5 Mitos tentang Perawatan Menjelang Ajal

Pendahuluan: Mengapa Perawatan Menjelang Ajal Perlu Dibahas Secara Teologis?
Topik tentang kematian dan perawatan menjelang akhir hidup masih sering dianggap tabu—baik di masyarakat umum maupun dalam lingkungan gereja. Banyak orang Kristen tidak tahu bagaimana menyikapi perawatan paliatif, keputusan medis di akhir hidup, atau bahkan hak untuk menolak intervensi yang agresif secara medis.
Namun, iman Kristen bukan hanya untuk hidup, tetapi juga untuk menghadapi kematian. Teologi Reformed secara khusus menyediakan dasar yang kaya untuk membicarakan kehidupan, penderitaan, kematian, dan pengharapan kekal.
Dalam artikel ini, kita akan membongkar 5 mitos umum tentang perawatan menjelang ajal, dan memberikan jawaban berdasarkan Alkitab dan teologi Reformed, dengan merujuk pada pemikiran para tokoh seperti John Calvin, Louis Berkhof, Herman Bavinck, R.C. Sproul, dan Joni Eareckson Tada (meskipun bukan Reformed secara penuh, ia sering dikutip oleh kalangan Reformed).
Mitos #1: “Jika saya percaya kepada Allah, saya tidak boleh takut menghadapi kematian.”
✅ Fakta: Rasa takut adalah bagian dari kondisi manusiawi, bukan tanda kurang iman.
Ketakutan akan kematian—terutama tentang rasa sakit, ketidakpastian, atau perpisahan—adalah hal yang wajar. Bahkan Yesus sendiri, menjelang salib, bergumul dalam Getsemani dengan keringat seperti darah (Lukas 22:44).
R.C. Sproul berkata:
“Kematian bukanlah musuh ringan, bahkan bagi orang percaya. Tetapi Injil memberikan kita kemenangan atasnya.”
Teologi Reformed mengajarkan bahwa iman tidak menghapus semua emosi manusiawi, tetapi menempatkannya dalam konteks pengharapan kekal. Kita bukan dikuasai oleh rasa takut, tetapi mengakuinya sambil memandang kepada Kristus yang telah menang atas maut.
Mitos #2: “Menolak intervensi medis berarti menyerah dan tidak menghormati hidup.”
✅ Fakta: Dalam banyak kasus, menolak tindakan medis agresif justru menghormati ciptaan Allah dan menyerahkan hidup ke tangan-Nya.
Banyak orang Kristen merasa bersalah jika tidak memilih semua bentuk pengobatan yang tersedia, bahkan ketika itu memperpanjang penderitaan. Namun, dalam teologi Reformed, hidup adalah karunia, tetapi kematian bukan kekalahan. Memilih perawatan paliatif atau membiarkan proses kematian berjalan secara alamiah bukanlah dosa.
Louis Berkhof dalam Systematic Theology menulis:
“Manusia tidak memiliki kedaulatan atas hidupnya sendiri, tetapi juga tidak dituntut untuk mempertahankan hidupnya dengan segala cara yang mungkin.”
Ada perbedaan antara menghentikan pengobatan yang tidak efektif dan secara aktif mengakhiri hidup. Perawatan menjelang ajal dapat dilakukan dengan kasih, martabat, dan penghiburan tanpa harus mempertahankan hidup dengan cara-cara yang tidak manusiawi.
Mitos #3: “Perawatan paliatif artinya menyerah pada penderitaan.”
✅ Fakta: Perawatan paliatif adalah bentuk kasih yang menghormati martabat manusia di akhir hidup.
Perawatan paliatif berfokus pada pengurangan rasa sakit, kenyamanan, dan kualitas hidup, bukan pada penyembuhan. Dalam terang iman Kristen, ini sangat sesuai dengan panggilan untuk mengasihi sesama dan meringankan penderitaan.
Herman Bavinck menyatakan:
“Belas kasihan adalah sifat dari Allah yang juga harus tercermin dalam umat-Nya.”
Memilih perawatan paliatif bukanlah tindakan pesimis, melainkan tindakan iman yang percaya bahwa Allah tetap hadir di tengah penderitaan, dan bahwa pengharapan kita tidak hanya terletak pada kesembuhan fisik, tetapi pada keselamatan kekal.
Mitos #4: “Iman sejati berarti berharap akan mukjizat sampai akhir.”
✅ Fakta: Allah berdaulat untuk menyembuhkan atau tidak, dan iman sejati menerima kedua kemungkinan.
