Pengangkatan bagi Jiwa yang Tertunduk

Pengangkatan bagi Jiwa yang Tertunduk

Pendahuluan: Saat Jiwa Tertunduk di Hadapan Allah

Setiap orang percaya tidak pernah kebal dari kejatuhan batin, kelemahan iman, atau kesedihan jiwa. Ada masa-masa ketika seorang Kristen merasa seolah-olah Allah jauh darinya; doa terasa hampa, hati menjadi dingin, dan harapan nyaris padam. Seperti yang dialami pemazmur: “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku?” (Mazmur 42:6).

Inilah realitas rohani yang sering disebut oleh para teolog Reformed sebagai “downcast soul” — jiwa yang tertunduk, hati yang tertekan karena dosa, penderitaan, atau kehilangan penghiburan rohani. Namun, kabar sukacita Injil adalah bahwa Allah tidak meninggalkan umat-Nya dalam kejatuhan itu. Ia mengangkat mereka kembali, meneguhkan mereka di atas dasar kasih karunia-Nya.

Tema “A Lifting Up of the Downcast” diambil dari karya klasik William Bridge, salah satu teolog Puritan abad ke-17. Dalam kumpulan khotbahnya yang terkenal, Bridge berkata:

“Tidak ada keadaan yang begitu rendah, tidak ada jiwa yang begitu hancur, yang tidak dapat diangkat oleh Kristus.”

Bridge menulis berdasarkan Mazmur 42 dan 43, di mana pemazmur berjuang antara kesedihan dan iman, antara keputusasaan dan pengharapan. Ia menunjukkan bahwa Allah yang sama yang mematahkan hati karena dosa juga yang menghibur dan mengangkat hati itu melalui kasih karunia-Nya.

I. Realitas Jiwa yang Tertunduk: Penyebab dan Gambaran Alkitabiah

Dalam teologi Reformed, kesedihan jiwa atau “downcast soul” bukan sekadar masalah psikologis, tetapi masalah rohani yang bersumber dari hubungan manusia dengan Allah.

1. Akibat Dosa yang Belum Diakui

Seringkali hati orang percaya menjadi tertunduk karena dosa yang belum diakui atau belum ditinggalkan. Daud menulis, “Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu... karena siang malam tangan-Mu menekan aku” (Mazmur 32:3–4).

Calvin dalam komentarnya tentang Mazmur 32 menulis:

“Allah tidak akan membiarkan anak-anak-Nya hidup dalam dosa dengan damai. Ketika Ia menekan hati mereka, itu bukan tanda murka, melainkan kasih yang menegur untuk memulihkan.”

Dosa yang tidak diakui menghalangi persekutuan dengan Allah dan membuat jiwa kehilangan damai. Namun justru dari titik inilah Allah memulai pekerjaan pengangkatan-Nya — dengan membawa anak-Nya kepada pertobatan sejati.

2. Penderitaan dan Pencobaan yang Diperkenankan Allah

Jiwa yang tertunduk juga dapat disebabkan oleh penderitaan berat: kehilangan, sakit, atau penganiayaan. Allah, dalam kedaulatan-Nya, sering mengizinkan kesedihan ini bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk memurnikan iman.

John Flavel, teolog Puritan, menulis:

“Ketika Allah mematahkan hati kita melalui penderitaan, Ia sedang membentuknya kembali untuk menjadi bejana yang lebih kuat bagi kemuliaan-Nya.”

Ayub adalah contoh nyata. Ia mengalami penderitaan yang luar biasa, kehilangan segalanya, bahkan istrinya berkata: “Kutukilah Allahmu dan matilah!” (Ayub 2:9). Namun Ayub menjawab: “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN.” (Ayub 1:21).

Di sinilah tampak iman yang sejati — bukan iman yang hanya bersyukur ketika diberkati, tetapi iman yang tetap berserah ketika segalanya hilang.

3. Kelemahan Iman dan Serangan Iblis

Kadang, jiwa menjadi tertunduk bukan karena dosa atau penderitaan, tetapi karena kelemahan iman dan tuduhan Iblis. Iblis disebut “penuduh saudara-saudara kita” (Wahyu 12:10). Ia menanamkan keraguan: “Apakah Allah masih mengasihimu? Apakah engkau sungguh diselamatkan?”

John Owen berkata:

“Iblis tidak dapat mencabut keselamatan orang percaya, tetapi ia dapat mencuri penghiburannya.”

Karena itu, banyak orang Kristen berjalan dalam keselamatan sejati namun kehilangan sukacita keselamatan. Mereka seperti matahari yang tertutup awan — terang tetap ada, hanya tidak tampak.

II. Allah yang Mengangkat Jiwa yang Tertunduk

Meskipun orang percaya dapat mengalami kejatuhan rohani, Allah yang beranugerah tidak akan membiarkan mereka jatuh sampai binasa.

Mazmur 145:14 berkata, “TUHAN itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua orang yang tertunduk.”

Ini adalah dasar penghiburan sejati dalam teologi Reformed: keamanan orang percaya (perseverance of the saints).

