reformed menekankan pentingnya pendidikan teologi dan pemuridan bagi seorang pengkhotbah. Paulus sendiri mengingatkan bahwa seorang pemimpin gereja haruslah seorang yang "cakap mengajar" (1 Timotius 3:2) dan harus setia dalam menyampaikan ajaran yang benar (Titus 1:9).

Dalam sejarah gereja, reformator seperti Martin Luther dan John Calvin sangat menekankan pentingnya eksposisi Alkitab yang mendalam. Calvin, misalnya, menghabiskan sebagian besar waktunya untuk meneliti, mengajar, dan memberitakan Firman dengan ketat berdasarkan konteks asli teks Kitab Suci.

Bagaimana kita menerapkannya?

  • Jangan menganggap enteng pendidikan teologi bagi pengkhotbah.
  • Dukung pengkhotbah yang terus belajar dan menggali Alkitab secara mendalam.
  • Pahami bahwa khotbah yang benar bukan hanya hasil dari pengalaman pribadi, tetapi juga studi yang mendalam tentang Firman Tuhan.

Mitos 3: Khotbah Harus Selalu Singkat dan Tidak Membosankan

Apa yang dikatakan mitos ini?

Banyak jemaat percaya bahwa khotbah yang baik harus pendek, langsung pada intinya, dan tidak boleh terlalu mendalam agar tidak membosankan. Ada anggapan bahwa jika seseorang berkhotbah lebih dari 20–30 menit, maka jemaat akan kehilangan perhatian dan bosan.

Pandangan Teologi Reformed

Dalam Alkitab, kita melihat contoh khotbah yang panjang. Kisah Para Rasul 20:7-9 mencatat bagaimana Paulus berkhotbah begitu lama hingga seorang pemuda bernama Eutikhus tertidur dan jatuh dari jendela. Hal ini menunjukkan bahwa pengajaran yang mendalam sering kali memerlukan waktu yang panjang.

Reformator seperti Calvin dan Luther juga berkhotbah dengan durasi yang panjang karena mereka percaya bahwa umat perlu mendapatkan pengajaran yang mendalam, bukan sekadar pesan singkat yang mudah dicerna tetapi kurang berbobot.

Khotbah yang baik bukan dinilai dari seberapa singkat atau panjangnya, tetapi dari apakah khotbah tersebut setia pada kebenaran Alkitab dan dapat membangun iman jemaat.

Bagaimana kita menerapkannya?

  • Jangan mengukur kualitas khotbah hanya berdasarkan durasi, tetapi berdasarkan kedalaman pengajarannya.
  • Bersiaplah untuk mendengar Firman Tuhan dengan kesabaran dan kerinduan untuk bertumbuh.
  • Pahami bahwa mendalami kebenaran Tuhan sering kali memerlukan waktu yang lebih lama.

Mitos 4: Pengkhotbah Harus Menyesuaikan Khotbahnya dengan Apa yang Jemaat Inginkan

Apa yang dikatakan mitos ini?

Beberapa orang percaya bahwa pengkhotbah harus menyesuaikan pesan mereka dengan kebutuhan atau keinginan jemaat. Jika suatu khotbah terlalu sulit, terlalu menegur, atau tidak sesuai dengan harapan jemaat, maka pengkhotbah dianggap kurang efektif.

Pandangan Teologi Reformed

Dalam 2 Timotius 4:3, Paulus memperingatkan bahwa akan ada waktu ketika orang-orang tidak tahan mendengar ajaran yang sehat, tetapi lebih suka mencari guru yang hanya menyampaikan apa yang ingin mereka dengar.

Teologi Reformed menekankan bahwa khotbah harus berdasarkan Firman Tuhan, bukan berdasarkan selera atau keinginan manusia. Seorang pengkhotbah bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada jemaat, dalam menyampaikan kebenaran. Pengkhotbah sejati tidak mencari popularitas, tetapi setia dalam menyampaikan Firman dengan benar.

Bagaimana kita menerapkannya?

  • Jangan mencari pengkhotbah yang hanya menyampaikan hal-hal yang ingin kita dengar.
  • Hargai pengkhotbah yang berani menyampaikan kebenaran, meskipun itu sulit diterima.
  • Ingat bahwa kebenaran Firman Tuhan lebih penting daripada kenyamanan kita.

Mitos 5: Keberhasilan Seorang Pengkhotbah Diukur dari Jumlah Jemaatnya

Apa yang dikatakan mitos ini?

Banyak orang berpikir bahwa pengkhotbah yang sukses adalah mereka yang memiliki gereja besar dengan ribuan jemaat. Jika seseorang berkhotbah di gereja kecil atau tidak memiliki banyak pengikut, maka ia dianggap kurang berhasil.

Pandangan Teologi Reformed

Dalam Alkitab, kita tidak menemukan bahwa keberhasilan seorang hamba Tuhan diukur dari jumlah pengikutnya. Yesus sendiri memiliki banyak pengikut pada awal pelayanan-Nya, tetapi banyak yang meninggalkan-Nya ketika pengajaran-Nya menjadi sulit (Yohanes 6:66). Paulus juga tidak memiliki gereja megachurch, tetapi ia setia dalam pelayanannya.

Keberhasilan seorang pengkhotbah di mata Tuhan tidak ditentukan oleh jumlah jemaat, tetapi oleh kesetiaan dalam memberitakan Injil dengan benar. Dalam teologi Reformed, kita percaya bahwa hanya Roh Kudus yang dapat mengubah hati manusia, bukan retorika atau strategi manusia.

Bagaimana kita menerapkannya?

  • Jangan mengukur keberhasilan gereja atau pengkhotbah berdasarkan jumlah jemaatnya.
  • Hargai kesetiaan seorang hamba Tuhan dalam memberitakan Injil, bukan hanya karismanya.
  • Berdoa agar lebih banyak pengkhotbah tetap setia dalam pelayanan mereka, terlepas dari ukuran gereja mereka.

Kesimpulan

Banyak mitos tentang pengkhotbah yang sering beredar di tengah umat Kristen. Namun, menurut perspektif teologi Reformed, pengkhotbah yang sejati adalah mereka yang:

  1. Memberitakan Firman dengan setia, bukan hanya menghibur.
  2. Mengutamakan pendidikan teologi dan pemuridan.
  3. Tidak takut berkhotbah panjang jika diperlukan.
  4. Menyampaikan kebenaran meskipun itu sulit diterima.
  5. Tidak mengukur keberhasilan dari jumlah jemaat, tetapi dari kesetiaan kepada Tuhan.

Kiranya kita semakin memahami peran penting pengkhotbah dalam gereja dan mendukung mereka dalam doa agar tetap setia kepada Tuhan. Soli Deo Gloria!

Next Post Previous Post