Kisah Para Rasul 7:17–19 Anugerah Allah yang Tetap Bekerja di Tengah Penindasan

Kisah Para Rasul 7:17–19 Anugerah Allah yang Tetap Bekerja di Tengah Penindasan

“Ketika saatnya genap untuk Allah menepati janji-Nya yang diikrarkan-Nya kepada Abraham, bertambah banyaklah bangsa itu dan berkembang biak di Mesir, sampai bangkitlah seorang raja lain memerintah tanah Mesir, yang tidak mengenal Yusuf. Raja itu menipu bangsa kita dan memperlakukan nenek moyang kita dengan jahat; ia menyuruh mereka menelantarkan bayi-bayi mereka supaya bayi-bayi itu jangan hidup.”
Kisah Para Rasul 7:17–19

Pendahuluan: Janji Allah Tidak Pernah Gagal

Salah satu kebenaran yang meneguhkan dalam Kitab Suci adalah bahwa Allah setia kepada janji-Nya, meskipun keadaan tampak berlawanan. Kisah Para Rasul 7 mencatat khotbah Stefanus — khotbah yang menjadi saksi iman terakhir sebelum ia mati martir. Dalam pembelaannya di hadapan Mahkamah Agama Yahudi, Stefanus menelusuri sejarah karya keselamatan Allah dari Abraham hingga Musa, untuk menunjukkan bahwa Allah tidak pernah gagal menggenapi rencana-Nya, sekalipun umat-Nya mengalami penderitaan.

Kisah Para Rasul 7:17–19 merupakan bagian penting dari narasi itu. Stefanus menggambarkan periode di mana bangsa Israel berkembang biak di Mesir, hingga akhirnya muncul raja baru — Firaun — yang tidak mengenal Yusuf. Di sini kita melihat peralihan dari masa kasih karunia menuju masa penindasan, namun di balik itu Allah sedang bekerja menyiapkan pembebasan umat-Nya melalui Musa.

Sebagaimana dikatakan oleh R.C. Sproul, “Kisah sejarah dalam Alkitab bukanlah sekadar kronologi manusia, melainkan teologi tentang Allah yang berdaulat di atas sejarah.” (The Holiness of God). Maka, kisah Israel di Mesir bukan hanya tragedi manusia, melainkan bagian dari drama ilahi tentang kesetiaan Allah di tengah penderitaan.

1. Kegenapan Waktu dan Janji Allah (Kisah Para Rasul 7:17)

“Ketika saatnya genap untuk Allah menepati janji-Nya yang diikrarkan-Nya kepada Abraham…”

Kalimat ini langsung mengingatkan kita pada janji Allah kepada Abraham dalam Kejadian 15:13–14, bahwa keturunannya akan tinggal di negeri asing selama 400 tahun dan akan ditindas, tetapi pada akhirnya Allah akan membebaskan mereka dengan tangan yang kuat. Stefanus menyatakan bahwa waktu yang dijanjikan itu kini “genap”.

Dalam teologi Reformed, kegenapan waktu (kairos) adalah momen ketika Allah, dalam kedaulatan-Nya, melaksanakan rencana yang telah Ia tetapkan sejak kekekalan. John Calvin menulis, “Waktu Allah tidak pernah terlambat dan tidak pernah terlalu cepat. Ia menunda bukan karena lupa, tetapi karena Ia bekerja sesuai dengan hikmat dan tujuan kekal-Nya.” (Commentary on Acts).

Allah tidak lupa pada janji kepada Abraham. Selama ratusan tahun, umat Israel mungkin berpikir Allah diam. Namun diamnya Allah bukan berarti Ia absen; Ia sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk penggenapan janji-Nya.

Hal ini juga berlaku dalam kehidupan kita. Sering kali kita tidak mengerti mengapa Allah menunda pertolongan, namun sebagaimana Israel belajar, penundaan bukanlah penolakan. Seperti dikatakan Martyn Lloyd-Jones, “Tuhan tidak pernah terburu-buru, tetapi Ia selalu tepat waktu.” (Spiritual Depression).

Kata “genap” di sini menegaskan bahwa sejarah berada di bawah kendali Allah. Tidak ada masa yang kebetulan; semuanya diatur oleh tangan yang berdaulat. Waktu Allah bukan waktu kita, tetapi waktu yang sempurna.

2. Bertambah Banyak dan Berkembang Biak (Kisah Para Rasul 7:17b)

“…bertambah banyaklah bangsa itu dan berkembang biak di Mesir.”

Ayat ini menunjukkan bahwa berkat Allah tetap nyata meskipun bangsa Israel tinggal di negeri asing. Kelahiran anak-anak Israel yang banyak bukan sekadar fenomena demografis, melainkan penggenapan janji Allah kepada Abraham bahwa keturunannya akan menjadi bangsa yang besar (Kejadian 12:2).

Namun ironinya, berkat ini justru menjadi alasan bagi Mesir untuk menindas mereka (bandingkan Keluaran 1:9–10). Hal ini menunjukkan bahwa berkat sering kali menimbulkan perlawanan dari dunia yang membenci karya Allah.

