Doa-doa Orang Zaman Dahulu Mengingatkan Kita: Kita Tidak Pernah Sendiri

(Prayers of Old Remind Us That We Are Not Alone)
Pendahuluan
Dalam pergumulan hidup, seringkali kita merasa sendirian. Doa-doa kita terasa hampa, dan suara Tuhan seakan diam. Namun, jika kita menoleh ke belakang—ke dalam halaman-halaman Alkitab dan sejarah gereja—kita menemukan gema doa-doa yang telah dinaikkan selama berabad-abad. Doa-doa dari para nabi, pemazmur, rasul, dan tokoh-tokoh iman mengajarkan bahwa dalam segala musim hidup, kita tidak pernah benar-benar sendiri.
Teologi Reformed memandang doa sebagai ekspresi kebergantungan total kepada Allah yang berdaulat. Dalam kerangka ini, doa-doa kuno—baik dari Alkitab maupun sejarah gereja—bukan hanya liturgi, tetapi pengingat bahwa kita berdiri dalam persekutuan yang lebih besar: gereja sepanjang masa. Artikel ini akan menelusuri makna mendalam dari doa-doa zaman dahulu, dan bagaimana itu membentuk keyakinan iman bahwa kita tidak pernah sendirian dalam perjalanan rohani.
1. Doa Sebagai Cerminan Keterikatan dengan Allah
Doa bukan sekadar permintaan, tetapi relasi. Sejak awal, manusia diciptakan untuk hidup dalam persekutuan dengan Allah. Ketika dosa merusak relasi itu, doa menjadi jalan pemulihan, seperti yang kita lihat dalam kehidupan para tokoh iman di Alkitab.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menulis:
“Doa adalah nafas kehidupan rohani. Tanpa doa, tidak ada kehidupan iman.”
Doa-doa seperti doa Musa (Keluaran 33), doa Daud (Mazmur), atau doa Habakuk (Habakuk 3) menunjukkan bahwa umat Allah di segala zaman mencari wajah-Nya. Doa bukan tindakan kesendirian, tetapi tanggapan akan kehadiran Allah yang nyata dan setia.
2. Doa-doa Mazmur: Jeritan Jiwa yang Dikenal Tuhan
Kitab Mazmur adalah koleksi doa dan nyanyian yang mencerminkan berbagai emosi manusia—dari sukacita hingga keputusasaan. Mazmur menjadi pengingat bahwa umat Allah selalu bergumul, namun tidak pernah sendiri.
Contoh:
-
Mazmur 13:1-2 – “Berapa lama lagi, Tuhan, Engkau melupakan aku?”
-
Mazmur 23 – “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman... Engkau besertaku.”
Tim Keller dalam bukunya Prayer: Experiencing Awe and Intimacy with God menulis:
“Mazmur memperlihatkan bahwa Tuhan tidak takut dengan kejujuran kita. Ia rindu kita datang kepada-Nya, bahkan dalam pergumulan terdalam.”
Dalam pandangan Reformed, ini menunjukkan bahwa Allah adalah personal dan penuh kasih, yang menyambut umat-Nya bukan karena mereka sempurna, tetapi karena kasih karunia-Nya.
3. Doa Yesus: Teladan Tertinggi dalam Kesendirian
Yesus, Anak Allah, adalah pribadi yang paling dekat dengan Bapa. Namun, Ia juga mengalami kesendirian terdalam, terutama dalam Getsemani dan di salib.
-
Markus 14:36 – “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu...”
-
Matius 27:46 – “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
Doa-doa ini menunjukkan bahwa Yesus mengidentifikasi diri sepenuhnya dengan penderitaan manusia, termasuk rasa ditinggalkan. Namun justru melalui doa itu, Ia menunjukkan kepercayaan mutlak pada Bapa.
R.C. Sproul menyatakan:
“Di saat Yesus berteriak dalam kesunyian salib, itu bukan karena Bapa tidak mendengar, tetapi karena Ia sedang memikul murka menggantikan kita.”
Dalam Kristus, kita tahu bahwa kesendirian rohani tidak akan pernah menjadi akhir kita, karena Ia telah menanggungnya untuk kita.
4. Doa Paulus: Kesatuan Umat Allah dalam Doa
Surat-surat Paulus penuh dengan doa syafaat dan ucapan syukur untuk jemaat. Ia sering menulis bahwa ia “tidak henti-hentinya berdoa” (Efesus 1:16; Filipi 1:3-4).
Efesus 3:14-21 adalah salah satu contoh paling indah doa Paulus, yang mencerminkan kasih dan kesatuan gereja dalam Kristus.
J.I. Packer menulis:
“Ketika kita berdoa, kita tidak hanya menghadap Allah secara pribadi, tetapi kita bergabung dalam percakapan yang telah berlangsung sejak permulaan umat Allah.”
Dalam teologi Reformed, ini dikenal sebagai "communion of saints"—bahwa umat Allah terhubung dalam satu tubuh, dan doa menjadi sarana untuk menguatkan sesama.
