Ibrani 12:26-29 Allah yang Menggoncangkan dan Api yang Menghanguskan

Ibrani 12:26-29 Allah yang Menggoncangkan dan Api yang Menghanguskan

"Waktu itu suara-Nya menggoncangkan bumi, tetapi sekarang Ia memberikan janji: 'Satu kali lagi Aku akan menggoncangkan bukan hanya bumi saja, melainkan langit juga.' Ungkapan 'satu kali lagi' menunjuk kepada perubahan pada apa yang dapat digoncangkan, karena ia dijadikan, supaya tinggal tetap apa yang tidak tergoncangkan. Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur, dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut. Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan."Ibrani 12:26–29 (TB)

Pendahuluan: Allah, Guncangan, dan Kekekalan

Penulis surat kepada orang Ibrani sedang menyampaikan teguran dan penghiburan kepada jemaat yang berada dalam tekanan. Dalam Ibrani 12:26–29, tema utama yang diangkat adalah kekudusan Allah, ketetapan kerajaan-Nya, dan panggilan untuk beribadah dengan takut dan hormat. Penulis mengontraskan pengalaman gunung Sinai (penghakiman dan ketakutan) dengan pengalaman rohani umat yang telah menerima kerajaan yang tak tergoncangkan.

Dalam teologi Reformed, bagian ini menguatkan tema besar tentang otoritas firman Allah, kekudusan-Nya, dan kekekalan kerajaan-Nya, serta menegaskan respons iman yang sejati: takut akan Allah dan penyembahan yang sejati.

I. Suara yang Menggoncangkan: Allah Berbicara dengan Kuasa (Ibrani 12:26)

A. Referensi kepada Gunung Sinai dan Keluaran 19

Frasa "Waktu itu suara-Nya menggoncangkan bumi" merujuk pada pengalaman umat Israel di Gunung Sinai. Ketika Allah memberi hukum Taurat, gempa, petir, dan suara sangkakala menandai kehadiran-Nya (Keluaran 19:16-19). Ini adalah manifestasi kehadiran ilahi yang mengguncang secara fisik dan spiritual.

John Owen, teolog Puritan Reformed, mencatat bahwa suara Allah bukan sekadar kata-kata, tetapi manifestasi kuasa yang menggoncangkan alam semesta dan hati manusia:

“Pemberitaan firman Allah di Sinai bukan hanya wahyu hukum, tetapi juga pewahyuan akan kekudusan dan kuasa-Nya yang tak tertandingi.”
John Owen, Hebrews Commentary

B. Janji penggoncangan yang lebih besar

Penulis Ibrani mengutip Hagai 2:6 — “Satu kali lagi Aku akan menggoncangkan…” — untuk menunjukkan bahwa Allah akan melakukan penggoncangan yang lebih luas dan universal: bukan hanya bumi, tetapi juga langit.

Louis Berkhof melihat ini sebagai tanda bahwa bukan hanya tatanan dunia lama yang akan digoncangkan, tetapi seluruh ciptaan akan diperbarui.

“Allah sedang menyatakan bahwa tatanan lama — baik jasmani maupun rohani — tidak kekal. Yang akan tinggal hanyalah apa yang berasal dari kerajaan-Nya yang kekal.”
Louis Berkhof, Systematic Theology

II. Penggoncangan Universal: Pembersihan dari yang Sementara (Ibrani 12:27)

A. “Satu kali lagi” — Penegasan akhir zaman

Ungkapan ini menunjuk pada penghakiman eskatologis. Guncangan terakhir akan mengungkapkan mana yang fana dan mana yang kekal. Ini adalah pewahyuan akhir zaman tentang kemurnian kerajaan Allah.

Herman Bavinck menafsirkan bahwa semua yang tidak berasal dari Allah — segala bentuk sistem dunia, keagamaan lahiriah, dan struktur manusiawi — akan lenyap saat Allah bertindak menyaring dunia.

“Pada akhirnya, hanya yang berasal dari Roh akan tinggal. Semua yang lahir dari daging, tradisi, dan manusia akan runtuh.”
Herman Bavinck, Reformed Dogmatics

B. Supaya “tinggal tetap apa yang tidak tergoncangkan”

Inilah inti dari teologi kerajaan: hanya kerajaan Allah yang tidak tergoncangkan. Semua kekuatan politik, budaya, bahkan agama luar akan digoncangkan.

R.C. Sproul menyatakan bahwa penggoncangan ini adalah bentuk anugerah yang menyaring agar yang sejati tetap.

“Allah menggoncangkan bukan untuk menghancurkan semata, tetapi untuk membersihkan — agar yang sejati tetap berdiri.”
R.C. Sproul, The Holiness of God

III. Kerajaan yang Tidak Tergoncangkan: Warisan Orang Percaya (Ibrani 12:28a)

A. “Kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan”

Kerajaan Allah yang dimaksud adalah pemerintahan Kristus yang kekal, yang bukan berasal dari dunia ini (Yoh. 18:36), tetapi telah datang melalui Injil dan akan digenapi sepenuhnya pada kedatangan-Nya kembali.

