5 Mitos tentang Liturgi

Pendahuluan
Dalam banyak gereja modern, kata "liturgi" sering kali disalahpahami. Bagi sebagian orang, liturgi terdengar kuno, membosankan, atau bahkan legalistik. Namun dalam tradisi Reformed, liturgi memiliki tempat yang sangat penting sebagai sarana Allah membentuk umat-Nya melalui ibadah.
Teolog-teolog Reformed seperti John Calvin, James K.A. Smith, Hughes Oliphant Old, dan Michael Horton banyak membahas peran krusial liturgi dalam kehidupan gereja. Menurut mereka, liturgi bukan sekadar “aturan-aturan kaku,” melainkan struktur kasih karunia di mana Allah bekerja membentuk umat-Nya dalam Kristus.
Dalam artikel ini, kita akan membahas 5 mitos umum tentang liturgi dan meluruskannya berdasarkan teologi Reformed.
Mitos 1: Liturgi Itu Hanya Rutinitas Kaku yang Membunuh Roh
Penjelasan Mitos:
Banyak orang berpikir bahwa liturgi hanyalah rutinitas membosankan yang menghalangi karya Roh Kudus. Mereka membayangkan ibadah liturgis sebagai kegiatan mekanis, tanpa kehidupan.
Pandangan Reformed:
John Calvin berpendapat bahwa Roh Kudus bekerja melalui sarana yang ditetapkan, bukan bertentangan dengan mereka. Liturgi yang benar tidak membunuh Roh, melainkan menjadi wadah bagi karya Roh.
Michael Horton menambahkan, "Liturgi bukan mengekang Roh Kudus, tetapi menyediakan pola di mana umat Allah berjumpa dengan-Nya secara nyata dan teratur."
James K.A. Smith, dalam bukunya Desiring the Kingdom, berargumen bahwa manusia dibentuk oleh praktik yang teratur. Liturgi bukan penghalang kehidupan rohani, melainkan sarana membentuk hati yang mengasihi Allah.
Koreksi:
Liturgi, bila dirancang berdasarkan Injil, tidak membunuh Roh. Sebaliknya, liturgi menyediakan ruang bagi Roh Kudus untuk bekerja secara mendalam dan teratur dalam hidup umat.
Mitos 2: Liturgi Hanya Relevan untuk Gereja Tradisional
Penjelasan Mitos:
Ada anggapan bahwa hanya gereja tua atau denominasi tertentu yang membutuhkan liturgi. Gereja-gereja modern, katanya, harus bebas, kreatif, dan spontan.
Pandangan Reformed:
Abraham Kuyper menekankan bahwa seluruh hidup, termasuk ibadah, berada di bawah pemerintahan Kristus. Semua gereja, tanpa memandang gaya ibadah, memiliki bentuk liturgi, entah disadari atau tidak.
Hughes Oliphant Old dalam The Patristic Roots of Reformed Worship menunjukkan bahwa liturgi bukan soal tradisi budaya, melainkan ekspresi kebutuhan rohani universal. Setiap gereja, bahkan yang paling "non-tradisional," tetap memiliki urutan ibadah.
Timothy Keller juga mengingatkan bahwa bentuk kreatif tanpa struktur pun sebenarnya adalah sebuah liturgi terselubung. "Kita tidak dapat tidak berliturgi," katanya.
Koreksi:
Liturgi tidak hanya untuk gereja tradisional. Semua komunitas Kristen membentuk semacam liturgi. Yang penting adalah apakah liturgi itu sesuai dengan Injil atau tidak.
Mitos 3: Liturgi Adalah Tambahan Manusia, Bukan Perintah Alkitab
Penjelasan Mitos:
Beberapa orang menganggap liturgi hanyalah buatan manusia — tambahan di luar Alkitab yang seharusnya dihindari.
Pandangan Reformed:
John Calvin menekankan prinsip regulatif ibadah (regulative principle of worship) — bahwa semua elemen ibadah harus ditetapkan atau dapat disimpulkan dari Alkitab. Namun, Calvin juga mengakui adanya kebebasan bentuk sepanjang esensinya sesuai dengan Firman.
Dalam Institutes of the Christian Religion, Calvin menulis bahwa ibadah harus "sederhana, rohani, dan berdasarkan Alkitab."
Michael Horton menunjukkan bahwa struktur liturgis Alkitab dapat ditemukan dalam pola ibadah Israel (Imamat, Mazmur) dan jemaat mula-mula (Kisah Para Rasul 2:42).
