The Holy War

Pendahuluan: Apa Itu "The Holy War"?
Istilah “The Holy War” (Perang Kudus) sering kali mengundang kontroversi dan pertanyaan, baik dari kalangan Kristen maupun di luar gereja. Dalam konteks umum, ini merujuk pada konflik bersenjata yang dianggap memiliki justifikasi religius. Namun, dalam kacamata teologi Reformed, konsep ini jauh lebih dalam dan luas—bukan sekadar konflik fisik, melainkan pertempuran rohani antara terang dan gelap, antara Kerajaan Allah dan kekuatan dosa.
Teologi Reformed, yang berakar dari reformasi Protestan abad ke-16 dan dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti John Calvin, memiliki pendekatan yang khas dalam memahami konsep peperangan kudus ini. Artikel ini akan mengulas berbagai sudut pandang dari pakar teologi Reformed tentang "The Holy War", baik secara historis, biblika, maupun aplikatif dalam kehidupan Kristen masa kini.
1. Pandangan Historis: John Bunyan dan Alegori "The Holy War"
Salah satu karya klasik paling terkenal mengenai tema ini adalah “The Holy War” (1682) karya John Bunyan, penulis yang juga menulis The Pilgrim’s Progress. Dalam karyanya, Bunyan menggambarkan kota "Mansoul" sebagai jiwa manusia yang direbut oleh kekuatan kegelapan dan kemudian diperjuangkan kembali oleh Raja Shaddai (simbol Allah).
Menurut Bunyan, The Holy War bukanlah peperangan antar manusia, tetapi adalah:
"The battle for the soul, the continual spiritual struggle that marks the Christian life."
Pandangan ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh teologi Reformed mengenai perang rohani (spiritual warfare), seperti tertulis dalam Efesus 6:12:
“Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” (Efesus 6:12, AYT)
2. Pandangan Alkitabiah Menurut Teologi Reformed
a. Perang dalam Perjanjian Lama
Pakar Reformed seperti Dr. Meredith Kline menyatakan bahwa perang-perang dalam Perjanjian Lama—seperti perintah Allah kepada Israel untuk menaklukkan Kanaan—bukan sekadar konflik militer, tetapi tindakan penghakiman ilahi dan bagian dari rencana keselamatan. Kline memperkenalkan konsep “intrusion ethics”, yaitu bahwa penghakiman akhir zaman “menyusup” ke dalam sejarah dalam peristiwa-peristiwa tertentu, seperti perang Israel.
“The conquest was not merely a historical act of war, but a typological intrusion of the final judgment.” — Meredith Kline
b. Yesus dan Kerajaan Tanpa Pedang
Dalam teologi Reformed, Yesus tidak datang sebagai Mesias politik-militer, tetapi sebagai Mesias rohani yang mengalahkan kuasa dosa dan maut melalui salib. Dr. Michael Horton, teolog Reformed kontemporer, menegaskan bahwa:
“The victory of Christ is not through sword and shield, but through cross and resurrection.”
Kristus menolak penggunaan kekerasan (Matius 26:52) dan memilih jalan penderitaan demi penebusan umat-Nya. Hal ini mengubah paradigma "Holy War" dari konfrontasi eksternal menjadi pertempuran batiniah dan spiritual.
3. Dimensi Rohani dari “The Holy War”
a. Peperangan Melawan Daging, Dunia, dan Iblis
Menurut Dr. Sinclair Ferguson, peperangan yang sejati bagi orang percaya adalah melawan dosa yang berakar dalam diri. Peperangan ini tidak bisa dimenangkan dengan kekuatan manusia, melainkan dengan iman dan disiplin rohani.
"The Christian life is war. Not with other people, but with indwelling sin." — Sinclair Ferguson
Pilar Reformed lain seperti John Owen dalam bukunya The Mortification of Sin menyatakan bahwa orang Kristen dipanggil untuk “mematikan” dosa setiap hari:
“Be killing sin or it will be killing you.” — John Owen
b. Senjata Rohani (Efesus 6:10-18)
Teologi Reformed sangat menekankan pentingnya perlengkapan senjata Allah: ikat pinggang kebenaran, baju zirah keadilan, perisai iman, pedang Roh (Firman Tuhan), dan sebagainya. Ini adalah cara Allah membekali umat-Nya untuk menang dalam pertempuran rohani.
4. Teologi Kovenan dan Perang Kudus
Teologi Reformed memahami relasi Allah dan umat-Nya dalam kerangka perjanjian (kovenan). Dalam konteks ini, perang kudus bukanlah sekadar konflik, melainkan manifestasi dari kesetiaan Allah pada janji-Nya, seperti kepada Abraham bahwa Ia akan memberkati dan melindungi keturunannya.
Dr. Geerhardus Vos menyebutkan bahwa seluruh sejarah penebusan adalah perjuangan antara benih perempuan dan benih ular (Kejadian 3:15). Dengan demikian, seluruh narasi Alkitab bisa dipahami sebagai “perang suci” yang kulminasinya adalah kemenangan Kristus di salib.
5. Aplikasi Praktis bagi Gereja Masa Kini
a. Menolak Kekerasan sebagai Jalan Injil
Gereja Reformed menekankan bahwa jalan Kristus bukanlah kekerasan, melainkan kasih, pengorbanan, dan pelayanan. Penggunaan istilah "Holy War" untuk justifikasi perang fisik dianggap sebagai penyimpangan teologis.
R.C. Sproul menegaskan bahwa:
“The Gospel is not advanced by bombs or bullets but by Word and Spirit.”
b. Misi dan Penginjilan sebagai Peperangan Kudus
Peperangan kudus dalam konteks kekinian lebih tepat dipahami sebagai misi dan penginjilan. Ketika Injil diberitakan, terang Kristus menerobos kegelapan, dan kerajaan Allah diperluas.
6. Bahaya Distorsi Konsep “Holy War”
Teolog Reformed juga memperingatkan akan bahaya penyalahgunaan konsep perang kudus. Dalam sejarah, banyak kekerasan dilakukan atas nama agama. Teologi Reformed menolak pendekatan seperti itu dan menegaskan bahwa Allah tidak memerlukan pertolongan manusia untuk melindungi kebenaran-Nya dengan kekerasan.
Kesimpulan: Kemenangan Melalui Salib
Dalam terang teologi Reformed, "The Holy War" adalah perang rohani yang terus berlangsung hingga Kristus datang kembali. Itu adalah perjuangan melawan dosa, dunia, dan Iblis—dan kemenangan hanya mungkin melalui kuasa Injil dan karya Roh Kudus.
Kemenangan Kristus atas maut adalah titik pusat dari seluruh perang suci ini. Maka, setiap orang percaya dipanggil untuk:
-
Melibatkan diri dalam disiplin rohani
-
Bertekun dalam doa dan pembacaan Firman
-
Menolak segala bentuk kekerasan dan manipulasi dalam nama Tuhan
-
Hidup dalam kasih dan ketaatan kepada Kristus