2 Korintus 11:16–20: Kebodohan, Kesombongan, dan Kemurnian Injil

Pendahuluan: Paulus dan Pembelaan yang Ironis
Dalam 2 Korintus 11:16–20, Rasul Paulus menyampaikan sebuah bagian dari pembelaannya terhadap tuduhan dan serangan dari “rasul-rasul palsu” (2 Korintus 11:13). Namun, gaya yang digunakan Paulus sangat menarik: ia tidak langsung menyerang secara tegas atau keras, tetapi justru memakai ironi dan “kebodohan” untuk menunjukkan kesalahan fatal yang sedang merasuki jemaat di Korintus.
Artikel ini akan menelaah makna teologis dan praktis dari bagian ini berdasarkan pendekatan teologi Reformed, disertai kutipan dan pendapat beberapa pakar seperti John Calvin, Charles Hodge, dan lainnya.
I. Latar Belakang Kontekstual Surat 2 Korintus
Surat 2 Korintus merupakan salah satu tulisan Paulus yang paling personal dan emosional. Dalam surat ini, Paulus dengan terbuka membela kerasulannya karena adanya serangan dari para pengajar palsu yang menyusup ke dalam jemaat.
Para “rasul-rasul palsu” ini bukan hanya mempertanyakan otoritas Paulus, tetapi juga mengajarkan ajaran yang menyimpang dari Injil Kristus. Mereka membanggakan diri dalam hal lahiriah: garis keturunan, retorika, kekayaan, dan status sosial—dan meremehkan Paulus karena kelemahannya, penderitaannya, dan gaya pelayanannya yang rendah hati.
Menurut John MacArthur, bagian ini menunjukkan “ironi yang tajam dan kecerdasan pastoral Paulus dalam menegur dosa dengan gaya yang membongkar kesombongan orang Korintus tanpa menghancurkan mereka.”
II. Eksposisi Ayat per Ayat
2 Korintus 11:16: “Janganlah ada orang menyangka, bahwa aku bodoh...”
Paulus membuka bagian ini dengan suatu pernyataan retoris. Ia tahu bahwa para lawannya menganggap dia tidak berkelas dan kurang berbobot secara retorika dibanding pengajar lain.
Namun, ia memutar balik logika mereka: “Jika kamu menganggap aku bodoh, terimalah aku seperti orang bodoh agar aku bisa bermegah juga!” Ironi ini menegaskan bahwa Paulus sedang memakai gaya bicara seperti lawannya agar menunjukkan absurditas mereka.
John Calvin menulis:
“Paulus mengalahkan mereka dalam kebodohan mereka, bukan karena ia ingin dipuji, tetapi agar kebodohan mereka menjadi jelas di hadapan Injil.”
2 Korintus 11:17: “Apa yang aku katakan, aku mengatakannya bukan sebagai seorang yang berkata menurut firman Tuhan...”
Dalam ayat ini, Paulus membedakan antara gaya retoris yang sedang ia pakai dengan pengajaran doktrinal. Ia sedang berbicara sebagai “orang bodoh”, bukan karena ia sungguh bodoh, tetapi untuk menunjukkan kontras antara kesombongan manusia dan hikmat Kristus.
Charles Hodge, teolog Princeton, menafsirkan:
“Paulus tidak meninggalkan kebenaran, tetapi ia meninggalkan gaya kerasulan untuk sesaat agar dapat mengekspos dosa dengan kekuatan ironi.”
2 Korintus 11:18: “Karena banyak orang yang bermegah secara duniawi, aku mau bermegah juga!”
Paulus mengungkapkan bahwa ia akan memainkan permainan yang sama untuk mengalahkan mereka. Ia akan membanggakan hal-hal yang mereka anggap penting—namun dalam terang Injil, semua itu justru menunjukkan betapa tidak layaknya manusia dipuji.
Ini juga menjadi sindiran terhadap “kemegahan duniawi” yang menjadi alat para rasul palsu.
Richard B. Gaffin Jr. menyatakan:
“Paulus menyingkapkan bahwa semua bentuk kemegahan yang tidak berpusat pada salib hanyalah kemegahan yang sia-sia dan merusak Injil.”
2 Korintus 11:19: “Sebab kamu sabar menanggung orang bodoh, karena kamu begitu bijaksana...”
Di sini Paulus benar-benar sinis. Ia mengatakan, “Karena kamu begitu merasa bijaksana, maka kamu tentu sabar terhadap orang bodoh seperti aku.”
Ini merupakan kritik halus terhadap sikap jemaat yang terlalu cepat menerima pengajar palsu hanya karena mereka memiliki penampilan yang hebat dan retorika yang memukau.
Sinclair Ferguson menjelaskan:
“Korintus telah tertipu oleh fasad kekuatan dan prestise. Paulus mempermalukan mereka dengan menunjukkan bahwa mereka justru sabar kepada mereka yang menghancurkan mereka.”