Elemen-elemen seperti:
-
Pengakuan dosa
-
Doa syafaat
-
Pembacaan Alkitab
-
Pemberitaan Firman
-
Sakramen
semuanya memiliki dasar alkitabiah.
Koreksi:
Liturgi yang alkitabiah bukanlah tambahan manusiawi, melainkan bentuk ketaatan kepada pola yang Allah nyatakan dalam Kitab Suci.
Mitos 4: Liturgi Hanya Fokus pada Ritual, Bukan Hati
Penjelasan Mitos:
Ada anggapan bahwa liturgi membuat orang hanya melakukan aktivitas lahiriah tanpa keterlibatan hati yang sejati.
Pandangan Reformed:
Teologi Reformed sangat menekankan hati. Namun, seperti dijelaskan oleh James K.A. Smith, kebiasaan lahiriah membentuk kasih batiniah.
Liturgi yang sehat dirancang bukan untuk menciptakan kepalsuan, tetapi untuk melatih hati dalam kasih yang benar. Smith mengatakan, "Kita mencintai apa yang kita praktikkan."
Lebih lanjut, Calvin menyadari potensi bahaya ritualisme kosong. Karena itu, ia menekankan perlunya Roh Kudus bekerja dalam liturgi untuk membuatnya efektif dalam hati umat.
Koreksi:
Liturgi bukan penghalang kasih sejati, tetapi sarana Allah untuk membentuk hati umat dalam kasih kepada-Nya, bila dilakukan dengan iman.
Mitos 5: Liturgi Tidak Penting dalam Era Kasih Karunia
Penjelasan Mitos:
Beberapa orang beranggapan bahwa karena kita hidup di bawah kasih karunia, bukan hukum, maka struktur ibadah tidak lagi penting.
Pandangan Reformed:
Dalam pandangan Reformed, kasih karunia tidak membatalkan ketertiban, melainkan menguduskannya. Paulus menulis, "Sebab Allah bukan Allah kekacauan, melainkan Allah damai sejahtera." (1 Korintus 14:33)
Liturgi adalah wujud ketaatan kepada Allah yang kudus dan tertib. Hughes Oliphant Old menyebut ibadah Kristen sebagai "liturgi kasih karunia," di mana Allah memanggil umat-Nya, menyucikan mereka, berbicara kepada mereka, memberi makan mereka, dan mengutus mereka kembali ke dunia.
Michael Horton juga menekankan bahwa liturgi bukanlah hukum yang memberatkan, melainkan sarana anugerah — Allah yang pertama-tama berbicara dan bertindak bagi umat-Nya.
Koreksi:
Kasih karunia memperdalam pentingnya liturgi. Melalui liturgi, kita secara teratur diingatkan akan karya penyelamatan Allah.
Kesimpulan: Liturgi sebagai Sarana Transformasi
Dari pembahasan di atas, kita dapat melihat bahwa liturgi bukan:
-
Rutinitas mati
-
Milik eksklusif gereja tradisional
-
Tambahan buatan manusia
-
Ritual kosong
-
Tidak relevan dalam era kasih karunia
Sebaliknya, liturgi yang sejati:
-
Adalah sarana Roh Kudus membentuk umat Allah.
-
Memiliki dasar Alkitabiah yang kuat.
-
Melatih hati dan kasih kita kepada Kristus.
-
Menjadi ekspresi anugerah dan respons iman.
Dalam The Worship Architect, Constance Cherry (yang sangat dipengaruhi teologi Reformed) menulis:
"Liturgi adalah pola kasih karunia: Allah bertindak, umat merespons."
Ciri Liturgi yang Sehat menurut Teologi Reformed:
-
Bersifat Injili: Fokus pada karya Kristus.
-
Bersandar pada Firman: Didominasi oleh pembacaan dan pemberitaan Alkitab.
-
Berpusat pada Sakramen: Baptisan dan Perjamuan Kudus sebagai tanda nyata kasih karunia.
-
Tertib dan Teratur: Menghormati kekudusan Allah.
-
Membentuk Kehidupan: Membentuk kasih, kepercayaan, dan ketaatan umat.
Penutup
Mengabaikan liturgi berarti kehilangan kesempatan untuk dibentuk secara rohani melalui ritme anugerah yang Allah berikan. Sebaliknya, memahami dan menghidupi liturgi dengan iman akan membawa kita pada penyembahan yang lebih dalam, pelayanan yang lebih setia, dan kehidupan yang lebih serupa Kristus.
Sebagaimana John Calvin dengan indahnya menyimpulkan:
"Tujuan utama ibadah adalah agar Allah dimuliakan dan umat-Nya dibangun di dalam Kristus."
Soli Deo Gloria!