1. Kasih Allah yang Tidak Berubah

Kebangkitan dan penghiburan tidak dimulai dari usaha manusia, tetapi dari kasih Allah yang kekal. Seperti yang dikatakan dalam Maleakhi 3:6, “Aku, TUHAN, tidak berubah; sebab itu kamu, hai anak-anak Yakub, tidak lenyap.”

R.C. Sproul menegaskan:

“Keselamatan kita tidak bergantung pada kekuatan kita memegang Kristus, tetapi pada kekuatan Kristus memegang kita.”

Jiwa yang tertunduk dapat kehilangan perasaan akan kasih Allah, tetapi tidak kehilangan kasih itu sendiri. Kasih Allah bukan gelombang emosi, melainkan keputusan kekal dalam Kristus.

2. Kristus sebagai Penghibur yang Setia

Ibrani 4:15–16 memberikan jaminan luar biasa:

“Sebab Imam Besar yang kita punya bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita.”

Kristus tidak hanya memahami penderitaan dari jauh; Ia sendiri telah menanggung dukacita, ditolak, dicemooh, bahkan ditinggalkan di salib. Karena itu, Ia berbelaskasihan kepada jiwa yang tertunduk.

Thomas Goodwin menulis:

“Hati Kristus lebih cepat tergerak untuk menghibur daripada hati kita untuk bersedih.”

Ketika kita datang kepada Kristus dalam kehancuran, Ia tidak menghardik, melainkan memeluk. Ia berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28).

3. Roh Kudus sebagai Penghibur

Dalam Yohanes 14:16, Yesus menjanjikan Roh Kudus sebagai Parakletos — Penolong dan Penghibur.

John Calvin menggambarkan pekerjaan Roh Kudus ini dengan sangat indah:

“Roh Kudus adalah ikatan yang menghubungkan Kristus dengan kita; Ia yang mengalirkan kehidupan Kristus ke dalam hati orang percaya.”

Ketika jiwa tertunduk, Roh Kudus mengingatkan kita akan janji-janji Allah, menguatkan iman, dan menyalakan kembali kasih yang sempat padam.

III. Sarana Anugerah untuk Mengangkat Jiwa yang Tertunduk

Allah tidak hanya memberikan janji penghiburan secara abstrak, tetapi juga menyediakan sarana anugerah (means of grace) yang nyata untuk memulihkan umat-Nya.

1. Firman Tuhan

Mazmur 19:8 berkata, “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa.”

William Bridge dalam bukunya menulis:

“Setiap janji Allah adalah obat bagi jiwa yang terluka.”

Firman Tuhan adalah alat utama yang digunakan Roh Kudus untuk menyembuhkan dan mengangkat jiwa. Ketika seseorang membaca dan merenungkan firman dengan iman, hatinya dipenuhi kembali dengan kebenaran yang memerdekakan dari kebohongan Iblis dan keputusasaan.

Seperti Kristus menguatkan dua murid di jalan ke Emaus, Ia masih melakukan hal yang sama hari ini melalui firman-Nya: “Bukankah hati kita berkobar-kobar ketika Ia berbicara kepada kita di tengah jalan?” (Lukas 24:32).

2. Doa dan Pengakuan Dosa

Doa bukanlah sekadar kata-kata, melainkan jalan pemulihan relasi dengan Allah. Mazmur 34:18 berkata, “TUHAN dekat kepada orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang yang remuk jiwanya.”

John Bunyan berkata:

“Doa yang paling lemah sekalipun, bila keluar dari hati yang hancur, menembus sampai ke takhta kasih karunia.”

Dalam doa yang tulus, orang percaya melepaskan beban jiwanya dan menyerahkannya kepada Allah yang peduli. Pengakuan dosa membawa kelegaan, karena dosa yang disembunyikan menekan hati, tetapi dosa yang diakui dibersihkan oleh darah Kristus.

3. Persekutuan Gereja

Gereja adalah tempat di mana Kristus menghibur umat-Nya secara nyata melalui tubuh-Nya, yaitu saudara-saudari seiman.

Dalam Galatia 6:2, Paulus menulis, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu.”

Richard Sibbes, penulis The Bruised Reed, berkata:

“Kristus tidak memadamkan sumbu yang pudar; maka kita pun jangan menambah beban bagi yang lemah, melainkan meniupkan kasih yang menyalakan kembali nyala kecil itu.”

Pemulihan jiwa yang tertunduk sering terjadi bukan dalam kesendirian, tetapi dalam pelukan kasih gereja.

IV. Cara Praktis Allah Mengangkat Jiwa yang Tertunduk

Allah bekerja dengan cara yang lembut dan penuh kasih dalam mengangkat umat-Nya. Proses ini dapat dilihat dalam beberapa langkah rohani:

  1. Kesadaran akan Kasih Karunia yang Lebih Besar dari Dosa.
    Paulus berkata, “Di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” (Roma 5:20).
    Kesadaran bahwa kasih Kristus lebih besar dari segala dosa memberikan pengharapan baru.

  2. Pemulihan Fokus pada Kristus.
    Banyak jiwa tertunduk karena terlalu lama memandang diri sendiri. Tetapi pemulihan terjadi ketika kita mengarahkan mata kepada Kristus. Seperti kata Ibrani 12:2, “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus.”