Kita percaya bahwa Allah mampu melakukan mukjizat. Tapi iman yang dewasa juga berkata seperti Sadrakh, Mesakh, dan Abednego:
“Sekalipun Allah tidak melepaskan kami, kami tetap tidak akan menyembah berhala.” (Daniel 3:18)
Tim Keller menegaskan:
“Terkadang mukjizat terbesar bukanlah kesembuhan, tetapi damai yang Allah berikan dalam menghadapi kematian.”
Teologi Reformed tidak menolak kemungkinan mukjizat, tetapi tidak membangun doktrin di atasnya. Iman sejati berserah kepada kedaulatan Allah, dan memahami bahwa kematian bukan akhir, tetapi pintu menuju kemuliaan bersama Kristus.
Mitos #5: “Lebih baik mati saja daripada hidup dalam penderitaan.”
✅ Fakta: Kehidupan tetap berharga di hadapan Allah, sekalipun disertai penderitaan.
Inilah mitos yang sering menjadi dasar euthanasia atau assisted suicide. Dalam penderitaan berat, seseorang mungkin tergoda untuk berpikir bahwa hidupnya tidak ada gunanya. Namun Alkitab mengajarkan bahwa martabat manusia tidak terletak pada kemampuan fisik atau kesuksesan, melainkan pada gambar Allah yang ada dalam diri setiap manusia.
Mazmur 139:14:
“Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dasyat dan ajaib.”
Joni Eareckson Tada, seorang yang lumpuh total sejak remaja, mengatakan:
“Tuhan tidak menghapus penderitaan, tetapi Ia hadir di dalamnya. Kehidupan saya, meski dalam kursi roda, tetap berguna bagi-Nya.”
Teologi Reformed menolak pandangan utilitarian tentang hidup, dan menegaskan bahwa setiap momen hidup—termasuk yang dilalui dalam kesakitan—adalah bagian dari rencana Allah yang kudus.
Peran Gereja dalam Perawatan Menjelang Ajal
Gereja memiliki peran penting dalam mendampingi orang percaya yang menghadapi akhir hidup:
a. Memberikan penghiburan Injil, bukan beban hukum
Orang yang sedang sakit parah atau sekarat tidak perlu dibebani dengan tekanan rohani, tapi dikuatkan dengan janji keselamatan.
b. Menjadi komunitas yang hadir
Kesepian adalah penderitaan terbesar bagi banyak pasien akhir hidup. Gereja bisa hadir melalui kunjungan, doa, pujian, dan firman.
c. Mengajarkan eskatologi yang alkitabiah
Kematian bukanlah akhir dari cerita. Gereja perlu meneguhkan pengharapan akan kebangkitan dan kehidupan kekal.
Penghiburan Reformed tentang Kematian
Pengakuan Iman Heidelberg memberikan salah satu jawaban terbaik tentang harapan di tengah kematian:
“Apakah penghiburan satu-satunya dalam hidup dan mati?”
“Bahwa aku bukan milikku sendiri, melainkan milik Yesus Kristus, Juruselamatku...”
Inilah inti dari Injil dan kekuatan dalam menghadapi akhir hidup:
Bahwa hidup dan mati kita berada di tangan Allah yang penuh kasih, bukan di tangan kekuatan dunia atau penderitaan itu sendiri.
Tindakan Lanjut: Menghadapi dan Membimbing dalam Pengharapan
-
Bicarakan rencana akhir hidup dengan keluarga secara jujur dan penuh kasih.
-
Pelajari dasar Alkitabiah tentang penderitaan, kematian, dan pengharapan kekal.
-
Libatkan pemimpin gereja atau konselor Reformed untuk mendampingi secara rohani.
-
Hormati hidup dalam segala fasenya, dan tolak pandangan dunia tentang "hidup yang layak".
-
Percayalah bahwa di dalam Kristus, bahkan kematian pun telah dikalahkan.
Kesimpulan: Kematian dalam Cahaya Kristus
Dunia melihat kematian sebagai akhir. Tapi orang percaya melihatnya sebagai pintu ke kehidupan yang kekal bersama Tuhan.
Dengan membongkar mitos-mitos umum tentang perawatan akhir hidup, kita belajar bahwa:
-
Kematian bukan kegagalan, tetapi pemulihan.
-
Penderitaan bukan sia-sia, tetapi tempat perjumpaan dengan Allah.
-
Perawatan yang manusiawi dan alkitabiah adalah bentuk pelayanan Injil yang nyata.