Keluaran 1:7–14 Pertumbuhan Gereja di Tengah Penderitaan dan Penganiayaan

Keluaran 1:7–14 Pertumbuhan Gereja di Tengah Penderitaan dan Penganiayaan

Pendahuluan

Salah satu hal yang menakjubkan dalam sejarah umat Allah adalah bahwa pertumbuhan rohani dan perluasan kerajaan Allah sering kali terjadi bukan pada masa kemakmuran dan kedamaian, melainkan justru pada masa penderitaan dan penganiayaan. Ketika dunia menindas umat Allah, ketika penguasa berusaha memadamkan terang iman, justru pada saat itulah Allah bekerja dengan cara yang ajaib untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

Keluaran pasal 1 ayat 7 sampai 14 menyingkapkan salah satu prinsip ilahi yang tak lekang oleh waktu: Allah menumbuhkan umat-Nya di tengah penderitaan. Firman Tuhan berkata:

“Tetapi orang Israel beranak cucu dan tak terbilang jumlahnya; mereka bertambah banyak dan sangat berlipat ganda, sehingga negeri itu dipenuhi mereka. Kemudian bangkitlah seorang raja baru memerintah tanah Mesir, yang tidak mengenal Yusuf. Berkatalah raja itu kepada rakyatnya: Sesungguhnya bangsa Israel itu sangat banyak dan lebih besar jumlahnya dari pada kita. Marilah kita bertindak dengan bijaksana terhadap mereka, supaya mereka jangan bertambah banyak lagi dan — jika terjadi perang — mereka jangan bersekutu dengan musuh kita dan memerangi kita, lalu pergi dari negeri ini. Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa...” (Keluaran 1:7–11).

Namun, dalam ayat 12 tertulis kebenaran yang menjadi inti khotbah ini:

“Tetapi makin ditindas, makin bertambah banyak dan berkembang mereka, sehingga orang menjadi takut kepada orang Israel.”

Inilah misteri kasih karunia Allah: di tengah penindasan, umat-Nya justru bertumbuh. Di bawah tekanan, gereja justru diperkuat. Di dalam kegelapan dunia, terang Injil justru semakin bersinar.

1. Janji Allah Tetap Berlaku di Tengah Penderitaan (Keluaran 1:7)

Ayat 7 membuka bagian ini dengan gambaran yang penuh sukacita: “Tetapi orang Israel beranak cucu dan tak terbilang jumlahnya; mereka bertambah banyak dan sangat berlipat ganda.”

Kata-kata ini mencerminkan pemenuhan janji Allah kepada Abraham, Ishak, dan Yakub (Kejadian 12:2; 15:5; 26:4; 28:14). Janji itu berbunyi bahwa keturunan Abraham akan menjadi bangsa yang besar dan tak terhitung banyaknya.

John Calvin dalam komentarnya atas kitab Keluaran menulis bahwa pertumbuhan umat Israel bukan sekadar fenomena biologis, melainkan tindakan providensial Allah yang menggenapi janji perjanjian-Nya. Calvin berkata:

“Pertambahan anak-anak Israel adalah kesaksian bahwa tangan Allah yang setia sedang bekerja. Sekalipun mereka hidup di negeri asing, Allah tetap mengingat perjanjian-Nya dan membuat benih Abraham berlipat ganda sebagaimana Ia telah janjikan.”

Pertumbuhan ini terjadi di tanah Mesir — bukan di Kanaan yang dijanjikan. Ini menunjukkan bahwa janji Allah tidak dibatasi oleh keadaan geografis, politik, atau sosial. Di manapun umat-Nya berada, tangan Allah sanggup bekerja untuk menumbuhkan mereka.

Matthew Henry menafsirkan ayat ini dengan berkata bahwa “semakin umat Allah berkembang, semakin dunia merasa terancam oleh mereka.” Dunia sering kali tidak dapat menanggung kehadiran umat yang diberkati, karena terang mereka mengungkapkan kegelapan dunia.