John Stott menafsirkan bagian ini dengan tajam: “Pertumbuhan umat Allah selalu menimbulkan reaksi dari kerajaan dunia. Namun setiap kali dunia mencoba menindas umat Allah, justru pada saat itu Allah memperbanyak mereka.” (The Message of Acts).

Kita melihat pola yang sama sepanjang sejarah gereja: semakin ditekan, semakin berkembang. Gereja mula-mula dianiaya di Yerusalem, namun justru melalui penganiayaan itu Injil menyebar ke seluruh wilayah (Kis. 8:1–4). Ini adalah prinsip rohani yang kekal: darah para martir adalah benih bagi gereja (Tertullian).

Dalam terang ini, pertumbuhan Israel di Mesir adalah simbol dari kemenangan anugerah atas kesengsaraan. Dunia dapat mengikat tubuh umat Allah, tetapi tidak dapat menghentikan rencana Allah.

3. Bangkitlah Seorang Raja yang Tidak Mengenal Yusuf (Kisah Para Rasul 7:18)

“…sampai bangkitlah seorang raja lain memerintah tanah Mesir, yang tidak mengenal Yusuf.”

Ayat ini adalah titik balik dalam narasi. Dulu, karena Yusuf, Mesir menjadi tempat perlindungan bagi Yakub dan keturunannya. Tetapi sekarang muncul raja baru yang “tidak mengenal Yusuf” — artinya, tidak menghargai sejarah karya Allah melalui Yusuf.

Secara historis, banyak penafsir menilai bahwa raja ini berasal dari dinasti baru yang tidak memiliki hubungan dengan dinasti sebelumnya. Namun secara teologis, ini lebih dari sekadar perubahan politik; ini adalah simbol kemerosotan rohani. Ketika pemimpin tidak lagi mengenal karya Allah, maka bangsa akan kehilangan arah moral dan spiritual.

John Calvin menulis:

“Ketika manusia melupakan tangan Allah yang dahulu menolong mereka, maka mereka membuka pintu bagi kekejaman dan kebodohan. Lupa akan kasih karunia adalah akar dari segala penindasan.” (Commentary on Acts 7).

Firaun baru ini melupakan bahwa keberkatan Mesir di masa lalu adalah karena Yusuf — seorang hamba Allah. Lupa terhadap kasih karunia menghasilkan kesombongan. Ia tidak lagi takut kepada Allah, dan menganggap bangsa Israel sebagai ancaman, bukan sebagai berkat.

Hal ini menjadi peringatan bagi setiap generasi: ketika bangsa melupakan Allah, maka moralitas akan runtuh, dan ketidakadilan akan berkuasa. Dalam setiap zaman, krisis terbesar manusia bukan ekonomi atau politik, melainkan lupa akan Tuhan.

4. Penipuan dan Penindasan (Kisah Para Rasul 7:19)

“Raja itu menipu bangsa kita dan memperlakukan nenek moyang kita dengan jahat; ia menyuruh mereka menelantarkan bayi-bayi mereka supaya bayi-bayi itu jangan hidup.”

Stefanus menggambarkan kekejaman Firaun dalam tiga dimensi:

  1. Penipuan (kata Yunani: katakakousthai), yang berarti menggunakan tipu daya untuk menundukkan. Firaun memperdaya Israel dengan sistem kerja paksa yang perlahan menghancurkan mereka secara mental dan sosial.

  2. Penindasan (kekejaman fisik) — Ia memperbudak bangsa Israel, membuat mereka bekerja keras tanpa belas kasihan.

  3. Pembunuhan bayi laki-laki — bentuk genosida yang dirancang untuk memusnahkan masa depan Israel.

Namun di balik tragedi itu, Allah tetap bekerja. Dari tengah penderitaan itulah, Allah menyiapkan Musa — sang pembebas — untuk lahir. Seolah-olah Allah berkata: “Engkau dapat mencoba menghancurkan umat-Ku, tetapi melalui penderitaan mereka, Aku menyiapkan penebusan.”

R.C. Sproul menulis, “Setiap tindakan jahat manusia tidak pernah di luar kendali Allah. Dalam misteri anugerah-Nya, Ia bahkan memakai kejahatan manusia untuk menggenapi kebaikan-Nya.” (Chosen by God).

Inilah prinsip Providensia Allah — kedaulatan-Nya bekerja bahkan melalui tindakan jahat. Apa yang dimaksud untuk menghancurkan, justru menjadi sarana bagi keselamatan. Seperti yang kelak diucapkan Yusuf dalam Kejadian 50:20:

“Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan.”

Dengan demikian, kisah penindasan di Mesir bukanlah bukti kegagalan Allah, melainkan panggung bagi manifestasi kasih karunia-Nya yang lebih besar. Dari perbudakan lahirlah kebebasan; dari kesedihan lahirlah keselamatan.

5. Prinsip Reformed: Kedaulatan Allah di Tengah Penderitaan

Perikop ini menjadi cermin dari doktrin Providensia Ilahi yang sangat ditekankan dalam teologi Reformed. Allah bukan hanya mengetahui apa yang akan terjadi, tetapi mengatur dan mengendalikan semua peristiwa untuk kemuliaan-Nya dan kebaikan umat-Nya.

