Sejarah Perbudakan dalam Terang Kekristenan

Sejarah Perbudakan dalam Terang Kekristenan

Pendahuluan

Sejarah perbudakan adalah bagian kelam dari perjalanan umat manusia, dan agama—termasuk Kekristenan—memainkan peran kompleks di dalamnya. Di satu sisi, Kekristenan sering dianggap mendukung perbudakan pada masa lalu, tetapi di sisi lain, ajarannya juga menjadi pendorong utama bagi gerakan penghapusan perbudakan. Artikel ini akan menelusuri jejak pengaruh Kekristenan terhadap praktik perbudakan sepanjang sejarah, dengan menyoroti perspektif beberapa pakar teologi Reformed seperti John Calvin, Jonathan Edwards, Charles Hodge, dan Tim Keller, serta implikasi teologisnya dalam konteks sosial dan budaya dari abad ke abad.

1. Slavery dalam Konteks Alkitab: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

a. Perjanjian Lama: Slavery sebagai Kenyataan Sosial

Dalam Perjanjian Lama, perbudakan merupakan bagian dari struktur sosial dan ekonomi masyarakat Israel. Kitab Keluaran 21 dan Imamat 25:39-46 menjelaskan berbagai aturan tentang perbudakan, termasuk bagaimana seorang budak harus diperlakukan secara manusiawi dan dapat dibebaskan dalam Tahun Yobel.

"Apabila saudaramu jatuh miskin... maka janganlah engkau memperbudak dia dengan kerja rodi. Engkau harus memperlakukannya seperti orang upahan." – Imamat 25:39-40

Teolog Reformed seperti John Frame menekankan bahwa hukum-hukum ini bukanlah perintah untuk memperbudak, melainkan pembatasan dan perlindungan terhadap budak dalam konteks zaman itu. Konteks sosial kuno tidak identik dengan sistem perbudakan trans-Atlantik yang brutal.

b. Perjanjian Baru: Benih Emansipasi dalam Kristus

Dalam Perjanjian Baru, perbudakan masih eksis, tetapi ajaran Yesus dan Paulus menanamkan prinsip-prinsip yang mendasari penghapusan perbudakan. Rasul Paulus menulis:

"Dalam Kristus tidak ada orang Yahudi atau Yunani, hamba atau orang merdeka..." – Galatia 3:28

Surat kepada Filemon menjadi contoh penting bagaimana kasih Kristiani menantang relasi hamba-tuan:

“...aku mengembalikan dia kepadamu, dia yang adalah buah hatiku.” – Filemon 1:12

John Calvin melihat Filemon sebagai cermin kasih Injil. Ia mengajarkan bahwa Injil menyetarakan semua orang di hadapan Allah, termasuk hamba dan tuannya.

2. Gereja Awal dan Budaya Kekaisaran Romawi

Gereja mula-mula hidup dalam bayang-bayang kekaisaran Romawi, di mana lebih dari sepertiga populasi adalah budak. Meski tidak secara langsung menentang perbudakan, gereja mempromosikan etika kasih dan kesetaraan spiritual.

a. Para Bapa Gereja

Agustinus dan Klemens dari Aleksandria mengakui keberadaan perbudakan, namun mereka melihatnya sebagai akibat dari dosa. Bagi Agustinus, perbudakan merupakan bagian dari tatanan dunia yang telah jatuh.

Namun, praktik kasih dalam komunitas Kristen awal seringkali meniadakan batas antara tuan dan budak dalam kehidupan gereja. Ini menjadi benih-benih transformasi sosial jangka panjang.

3. Abad Pertengahan: Struktur Sosial dan Teologi Moral

a. Gereja Katolik dan Keterikatan dengan Feodalisme

Selama Abad Pertengahan, perbudakan formal berubah menjadi sistem perhambaan feodal. Gereja memainkan peran ambivalen—di satu sisi memfasilitasi sistem ini, tetapi di sisi lain mendorong pembebasan budak melalui derma, manumisi, dan pembaptisan.

b. Ajaran Teolog Abad Pertengahan

Thomas Aquinas berpendapat bahwa perbudakan tidak sesuai dengan kodrat manusia, tetapi dapat diterima secara legal dan sosial karena dampak dari kejatuhan manusia (fall). Di sini terlihat warisan teologis bahwa perbudakan bukanlah kondisi ideal menurut ciptaan Allah.

4. Reformasi: Perspektif Teologi Reformed Klasik

a. John Calvin dan Kota Jenewa

John Calvin, bapak teologi Reformed, tidak secara eksplisit menyerang sistem perbudakan, namun ajarannya membentuk fondasi egalitarian.

Calvin menekankan martabat semua manusia sebagai gambar Allah (Imago Dei). Dalam komentarnya atas Galatia 3:28, Calvin menyatakan bahwa “tidak ada perbedaan yang membatalkan kasih dan nilai seseorang di hadapan Allah.” Bagi Calvin, otoritas manusia harus tunduk pada hukum Allah, dan ini membuka jalan bagi etika sosial yang lebih setara.

b. Teologi Kovenan dan Nilai Kemanusiaan

Konsep teologi kovenan dalam tradisi Reformed—bahwa Allah berelasi dengan umat-Nya melalui perjanjian kasih—memiliki implikasi penting terhadap martabat manusia. Semua manusia berada dalam ruang pertanggungjawaban moral yang sama di hadapan Allah.