2 Korintus 11:20: “Karena kamu sabar, kalau orang memperbudak kamu...”
Paulus menyindir kelakuan para pengajar palsu yang sangat menindas jemaat: memperbudak, menghisap, mengambil keuntungan, meninggikan diri, bahkan menampar! Hal ini bukan hiperbola kosong, tetapi gambaran betapa rusaknya pelayanan jika tidak didasarkan pada kasih Injil.
D.A. Carson menyebut ini sebagai “sindiran paling pahit dari seluruh surat” dan menegaskan bahwa Paulus sedang menunjukkan bagaimana pengajar palsu memanipulasi jemaat dengan otoritas yang palsu.
III. Teologi Paulus: Kontras antara Kemegahan Manusia dan Kemuliaan Salib
Dalam bagian ini, Paulus sedang menunjukkan perbedaan tajam antara gaya pelayanan rasul palsu yang megah secara lahiriah, dengan pelayanan Kristus yang rendah hati dan penuh penderitaan.
A. Kemegahan Lahiriah vs Salib Kristus
Pelayanan yang berpusat pada manusia akan selalu mengejar pujian, kekuasaan, dan kemegahan duniawi. Tapi pelayanan Kristus menuntut pengorbanan, penderitaan, dan kerendahan hati.
Paulus menyindir gaya duniawi yang bahkan merasuk ke dalam gereja—dimana orang lebih tertarik pada penampilan, karisma, dan kekuatan lahiriah ketimbang kesetiaan kepada salib.
B. Kekuasaan Palsu dan Otoritas Injil
Para pemimpin palsu di Korintus memakai otoritas untuk mengontrol, bukan melayani. Mereka menindas, bukan membangun. Paulus, sebaliknya, memperlihatkan bahwa otoritas sejati berasal dari pelayanan, penderitaan, dan kasih.
Tim Keller pernah berkata:
“Kekuasaan dunia berkata, ‘Lihat aku dan tunduklah.’ Kekuasaan Injil berkata, ‘Aku melayani kamu dalam kelemahan.’”
IV. Pandangan Teolog Reformed terhadap 2 Korintus 11:16–20
A. John Calvin
Calvin melihat bagian ini sebagai “gaya pembelaan yang penuh hikmat” dari Paulus. Ia menekankan bahwa ironi dalam ayat-ayat ini bukanlah bentuk sarkasme kosong, tetapi senjata rohani untuk membuka mata jemaat.
B. Charles Hodge
Hodge menekankan bahwa Paulus “memakai senjata lawan untuk melawan mereka.” Dengan berbicara seperti mereka, ia mengungkap absurditas mereka. Namun Hodge juga memperingatkan bahwa ini adalah strategi yang hanya bisa dipakai oleh orang yang rohani, karena sangat berisiko.
C. Herman Ridderbos
Ridderbos menyoroti “ketegangan antara ironi dan ketulusan” dalam surat ini. Menurutnya, Paulus sedang mengajak jemaat untuk merenungkan: apakah mereka sungguh mengenal Kristus atau hanya menyembah bayangan kekuasaan yang kosong?
V. Aplikasi Praktis bagi Gereja Masa Kini
A. Waspada terhadap Pelayanan yang Bermegah
Gaya pelayanan yang memamerkan pencapaian, kekayaan, dan pengaruh seringkali disukai oleh manusia, tetapi bisa menjadi racun bagi gereja. Pelayanan sejati tidak bermegah dalam diri sendiri, tetapi hanya dalam Kristus yang tersalib.
B. Umat yang Kritis, Bukan Tertipu
Jemaat di Korintus ditipu karena mereka tidak mengenali Injil sejati. Gereja masa kini pun bisa tersesat jika hanya mengikuti yang populer tanpa menguji ajaran dan karakter pemimpinnya.
Westminster Confession of Faith menekankan bahwa umat Allah harus menguji segala sesuatu berdasarkan Alkitab, bukan berdasarkan penampilan luar.
C. Meneladani Paulus dalam Kerendahan dan Keberanian
Kita dipanggil untuk melayani seperti Paulus—berani membela Injil, namun rendah hati dan tidak mencari pujian manusia. Tidak semua pembelaan adalah kesombongan; dalam beberapa kasus, pembelaan terhadap kebenaran adalah bentuk kasih dan kesetiaan.
Penutup: Kemuliaan di Tengah Kebodohan
2 Korintus 11:16–20 adalah teguran halus namun tajam dari Paulus kepada gereja yang mulai tergoda oleh dunia. Ia menunjukkan bahwa kekuatan Injil justru terletak dalam kelemahan, dan kemuliaan Kristus bersinar paling terang ketika manusia tidak bermegah dalam dirinya sendiri.
Sebagai gereja dan individu percaya, kita perlu terus bertanya:
-
Apakah kita mengejar Injil atau sekadar bentuk luar dari kekristenan?
-
Apakah kita memuliakan Kristus atau membanggakan diri?
-
Apakah pelayanan kita menindas atau membangun?
Kebodohan salib, seperti yang disampaikan Paulus dalam 1 Korintus 1:18, tetap menjadi hikmat Allah bagi mereka yang diselamatkan. Kiranya kita tidak tertipu oleh kemegahan palsu, tetapi memegang teguh pada Injil yang sejati dan murni.