Maka dari itu, pertumbuhan gereja di tengah penderitaan selalu menjadi tanda bahwa janji Allah tetap berlaku, dan tidak ada kekuatan dunia yang dapat membatalkannya.

2. Penderitaan Dimulai Karena Dunia Tak Mengenal Allah (Keluaran 1:8–10)

Ayat 8 mencatat bahwa “Bangkitlah seorang raja baru memerintah tanah Mesir, yang tidak mengenal Yusuf.”

Ini bukan sekadar keterangan sejarah, tetapi pernyataan teologis. Ketidaktahuan raja Mesir tentang Yusuf berarti ketidaktahuan akan karya Allah dan kebaikan-Nya. Raja ini mewakili dunia yang buta terhadap kasih karunia Allah, dan karena kebutaannya, ia menjadi musuh umat Allah.

John Gill, teolog Baptis Reformed, menulis bahwa “ketika penguasa tidak mengenal orang-orang kudus Allah, maka mereka juga tidak mengenal Allah yang mengutus mereka.” Ini mengingatkan kita bahwa penganiayaan terhadap gereja tidak lain adalah ekspresi kebencian dunia terhadap Allah sendiri (Yohanes 15:18–20).

Raja Mesir memandang bangsa Israel bukan sebagai berkat, melainkan ancaman. Ia takut bahwa mereka akan bersekutu dengan musuh dalam perang. Di sini kita melihat pola yang berulang sepanjang sejarah: dunia menganggap umat Allah berbahaya karena mereka hidup dengan prinsip yang berbeda.

Seperti yang dikatakan oleh R.C. Sproul, “Kekudusan umat Allah selalu menimbulkan ketidaknyamanan bagi dunia yang mencintai dosa.” Oleh sebab itu, dunia sering kali berusaha menekan gereja agar menyerupai dirinya, atau menghancurkan gereja karena tidak bisa menyesuaikan diri.

Namun, seperti dalam kasus Mesir, rencana manusia untuk menekan gereja sering kali justru menjadi sarana Allah untuk memperluas kerajaan-Nya.

3. Allah Memakai Penindasan untuk Menguatkan Iman Umat-Nya (Keluaran 1:11–12)

Raja Mesir menempatkan pengawas-pengawas rodi untuk menindas bangsa Israel dengan kerja paksa. Mereka harus membangun kota-kota perbekalan seperti Pitom dan Raamses. Tujuannya adalah untuk menguras tenaga mereka agar tidak lagi berkembang.

Namun, apa hasilnya? Firman Tuhan berkata:

“Tetapi makin ditindas, makin bertambah banyak dan berkembang mereka.” (Keluaran 1:12).

Inilah prinsip ilahi yang menakjubkan: penderitaan yang dimaksudkan untuk menghancurkan umat Allah justru menjadi alat untuk memperkuat dan menumbuhkan mereka.

Matthew Henry berkomentar bahwa “ketika dunia menindas umat Allah, Allah justru memperbanyak mereka agar musuh mereka semakin bingung dan putus asa.” Ia melanjutkan, “Inilah bukti bahwa gereja tidak tumbuh karena kekuatannya sendiri, tetapi karena kuasa Allah yang menopangnya.”

Hal yang sama juga ditegaskan oleh John Calvin, yang berkata bahwa “Allah mengizinkan umat-Nya tertindas supaya mereka tidak mencintai dunia dan supaya mereka belajar mencari pertolongan hanya kepada-Nya.”

Ini adalah pelajaran penting bagi gereja masa kini. Dalam sejarah, gereja yang paling murni dan kuat bukanlah gereja yang hidup di bawah kenyamanan, tetapi gereja yang berjalan di bawah salib.

Perhatikanlah bagaimana gereja mula-mula dalam Kisah Para Rasul: setelah penganiayaan muncul di Yerusalem, murid-murid tersebar ke seluruh Yudea dan Samaria, dan di mana pun mereka pergi, mereka memberitakan Injil (Kis. 8:1–4). Penganiayaan tidak menghentikan gereja, melainkan memperluasnya.

