The Canon of Scripture: Otoritas dan Keutuhan Alkitab

Pendahuluan
Apa yang membuat Alkitab begitu istimewa? Mengapa hanya 66 kitab yang dianggap sebagai firman Tuhan dan bukan yang lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita pada doktrin penting dalam teologi Kristen, khususnya dalam tradisi Reformed: Kanon Kitab Suci (The Canon of Scripture). Kata kanon berasal dari bahasa Yunani kanōn, yang berarti “penggaris” atau “standar.” Dalam konteks Alkitab, kanon merujuk pada daftar kitab-kitab yang diakui secara resmi sebagai wahyu Allah yang tertulis.
Dalam artikel ini, kita akan mengupas pengertian, sejarah, kriteria, dan implikasi dari kanon Kitab Suci menurut pandangan para teolog Reformed. Kita juga akan melihat bagaimana otoritas dan keutuhan Alkitab dijaga oleh penyelenggaraan ilahi serta tanggung jawab Gereja dalam mengenali Firman yang sejati.
1. Pengertian Kanon Kitab Suci
Kanon Alkitab adalah kumpulan kitab yang diakui sebagai bagian dari Firman Allah yang terinspirasi, otoritatif, dan final. Dalam tradisi Protestan Reformed, kanon terdiri dari 39 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru. Total 66 kitab ini dipercaya secara menyeluruh sebagai sola Scriptura, satu-satunya dasar iman dan praktik hidup orang Kristen.
Menurut Louis Berkhof, seorang teolog Reformed terkemuka:
“Kanon bukanlah hasil dari keputusan gereja, melainkan pengakuan gereja terhadap kitab-kitab yang memang berasal dari Allah.”
Artinya, gereja tidak “menentukan” kanon, tetapi mengakui kitab-kitab yang memang sudah memiliki sifat ilahi sejak awal.
2. Dasar Teologis: Allah yang Berfirman
Dalam teologi Reformed, wahyu Allah dibedakan menjadi dua:
-
Wahyu umum, melalui ciptaan dan hati nurani.
-
Wahyu khusus, melalui Firman Allah yang tertulis (Alkitab).
John Calvin menegaskan bahwa kita hanya dapat mengenal Allah secara menyelamatkan melalui wahyu khusus, yaitu Firman. Oleh karena itu, sangat penting bagi gereja untuk memiliki kanon yang jelas dan dapat dipercaya.
Calvin menyatakan:
“Alkitab adalah kaca mata yang dengannya kita melihat dengan benar dunia dan kehendak Allah.”
3. Sejarah Pembentukan Kanon: Dari Pengakuan ke Konsensus
a. Perjanjian Lama
Kitab-kitab Perjanjian Lama yang diakui dalam kanon Protestan sama dengan yang digunakan oleh umat Yahudi pada zaman Yesus. Bahkan Yesus sendiri merujuk pada tiga bagian utama Alkitab Ibrani: Taurat, Nabi-Nabi, dan Tulisan-Tulisan (Luk. 24:44).
b. Perjanjian Baru
Kitab-kitab Perjanjian Baru mulai beredar dan digunakan oleh gereja-gereja sejak abad pertama. Namun, pengakuan resmi atas 27 kitab Perjanjian Baru memerlukan waktu, terutama karena banyaknya tulisan palsu yang beredar. Konsensus akhir terlihat dalam Daftar Athanasius tahun 367 M, dan dikuatkan dalam konsili gereja seperti Sinode Hippo (393 M) dan Konsili Kartago (397 M).
B. B. Warfield, tokoh teologi Princeton, menyatakan:
“Kanon tidak dibentuk oleh gereja, tetapi diakui oleh gereja sebagai karya Roh Kudus yang membawa kebenaran ilahi.”
4. Kriteria Kanon: Apa yang Membuat Sebuah Kitab “Layak” Masuk?
Menurut tradisi Reformed, ada beberapa kriteria penting untuk menentukan apakah sebuah kitab termasuk dalam kanon atau tidak:
a. Inspirasi Ilahi
Kitab tersebut ditulis di bawah bimbingan Roh Kudus (2 Tim. 3:16).
b. Otoritas Apostolik
Kitab tersebut ditulis oleh seorang rasul atau berada dalam lingkup pengajaran para rasul.
c. Konsistensi Doktrinal
Isi kitab tidak bertentangan dengan kitab-kitab lain yang sudah diakui.
d. Penerimaan Gereja
Kitab tersebut diterima secara luas oleh gereja-gereja sebagai otoritatif dan digunakan dalam liturgi dan ajaran.
Herman Bavinck menekankan bahwa penerimaan gereja tidak bersifat otoritatif dalam dirinya sendiri, tetapi menjadi bukti bahwa Roh Kudus bekerja dalam umat percaya untuk mengenali suara Gembala.