5. Teologi Reformed di Amerika dan Perbudakan Trans-Atlantik

a. Ironi: Teolog Reformed dan Kepemilikan Budak

Banyak pemimpin Reformed di Amerika abad ke-18 dan 19, seperti Jonathan Edwards, George Whitefield, dan bahkan beberapa Presbyterian di Selatan, adalah pemilik budak. Hal ini menimbulkan kritik tajam terhadap konsistensi antara doktrin dan praktik.

Jonathan Edwards, meskipun mengutuk kebrutalan terhadap budak, tetap mempertahankan sistem kepemilikan budak. Ini menunjukkan kompleksitas dan ketegangan antara idealisme teologis dan realitas sosial-politik.

b. Charles Hodge dan Princeton Seminary

Charles Hodge, salah satu teolog Reformed paling berpengaruh dari Princeton, membela posisi bahwa Alkitab tidak secara eksplisit melarang perbudakan. Namun, ia menekankan perlunya perlakuan manusiawi dan prinsip kasih sebagai pengatur utama.

6. Gerakan Penghapusan: Dorongan dari Teologi Reformed

a. Pengaruh Injil terhadap Abolitionism

Meski banyak tokoh Reformed terlibat dalam sistem perbudakan, justru dari kalangan inilah muncul suara profetik yang menolak perbudakan berdasarkan prinsip Injil.

William Wilberforce, tokoh utama penghapusan perbudakan di Inggris, terinspirasi oleh iman Kristen yang kuat. Meski bukan tokoh Reformed secara tegas, pemikiran-pemikirannya dekat dengan tradisi Calvinistik dalam hal martabat manusia dan panggilan sosial.

b. Abraham Kuyper dan Teologi Publik

Abraham Kuyper, tokoh Reformed Belanda, mengembangkan teologi "sphere sovereignty"—bahwa setiap bidang kehidupan tunduk pada Kristus. Dalam kerangka ini, perbudakan sebagai sistem sosial yang tidak mengakui martabat manusia bertentangan dengan kedaulatan Allah.

7. Refleksi Kontemporer: Apa Kata Reformed Hari Ini?

a. Tim Keller: Injil dan Keadilan Sosial

Tim Keller, teolog dan pendeta Reformed kontemporer, menekankan bahwa Injil membawa transformasi bukan hanya pribadi, tetapi juga sosial. Dalam bukunya "Generous Justice", Keller menulis:

“Injil membawa kita ke arah keadilan, karena Allah adalah Allah yang membela yang tertindas.”

Bagi Keller, kekristenan yang benar tidak bisa bersikap apatis terhadap ketidakadilan sosial, termasuk warisan perbudakan dalam berbagai bentuk modern seperti human trafficking dan eksploitasi ekonomi.

b. Kevin DeYoung dan Historisitas Teks

Kevin DeYoung, seorang Reformed modern lainnya, menegaskan pentingnya membedakan antara apa yang Alkitab catat dengan apa yang Alkitab ajarkan. Menurutnya, perbudakan dalam konteks Romawi sangat berbeda dengan perbudakan rasial modern, dan tidak boleh dijadikan justifikasi.

8. Kesimpulan: Ke Mana Kita Melangkah?

Jejak Kekristenan terhadap perbudakan menunjukkan dinamika antara ajaran doktrinal dan realitas sosial. Dari perspektif teologi Reformed, kita melihat bahwa meskipun ada ketidakkonsistenan historis, fondasi teologis Reformed tentang Imago Dei, Kedaulatan Kristus, dan kovenan kasih Allah membawa perubahan sosial yang transformatif.

Tiga Pilar Refleksi Akhir:

  1. Koreksi Historis: Menerima dan mengakui peran serta kesalahan gereja dan teolog Reformed dalam mempertahankan sistem perbudakan adalah langkah awal menuju penyembuhan sejarah.

  2. Etika Injil: Menerapkan prinsip kasih, kesetaraan, dan martabat manusia dalam semua aspek kehidupan sosial, termasuk dalam menentang segala bentuk perbudakan modern.

  3. Kepemimpinan Profetik: Gereja Reformed masa kini harus kembali menjadi suara profetik yang menantang struktur ketidakadilan dan menjadi terang di dunia.

Penutup: Injil Kristus Membebaskan

Dalam terang Injil, manusia—terlepas dari status sosial—diundang ke dalam kebebasan sejati dalam Kristus. Sejarah Kekristenan dan perbudakan bukanlah kisah yang sederhana, tetapi ketika dilihat dari lensa kasih Injil dan teologi Reformed, kita dapat melihat bahwa panggilan gereja adalah untuk membebaskan, bukan menindas.

“Jika Anak itu memerdekakan kamu, kamu akan benar-benar merdeka.” – Yohanes 8:36

Next Post Previous Post