Tertullian, bapa gereja awal, pernah berkata: “Darah para martir adalah benih gereja.” Artinya, setiap kali umat Allah menderita karena iman, Allah memakai penderitaan itu untuk menumbuhkan iman baru dalam hati banyak orang.

4. Allah Tidak Membiarkan Penindasan Berlanjut Tanpa Tujuan (Keluaran 1:13–14)

Ayat 13–14 menggambarkan penderitaan Israel yang semakin berat:

“Orang Mesir memaksa orang Israel bekerja dengan keras. Mereka memahitkan hidup orang Israel dengan pekerjaan berat — mengolah tanah liat dan batu bata dan dengan segala macam pekerjaan di padang.”

Penderitaan itu begitu dalam hingga hidup mereka terasa pahit. Namun, perhatikan bahwa Allah membiarkan kepahitan itu berlangsung sementara, karena Ia sedang menyiapkan pembebasan besar melalui Musa.

Geerhardus Vos, teolog Reformed klasik, menjelaskan bahwa penderitaan Mesir merupakan “tahap pemurnian umat Allah untuk menyiapkan mereka memasuki tatanan perjanjian baru.” Dengan kata lain, sebelum Israel dapat mengenal Allah sebagai Penebus, mereka harus terlebih dahulu mengenal pahitnya perbudakan.

Demikian juga dengan gereja. Allah memakai penderitaan untuk menyiapkan kita memahami kedalaman kasih dan kuasa penebusan Kristus. Tanpa salib, tidak ada kebangkitan. Tanpa penderitaan, tidak ada kemuliaan.

Martyn Lloyd-Jones berkata, “Gereja yang tidak mengalami penindasan biasanya kehilangan vitalitas rohaninya, karena penderitaan membuat kita bergantung sepenuhnya kepada Kristus.”

Kepahitan hidup Israel di Mesir adalah gambaran gereja yang hidup di dunia yang memusuhi Allah. Namun, seperti Allah mendengar jeritan Israel dan mengutus Musa, demikian pula Ia mendengar seruan gereja dan mengutus Kristus sebagai Penebus kita.

5. Prinsip Teologis: Gereja Bertumbuh Melalui Salib

Jika kita melihat keseluruhan narasi ini dari perspektif Perjanjian Baru, kita menemukan pola teologis yang dalam: Pertumbuhan gereja selalu mengikuti pola salib dan kebangkitan Kristus.

Ketika Yesus ditindas dan disalibkan, dunia berpikir mereka telah mengakhiri karya Allah. Namun, dari penderitaan itulah keselamatan dunia lahir. Demikian pula, setiap kali gereja dipaksa menderita, Allah memakai penderitaan itu untuk melahirkan kehidupan baru dan memperluas Injil.

Herman Bavinck menulis dalam Reformed Dogmatics:

“Kerajaan Allah tidak datang melalui kekuatan duniawi, melainkan melalui penderitaan dan ketaatan. Dalam salib Kristus, kita melihat pola tetap bagi seluruh kehidupan gereja.”

Maka, penderitaan bukan tanda bahwa Allah meninggalkan gereja, melainkan alat yang Allah pakai untuk memurnikan, memperkuat, dan menumbuhkan gereja-Nya.

6. Aplikasi bagi Gereja Masa Kini

a. Gereja harus siap menghadapi penderitaan

Keluaran 1 mengingatkan kita bahwa hidup umat Allah di dunia tidak akan bebas dari tekanan. Gereja yang sejati tidak boleh mencari kenyamanan duniawi dengan mengorbankan kebenaran.

Yesus sendiri telah berkata:

“Jika dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku.” (Yohanes 15:18)

Maka, penderitaan adalah tanda bahwa kita berjalan di jalan yang benar.

b. Penderitaan adalah sarana pemurnian iman

Seperti emas dimurnikan dalam api, demikian juga iman diuji melalui penderitaan. Gereja yang menghadapi tekanan eksternal akan dipaksa untuk kembali kepada dasar sejatinya: Firman Allah dan kasih karunia Kristus.