5. Penolakan terhadap Apokrifa
Salah satu ciri khas tradisi Reformed adalah penolakan terhadap kitab-kitab Apokrifa, yang terdapat dalam kanon Katolik Roma. Teolog Reformed berpendapat bahwa kitab-kitab ini:
-
Tidak diakui oleh umat Yahudi.
-
Tidak dikutip oleh Yesus atau para rasul sebagai otoritatif.
-
Mengandung doktrin yang bertentangan dengan inti Injil.
Westminster Confession of Faith (1647) dengan tegas menyatakan:
“Kitab-kitab yang disebut Apokrifa… bukanlah bagian dari kanon Kitab Suci dan tidak memiliki otoritas ilahi apa pun.”
6. Kanon dan Otoritas: Mengapa Alkitab Satu-Satunya Sumber Iman?
Dalam teologi Reformed, Alkitab adalah satu-satunya sumber otoritas yang tertinggi dalam iman dan kehidupan (sola Scriptura). Tidak ada tradisi gereja, pengalaman pribadi, atau pemikiran manusia yang boleh disejajarkan atau dijadikan tandingan.
R. C. Sproul menulis:
“Alkitab bukan hanya otoritatif karena gereja mengatakannya, tapi karena Allah sendiri berbicara di dalamnya.”
Oleh karena itu, menjaga keutuhan dan kemurnian kanon bukanlah hal akademis semata, tetapi hal yang menyangkut keselamatan dan penyembahan yang benar.
7. Roh Kudus dan Pengakuan akan Kanon
Salah satu aspek penting dalam pandangan Reformed adalah peran Roh Kudus dalam mengenalkan kebenaran kepada umat Tuhan. Roh Kudus tidak hanya menginspirasi penulisan Kitab Suci, tetapi juga mencerahkan hati orang percaya untuk mengenalinya sebagai Firman Allah.
Calvin menyebut ini sebagai testimonium Spiritus Sancti internum—kesaksian internal Roh Kudus. Tanpa pekerjaan Roh, manusia tidak akan mengenali kebenaran Firman meskipun sudah tertulis di depan mata.
8. Keberanian Reformator dalam Menegaskan Kanon
Para Reformator seperti Martin Luther dan John Calvin dengan tegas menolak tambahan-tambahan yang dimasukkan oleh Gereja Katolik Roma, dan kembali kepada kanon yang telah diakui secara luas sejak gereja awal.
John Calvin dalam komentarnya menekankan bahwa:
“Firman Allah tidak memerlukan persetujuan manusia untuk menjadi sah. Ia membawa meterai kebenarannya sendiri.”
Keberanian ini adalah bentuk pengakuan bahwa otoritas Firman lebih tinggi dari otoritas gereja atau tradisi.
9. Implikasi Praktis: Mengapa Kanon Itu Penting Bagi Kita?
a. Menjamin Keaslian Injil
Kanon menjaga agar kebenaran Injil tidak tercampur dengan ajaran palsu.
b. Memberi Arah Hidup Kristen
Kita memiliki dasar yang pasti untuk iman, etika, dan penyembahan.
c. Melawan Otoritas Palsu
Dalam era relativisme dan spiritualitas palsu, Alkitab yang kanonik adalah benteng kebenaran.
10. Tantangan Modern terhadap Kanon
Di era modern, tantangan terhadap kanon datang dari:
-
Kritik tekstual radikal yang mempertanyakan keaslian beberapa kitab.
-
Gnostik modern seperti Injil Tomas atau Yudas yang dianggap “kitab tersembunyi.”
-
Pandangan pluralistik yang merelatifkan Alkitab dengan “kitab suci lain.”
Namun teologi Reformed tetap menegaskan bahwa hanya kitab-kitab dalam kanon yang adalah Firman Allah yang hidup dan kekal.
11. Bagaimana Gereja Menanggapi?
Gereja harus:
-
Mengajarkan doktrin kanon kepada jemaat, agar tidak mudah terpengaruh arus zaman.
-
Mendorong pembacaan seluruh Kitab Suci, bukan hanya bagian favorit.
-
Meneguhkan otoritas Firman, bukan menggantinya dengan pengalaman pribadi atau opini populer.
Kesimpulan: Kanon adalah Karunia dan Tanggung Jawab
Kanon Kitab Suci adalah karunia Allah yang sangat besar. Ia memberi kita dasar iman yang kokoh, kebenaran yang tidak berubah, dan cahaya dalam kegelapan. Namun sekaligus, kanon juga adalah tanggung jawab—untuk dikenali, diajarkan, dan ditaati.
Seperti yang dinyatakan oleh B. B. Warfield:
“Kanon adalah hasil dari pekerjaan penyelenggaraan Allah melalui Roh Kudus yang memimpin gereja kepada pengakuan akan Firman-Nya.”
Dalam dunia yang terus berubah, kita bersyukur bahwa Firman Tuhan tetap—dan bahwa kanon Kitab Suci adalah batu penjuru iman kita, dari generasi ke generasi.