Kehidupan Emosional Tuhan Kita (The Emotional Life of Our Lord)

Pendahuluan
Dalam banyak penggambaran tentang Yesus Kristus, khususnya dalam literatur populer atau bahkan pewartaan, kita sering menjumpai gambaran Yesus yang sangat tenang, tidak tergoyahkan, seakan-akan jauh dari emosi manusiawi. Namun Alkitab memberikan gambaran yang jauh lebih kaya dan dalam tentang siapa Yesus itu, termasuk sisi emosional-Nya. Artikel ini bertujuan untuk menggali kehidupan emosional Yesus sebagaimana tercermin dalam Injil, dan menafsirkannya dengan lensa teologi Reformed dari beberapa tokoh penting seperti B. B. Warfield, John Calvin, dan R.C. Sproul.
Bagian I: Yesus, Pribadi Sejati dan Ilahi
Sebelum memahami kehidupan emosional Yesus, kita harus terlebih dahulu memahami siapa Yesus itu. Dalam doktrin Kristologi Reformed, ditegaskan bahwa Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menegaskan bahwa untuk menjadi Juruselamat yang sejati, Kristus harus mengambil sepenuhnya natur manusia, termasuk aspek emosional. Ini penting karena hanya dengan menjadi manusia sepenuhnya, Yesus dapat mewakili kita di hadapan Allah.
"Kristus tidak hanya mengenakan tubuh manusia, tetapi juga emosi, perasaan, dan kelemahan yang tidak berdosa." — John Calvin
Bagian II: Kesedihan dan Air Mata Kristus
Salah satu emosi paling mencolok dalam kehidupan Yesus adalah kesedihan. Alkitab mencatat beberapa peristiwa di mana Yesus menangis dan merasakan kedukaan yang mendalam.
1. Yohanes 11:35 - "Yesus menangis."
Ayat ini adalah ayat terpendek dalam Alkitab tetapi memiliki kedalaman yang luar biasa. Ketika Yesus tiba di Betania dan melihat Maria menangis atas kematian Lazarus, Yesus sendiri ikut menangis. Ini menunjukkan empati Yesus yang sangat dalam terhadap penderitaan manusia.
B.B. Warfield dalam esainya The Emotional Life of Our Lord menyatakan:
“Yesus menangis bukan karena Ia tidak memiliki kuasa atas kematian Lazarus, tetapi karena Ia begitu tergerak oleh penderitaan manusia yang disebabkan oleh dosa dan kematian.”
Ini adalah contoh dari murka kudus yang penuh belas kasihan. Warfield menekankan bahwa Yesus tidak dingin terhadap penderitaan, melainkan Ia sangat terlibat secara emosional.
Bagian III: Murka Kudus Yesus
Yesus juga dikenal menunjukkan kemarahan dalam pelayanan-Nya. Namun, ini bukan kemarahan berdosa, melainkan kemarahan yang benar—murka kudus terhadap dosa dan ketidakadilan.
2. Markus 3:5 - "Ia memandang mereka dengan marah..."
Dalam perikop ini, Yesus menjadi marah kepada orang Farisi yang mengeraskan hati mereka ketika Ia hendak menyembuhkan orang pada hari Sabat.
Menurut R.C. Sproul:
“Kemarahan Yesus adalah bentuk kasih. Ia marah bukan karena ego, melainkan karena keadilan Allah dicemari dan manusia dijauhkan dari anugerah Allah.”
Ini menunjukkan bahwa emosi Yesus tidak didasarkan pada ketidakstabilan, tetapi pada kesempurnaan moral-Nya.
Bagian IV: Belas Kasihan dan Welas Asih Yesus
Yesus berulang kali digambarkan sebagai pribadi yang penuh belas kasihan. Kata Yunani yang sering dipakai adalah splagchnizomai, yang menggambarkan rasa iba yang sangat dalam.