  3. Ketaatan Kecil yang Konsisten.
    Pemulihan rohani bukanlah kilat; itu proses yang sering dimulai dengan langkah-langkah kecil: doa harian, pembacaan firman, ibadah, dan pelayanan sederhana.
    Flavel berkata, “Ketaatan kecil yang dilakukan terus-menerus lebih kuat daripada emosi besar yang cepat padam.”

  4. Menghidupi Pengharapan Eskatologis.
    Orang percaya dihibur oleh pengharapan bahwa suatu hari nanti Allah akan menghapus setiap air mata (Wahyu 21:4).
    Calvin menyebut pengharapan ini sebagai “jangkar bagi jiwa di tengah badai kehidupan.”

V. Contoh Alkitabiah: Petrus yang Diangkat Kembali oleh Kristus

Petrus adalah contoh nyata bagaimana Tuhan mengangkat jiwa yang jatuh. Ia menyangkal Kristus tiga kali, lalu “menangis dengan sedih” (Lukas 22:62).

Namun, kasih Kristus tidak meninggalkannya. Setelah kebangkitan, Yesus menemuinya dan bertanya tiga kali: “Apakah engkau mengasihi Aku?” (Yohanes 21:15–17).

Pertanyaan itu bukan untuk mempermalukan Petrus, tetapi untuk memulihkannya. Setelah itu, Yesus berkata, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

John Owen berkata tentang peristiwa ini:

“Kasih Kristus lebih besar dari kejatuhan Petrus; Ia bukan hanya mengampuni, tetapi mempercayakan kembali pelayanan kepadanya.”

Demikianlah Allah bekerja — Ia mengangkat jiwa yang tertunduk bukan hanya agar berdiri kembali, tetapi agar melayani dengan hati yang lebih lembut dan rendah hati.

VI. Tujuan Allah di Balik Jiwa yang Tertunduk

Mengapa Allah mengizinkan umat-Nya mengalami kejatuhan batin? Dalam pandangan Reformed, tidak ada penderitaan tanpa tujuan ilahi.

Beberapa alasan teologisnya adalah:

  1. Untuk Menyadarkan Kelemahan Diri.
    Allah menundukkan hati agar manusia tidak bersandar pada dirinya sendiri. Paulus berkata, “Supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi pada Allah.” (2 Korintus 1:9).

  2. Untuk Menghasilkan Kerendahan Hati dan Kasih yang Lebih Dalam.
    Mereka yang pernah hancur oleh dosa akan lebih lembut dalam memperlakukan orang lain. Richard Sibbes berkata, “Hati yang pernah dipatahkan oleh Allah menjadi hati yang paling lembut bagi sesamanya.”

  3. Untuk Menyatakan Kemuliaan Kasih Karunia.
    Ketika Allah mengangkat yang jatuh, dunia melihat keindahan Injil. Seperti kata Mazmur 40:3, “Ia menaruh nyanyian baru dalam mulutku... banyak orang akan melihatnya dan menjadi takut, lalu percaya kepada TUHAN.”

VII. Puncak Pengangkatan: Kemuliaan di Dalam Kristus

Pada akhirnya, pengangkatan sejati dari jiwa yang tertunduk adalah kemuliaan kekal bersama Kristus.

2 Korintus 4:17 berkata, “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang jauh lebih besar dari segala-galanya.”

Inilah janji Injil Reformed: bahwa semua air mata, kegagalan, dan kesedihan yang dialami orang percaya akan dipakai Allah sebagai alat untuk membawa mereka pada sukacita abadi.

Jonathan Edwards menulis:

“Orang kudus yang pernah paling menderita akan paling mampu menikmati kemuliaan, karena mereka tahu betapa besar anugerah yang telah mengangkat mereka.”

Maka, ketika jiwa tertunduk, pandanglah salib — di sanalah Allah merendahkan diri-Nya sampai ke dasar maut, agar kita dapat diangkat sampai ke surga.

Penutup: Harapan bagi Jiwa yang Tertekan

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan, bila hari ini engkau merasa jauh, lemah, atau tertunduk, ingatlah: Kristus tidak mengabaikan jiwa yang hancur.

Mazmur 42:12 menutup dengan seruan pengharapan:

“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku? Berharaplah kepada Allah, sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!”

William Bridge menutup khotbahnya dengan kalimat ini:

“Janganlah engkau menyerah ketika hatimu jatuh, sebab Allahmu tidak jatuh bersamamu. Ia masih duduk di takhta, dan kasih-Nya masih sama.”

Jadi, pengangkatan bagi jiwa yang tertunduk bukanlah sekadar janji emosional, melainkan realitas rohani dalam Kristus Yesus. Dialah yang turun ke dalam kedalaman maut supaya kita diangkat kepada kemuliaan kekal.

Kiranya kita semua dapat berkata bersama Daud:

“Tuhanlah yang menegakkan aku dari lumpur kebinasaan dan menaruh kakiku di atas bukit batu.” (Mazmur 40:3)

Amin.

Next Post Previous Post