5. Doa Orang Kudus Sepanjang Sejarah Gereja
Bukan hanya tokoh Alkitab, tetapi para pemimpin gereja sepanjang sejarah juga meninggalkan warisan doa yang menguatkan iman. Doa-doa dari Agustinus, Martin Luther, John Knox, dan lainnya menjadi jembatan antara generasi.
Contoh:
-
Doa Agustinus: “Engkau telah menciptakan kami bagi diri-Mu, dan hati kami gelisah sampai ia beristirahat dalam Engkau.”
-
Doa John Calvin: “Tuhan, berikan kami keberanian untuk menaati kehendak-Mu, sekalipun jalan-Mu tampak gelap bagi mata kami.”
Doa-doa ini menunjukkan bahwa pergumulan iman bersifat universal dan melintasi zaman. Kita tidak sendirian; kita melangkah dalam jejak iman mereka.
6. Teologi Reformed dan Doa: Kedaulatan Allah dan Tanggung Jawab Manusia
Salah satu pertanyaan besar adalah: Jika Allah berdaulat dan sudah mengetahui segalanya, mengapa kita perlu berdoa?
John Calvin menjawab:
“Allah tidak memerintahkan kita berdoa agar Ia mengetahui kebutuhan kita, tetapi agar kita belajar bergantung pada-Nya.”
Dalam pandangan Reformed, doa adalah alat yang Allah tetapkan untuk melaksanakan kehendak-Nya. Allah tidak hanya menetapkan tujuan, tetapi juga sarana—termasuk doa.
John Piper mengatakan:
“Doa bukan memutar tangan Allah, tetapi mengaitkan hati kita dengan kehendak-Nya.”
7. Doa Menyadarkan Kita Akan Persekutuan Rohani
Setiap kali kita berdoa, kita tidak hanya berkomunikasi dengan Allah, tetapi juga bergabung dalam komunitas rohani global—umat Allah di seluruh dunia dan sepanjang masa.
Ini ditekankan dalam doa Bapa Kami: “Bapa kami...” – bukan “Bapaku”. Doa ini menegaskan dimensi kolektif dan komunitas dari kehidupan doa.
Michael Horton, seorang teolog Reformed, menekankan pentingnya doa publik dan liturgis sebagai bentuk solidaritas tubuh Kristus:
“Dalam doa gereja, kita diingatkan bahwa kita tidak berjalan sendiri. Kita dikuatkan oleh roh yang sama, iman yang sama, dan harapan yang sama.”
8. Kesendirian Emosional vs. Realitas Rohani
Banyak orang Kristen merasa sendiri secara emosional dalam penderitaan atau pergumulan pribadi. Namun, perasaan tidak selalu mencerminkan kebenaran rohani.
John Owen menulis:
“Seringkali, ketika kita merasa Allah paling jauh, justru Dia sedang paling dekat, memurnikan iman kita.”
Doa-doa dari orang-orang kudus zaman dahulu—yang juga mengalami kesendirian, penderitaan, bahkan penganiayaan—menunjukkan bahwa Allah hadir di tengah kesunyian.
9. Doa Sebagai Warisan dan Disiplin Rohani
Doa bukan hanya respons spontan, tetapi disiplin yang dibentuk. Para tokoh Reformed seperti Richard Baxter dan Jonathan Edwards menekankan pentingnya membentuk kehidupan doa yang teratur dan mendalam.
Doa bukan sekadar permohonan, tetapi tempat kita dibentuk, diproses, dan dibentuk serupa Kristus.
Jonathan Edwards berkata:
“Kehidupan doa yang konsisten bukan hanya tanda orang percaya, tetapi jalur untuk pertumbuhan rohani sejati.”
10. Doa Mengarahkan Kita kepada Harapan Kekal
Doa mengingatkan kita bahwa dunia ini bukan rumah akhir kita. Doa membuka jendela ke surga—tempat kita akan melihat wajah Allah, dan semua air mata dihapus.
Dalam Wahyu 5:8, doa-doa orang kudus disimbolkan sebagai ukupan emas di hadapan takhta Allah.
Artinya, tidak ada doa yang sia-sia atau diabaikan.
Sinclair Ferguson menyatakan:
“Setiap doa, bahkan yang lirih dan tidak terdengar manusia, dicatat dan dihargai di hadapan Allah.”
Kesimpulan: Kita Tidak Sendiri
Melalui doa-doa kuno dari Kitab Mazmur, para nabi, Yesus sendiri, para rasul, hingga bapa-bapa gereja, kita diingatkan bahwa kita bukan orang pertama yang menangis di hadapan Allah. Kita juga bukan yang terakhir.
Dalam setiap zaman, orang-orang kudus berseru, menangis, menyembah, dan bersandar pada Allah yang sama—yang Mahakuasa, Mahatahu, dan Mahakasih.
Dan ketika kita berdoa hari ini—di tengah penderitaan, keraguan, atau sukacita—kita bergabung dalam koor abadi dari umat Allah, yang berseru dalam Roh dan Kebenaran.