Dalam teologi Reformed, kerajaan ini mencakup:

  • Kedaulatan Kristus atas umat-Nya

  • Kuasa Roh Kudus dalam hati orang percaya

  • Pemerintahan Yesus atas gereja sejati

  • Penggenapan eskatologis dalam langit dan bumi yang baru

John Calvin mengatakan:

“Kerajaan ini bukanlah yang terlihat secara kasat mata, melainkan pemerintahan ilahi yang mengubah hati manusia dan membawa kita pada kekudusan dan kekekalan.”
John Calvin, Commentary on Hebrews

B. Kerajaan ini diterima, bukan dicapai

Penulis menggunakan kata “menerima,” bukan “mendirikan” atau “memenangkan.” Ini menunjukkan bahwa kerajaan itu adalah anugerah, bukan hasil usaha manusia. Hal ini sangat sejalan dengan prinsip sola gratia dalam teologi Reformed.

IV. Respons: Syukur, Penyembahan, Takut akan Allah (Ibrani 12:28b)

A. Mengucap syukur

Tanggapan yang dikehendaki adalah rasa syukur. Syukur dalam teologi Reformed adalah sikap responsif atas anugerah keselamatan, bukan sekadar perasaan atau ritual.

Matthew Henry mencatat bahwa rasa syukur seharusnya menggerakkan kita kepada ibadah sejati:

“Syukur yang sejati memancar dari kesadaran bahwa kita telah menerima sesuatu yang tidak pantas kita terima — kerajaan kekal.”
Matthew Henry, Commentary on Hebrews

B. Beribadah menurut cara yang berkenan kepada Allah

Penyembahan bukan menurut selera manusia, tetapi menurut ketetapan Allah. Ini mendasari prinsip Regulative Principle of Worship dalam tradisi Reformed, bahwa hanya hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dalam Kitab Suci yang diperbolehkan dalam ibadah.

Martyn Lloyd-Jones menegaskan bahwa penyembahan harus dipenuhi rasa hormat dan kesadaran akan kekudusan Allah:

“Allah bukan untuk didekati secara sembrono. Ibadah yang sejati lahir dari hati yang gentar akan hadirat-Nya.”
M. Lloyd-Jones, Revival

V. “Allah kita adalah api yang menghanguskan” (Ibrani 12:29)

A. Mengutip Ulangan 4:24

Frasa ini berasal dari Ulangan 4:24, menegaskan bahwa Allah tidak berubah dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru. Ia tetap suci, adil, dan tak dapat dikompromikan.

Dalam konteks Ibrani 12, api ini bukan hanya lambang murka, tetapi kekudusan yang menyucikan dan menghanguskan apa yang najis.

Jonathan Edwards dalam khotbah terkenalnya menulis:

“Kesucian Allah seperti api. Ia tidak bisa tinggal bersama dosa. Yang tidak disucikan akan hangus dalam hadirat-Nya.”
Jonathan Edwards, Sinners in the Hands of an Angry God

B. Kekudusan Allah sebagai penghiburan dan peringatan

Bagi orang percaya, “api” ini adalah penyucian. Namun bagi yang menolak Injil, itu adalah penghukuman. Ibrani 10:31 berkata, “Ngeri benar jatuh ke tangan Allah yang hidup!”

VI. Aplikasi Teologis dan Pastoral

A. Jangan bersandar pada yang tergoncangkan

Dalam dunia yang sedang diguncangkan — baik secara politik, ekonomi, maupun rohani — orang percaya dipanggil untuk bersandar kepada kerajaan Allah yang tidak tergoncangkan.

B. Sadarilah bahwa Allah tetap kudus dan layak ditakuti

Allah Perjanjian Baru bukan Allah yang “lebih lembut.” Ia tetap adalah “api yang menghanguskan.” Teologi Reformed menjaga keseimbangan antara kasih dan kekudusan Allah.

C. Beribadahlah dengan hormat, bukan dengan sikap sembarangan

Ibadah kita bukan panggung hiburan, tetapi perjumpaan dengan Allah yang hidup. Ketika gereja melupakan ini, ibadah kehilangan kuasa dan kekudusan.

Kesimpulan: Berdiri dalam yang Tidak Tergoncangkan

Ibrani 12:26-29 mengajak kita untuk:

  1. Mengakui kuasa firman Allah yang menggoncangkan segala sesuatu

  2. Bersandar pada kerajaan yang tidak tergoncangkan

  3. Beribadah dengan hormat dan rasa takut

  4. Hidup dalam kesadaran akan kekudusan Allah

Dalam terang teologi Reformed, ayat ini adalah deklarasi tentang immutabilitas Allah, otoritas-Nya, dan panggilan untuk ibadah yang sejati.

Kiranya kita tidak gentar terhadap guncangan dunia, tetapi gentar terhadap Allah yang kekal, yang telah memberi kita bagian dalam kerajaan-Nya yang mulia.

Next Post Previous Post