3. Matius 9:36 - “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan...”
Yesus melihat kebutuhan rohani orang-orang dan merasakan belas kasihan yang mendalam karena mereka seperti domba tanpa gembala.
Warfield mencatat bahwa kasih sayang Yesus adalah emosi yang paling sering disebutkan dalam Injil:
"Belas kasihan adalah emosi dominan dalam kehidupan pelayanan Kristus."
Ini menunjukkan bahwa kasih adalah penggerak utama dalam tindakan-tindakan Yesus, baik dalam pengajaran maupun penyembuhan.
Bagian V: Kegembiraan dan Sukacita Yesus
Sering kali kita mengasosiasikan Yesus dengan penderitaan dan kesedihan. Namun, Injil juga memberi kita gambaran tentang sukacita dalam kehidupan-Nya.
4. Lukas 10:21 - “Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus...”
Yesus bersukacita ketika murid-murid-Nya kembali dengan kabar bahwa setan tunduk atas nama-Nya. Ini adalah momen penuh kegembiraan karena rencana keselamatan Allah sedang terjadi.
Menurut Jonathan Edwards, seorang tokoh Puritan dan teolog Reformed awal:
“Sukacita Kristus adalah sukacita kekal yang berasal dari penggenapan kehendak Bapa.”
Bagian VI: Ketakutan dan Kecemasan di Getsemani
Klimaks dari kehidupan emosional Yesus dapat kita temukan di taman Getsemani.
5. Matius 26:38 - “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya...”
Yesus mengungkapkan beban emosional-Nya menjelang salib. Dalam doa-Nya, Ia berkata, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku...”
R.C. Sproul menyebut momen ini sebagai:
“Puncak penderitaan emosional dan spiritual Kristus, karena Ia sedang melihat ke dalam cawan murka Allah.”
Yesus tidak takut pada rasa sakit fisik semata, tetapi pada keterpisahan dari Bapa dan penanggungannya atas murka Allah bagi dosa dunia.
Bagian VII: Integritas Emosi Kristus
Apa yang membuat emosi Kristus begitu unik?
B.B. Warfield mengamati bahwa emosi Kristus:
-
Sempurna secara moral – tidak pernah berlebihan atau kurang.
-
Terpadu dalam kasih dan kebenaran.
-
Tidak digerakkan oleh egoisme – tetapi oleh kehendak Bapa dan belas kasihan kepada umat manusia.
Yesus adalah model bagaimana seharusnya emosi manusia diproses—bukan ditekan, tapi diarahkan kepada kebenaran dan kasih Allah.
Bagian VIII: Aplikasi Teologis dan Pastoral
1. Kristus sebagai Imam Besar yang Mengerti
Ibrani 4:15 berkata:
“Sebab Imam Besar yang kita punya bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita...”
Karena Yesus memiliki kehidupan emosional yang nyata, Ia mengerti penderitaan kita. Ini memberikan penghiburan bagi umat percaya di tengah pergumulan.
2. Teladan untuk Hidup Emosional yang Seimbang
Yesus menunjukkan bahwa menjadi emosional bukanlah kelemahan, tetapi bagian dari refleksi gambar Allah dalam diri manusia. Yang penting adalah bagaimana kita mengelola emosi kita sesuai dengan Firman.
Kesimpulan: Yesus, Pribadi yang Merasakan
Yesus bukanlah pribadi yang dingin, tidak berperasaan, atau terasing dari realitas manusia. Sebaliknya, Ia merasakan setiap aspek kehidupan kita—dukacita, kemarahan, sukacita, ketakutan, dan belas kasihan—semua dengan kesempurnaan yang tidak berdosa.
Sebagaimana Warfield simpulkan:
“Kehidupan emosional Kristus bukan sekadar contoh, tetapi pengungkapan kasih Allah yang sejati dalam dunia yang hancur.”
Mari kita belajar dari kehidupan emosional Yesus dan membawa segala perasaan kita kepada Dia yang memahami dan sanggup menopang kita.