R.C. Sproul berkata, “Penderitaan adalah anugerah Allah yang keras — melalui itu Ia menyingkirkan segala sesuatu yang tidak kekal agar hanya yang kekal yang tinggal.”

c. Allah bekerja secara tersembunyi di balik penderitaan

Umat Israel mungkin tidak melihat tangan Allah saat mereka dipaksa bekerja di bawah cambuk Mesir. Namun, di balik semua itu, Allah sedang menyiapkan Musa, seorang bayi yang nantinya akan memimpin mereka keluar.

Demikian juga, ketika gereja masa kini menghadapi kesulitan — kemerosotan moral, tekanan sosial, atau kebencian terhadap Injil — kita harus percaya bahwa Allah tidak sedang diam. Ia bekerja dalam diam, menyiapkan pembebasan besar.

d. Pertumbuhan gereja sejati bersifat rohani, bukan sekadar numerik

Pertumbuhan Israel di Mesir bukan hanya soal jumlah, tetapi juga tentang identitas. Mereka menjadi bangsa yang utuh, dipersatukan oleh penderitaan dan iman kepada Allah yang hidup.

Demikian pula, pertumbuhan gereja sejati bukan diukur dari jumlah anggota atau bangunan megah, melainkan dari kedalaman iman, kesetiaan kepada Firman, dan kasih yang bertumbuh di tengah kesulitan.

7. Kesimpulan: Dari Mesir Menuju Kemuliaan

Saudara-saudara, kisah Keluaran 1:7–14 bukan sekadar sejarah kuno. Itu adalah pola rohani yang berulang dalam kehidupan umat Allah sepanjang masa. Gereja di Mesir, gereja mula-mula di bawah Roma, gereja Reformasi di bawah penganiayaan, bahkan gereja di zaman modern yang menghadapi tekanan ideologis — semuanya mengalami prinsip yang sama:

“Makin ditindas, makin bertambah banyak dan berkembang.”

Karena Allah yang menumbuhkan gereja adalah Allah yang hidup, yang berdaulat, yang memegang kendali atas segala sejarah.

John Calvin menulis:

“Bila dunia menindas gereja, itu bukan tanda bahwa Allah tidur, melainkan bahwa Ia sedang bekerja dengan cara yang tersembunyi untuk membentuk umat yang lebih murni bagi diri-Nya.”

Maka, marilah kita tidak takut menghadapi penderitaan. Dunia boleh menekan, penguasa boleh menolak, tetapi tidak ada kuasa di bumi yang dapat menghentikan pertumbuhan gereja Kristus.

Yesus berkata:

“Aku akan mendirikan jemaat-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya.” (Mat. 16:18)

Janji itu pasti. Seperti umat Israel bertumbuh di tengah perbudakan Mesir, demikian pula gereja akan terus bertumbuh di tengah dunia yang memusuhi Kristus — hingga hari ketika Allah membawa kita keluar dari segala penderitaan menuju tanah perjanjian surgawi.

Penutup

Keluaran 1:7–14 menegaskan tiga hal penting bagi kita:

  1. Janji Allah tidak pernah gagal, bahkan di tanah penindasan.

  2. Penderitaan bukan akhir dari umat Allah, melainkan jalan menuju kemuliaan.

  3. Pertumbuhan sejati gereja terjadi ketika iman diuji, bukan ketika segalanya mudah.

Kiranya kita, sebagai bagian dari gereja Kristus, tetap setia dan bertumbuh di tengah segala penderitaan, percaya bahwa Allah sedang memakai semua itu untuk kemuliaan-Nya.

Seperti gereja di Mesir, marilah kita berkata dengan iman:

“Makin ditindas, makin bertambah banyak dan berkembang.”

Soli Deo Gloria.

Next Post Previous Post