John Calvin menulis:

“Tidak ada satu hal pun yang terjadi secara kebetulan; setiap penderitaan yang dialami umat Allah telah ditetapkan dalam rencana-Nya yang penuh kasih.” (Institutes, I.16.9).

Allah tidak mengizinkan Israel ditindas tanpa tujuan. Melalui penderitaan itu, Ia sedang membentuk karakter umat-Nya dan menyiapkan pembebasan yang kelak akan menjadi bayangan dari karya penebusan Kristus.

Demikian juga dengan hidup kita. Kadang Allah membiarkan kita melalui masa sulit bukan karena Ia meninggalkan kita, tetapi karena Ia sedang mengerjakan rencana yang lebih besar. Anugerah sering kali bekerja melalui luka.

Martyn Lloyd-Jones berkata, “Tidak ada penderitaan orang percaya yang sia-sia; setiap air mata adalah benih yang ditanam untuk kemuliaan yang akan datang.” (Romans: Assurance of Our Salvation).

6. Gambaran Tipologis: Musa dan Kristus

Konteks Kisah Para Rasul 7:17–19 menjadi latar bagi kelahiran Musa. Ketika dunia berusaha membunuh, Allah menyiapkan penyelamat. Ini adalah pola tipologis yang menunjuk kepada Kristus.

Seperti Musa dilahirkan di tengah perintah pembunuhan bayi, demikian pula Yesus lahir ketika Herodes mengeluarkan perintah serupa (Matius 2:16). Seperti Musa diutus untuk membebaskan Israel dari perbudakan Mesir, demikian Kristus datang untuk membebaskan umat manusia dari perbudakan dosa.

R.C. Sproul menyebut hal ini sebagai “the redemptive pattern of Scripture” — pola penebusan yang berulang: penderitaan mendahului kemuliaan, salib mendahului kebangkitan.

Stefanus ingin menunjukkan kepada para imam Yahudi bahwa sebagaimana nenek moyang mereka menolak Musa, demikian pula mereka menolak Kristus. Tetapi penolakan manusia tidak dapat menggagalkan rencana Allah. Kristus tetap menang, sebagaimana Musa akhirnya memimpin umat keluar dari Mesir.

7. Aplikasi Teologis dan Praktis

Dari eksposisi ini, kita dapat menarik beberapa aplikasi penting bagi kehidupan iman:

a. Allah Setia kepada Janji-Nya

Waktu mungkin panjang, situasi mungkin tampak memburuk, tetapi janji Allah pasti digenapi. Seperti Israel di Mesir, kita harus belajar menunggu dengan iman. Janji Tuhan bukanlah fatamorgana, melainkan kepastian kekal.

b. Penderitaan Tidak Menghapus Anugerah

Kita sering mengira bahwa kesulitan berarti Allah tidak lagi bekerja. Namun dalam pandangan Reformed, penderitaan adalah alat pembentukan rohani. Allah memakai tekanan untuk memurnikan iman kita.

John Stott menulis, “Salib mengajarkan bahwa penderitaan bukanlah akhir dari cerita, tetapi bagian dari proses menuju kemuliaan.” (The Cross of Christ).

c. Jangan Lupa Kasih Karunia Allah

Firaun jatuh dalam dosa karena “tidak mengenal Yusuf” — melupakan kasih karunia masa lalu. Gereja dan setiap individu bisa jatuh dalam bahaya yang sama ketika melupakan karya Kristus yang telah menyelamatkan kita. Setiap ibadah, setiap sakramen, seharusnya menjadi pengingat bahwa kita hidup hanya karena anugerah.

d. Allah Memiliki Tujuan di Balik Setiap Krisis

Seperti Allah memakai Mesir untuk membentuk Israel, Ia pun memakai setiap situasi hidup kita untuk mempersiapkan sesuatu yang lebih besar. Tidak ada penderitaan yang sia-sia bagi mereka yang dikasihi Allah (Roma 8:28).

8. Kesimpulan: Anugerah di Tengah Penindasan

Stefanus mengingatkan kita bahwa sejarah umat Allah bukanlah kisah kemudahan, melainkan kisah anugerah di tengah penderitaan. Allah yang berjanji kepada Abraham adalah Allah yang setia di Mesir, dan Allah yang sama bekerja dalam hidup kita hari ini.

Ketika kita menghadapi tekanan, kita dapat mengingat: Allah tidak diam. Ia sedang bekerja di balik layar.
Penindasan tidak menghentikan janji, melainkan menyiapkan penggenapannya.

Sebagaimana Israel disiapkan untuk pembebasan, demikian pula kita sedang dipersiapkan untuk kemuliaan kekal di dalam Kristus.

John Calvin menulis dengan indah:

“Ketika dunia tampak melawan kita, marilah kita ingat bahwa Allah sedang mempersiapkan pembebasan yang lebih besar. Janji-Nya tidak pernah gagal, dan kasih-Nya tidak pernah berhenti.”

Amin.

Next Post Previous Post