Markus 4:14–20 Hati yang Subur bagi Firman: Makna Perumpamaan Penabur

Pendahuluan
Perumpamaan tentang penabur merupakan salah satu ajaran Yesus yang paling dikenal, namun juga paling sering disalahpahami. Dalam Markus 4:14–20, Yesus menyingkapkan makna rohani yang mendalam tentang bagaimana Firman Allah bekerja dalam hati manusia. Ia menggambarkan empat jenis tanah yang mewakili empat respons terhadap Firman: tanah di pinggir jalan, tanah berbatu-batu, tanah yang penuh semak duri, dan tanah yang baik.
Perumpamaan ini bukan sekadar kisah tentang pertanian, tetapi refleksi spiritual mengenai keadaan hati manusia ketika mendengar Injil. Dalam konteks pelayanan Yesus, banyak orang mendengar pengajaran-Nya, namun hanya sedikit yang benar-benar berubah. Sama halnya di masa kini — gereja dipenuhi oleh orang-orang yang mendengar Firman setiap minggu, namun tidak semuanya menghasilkan buah rohani.
Seperti dikatakan oleh R.C. Sproul, “Perumpamaan penabur adalah cermin bagi hati kita. Ia menunjukkan bukan hanya apa yang kita dengar, tetapi bagaimana kita mendengar.” (Sproul, The Parables of Jesus).
1. Penabur dan Benih: Allah yang Menabur Firman-Nya
Markus 4:14 membuka penjelasan Yesus dengan sederhana: “Penabur itu menaburkan firman.”
Dalam perumpamaan ini, penabur melambangkan Kristus sendiri dan juga setiap pelayan Injil yang menyebarkan Firman Tuhan. Sedangkan benih adalah Firman Allah yang hidup dan berkuasa untuk menumbuhkan iman (band. Roma 10:17).
John Calvin menafsirkan bahwa penabur ini adalah gambaran dari pelayanan Yesus yang dengan setia menyebarkan Injil ke segala penjuru, tanpa memandang siapa yang mendengar. Calvin menulis, “Firman Tuhan disebarkan dengan murah hati, tetapi keberhasilannya bergantung bukan pada penabur, melainkan pada pekerjaan Roh Kudus di dalam hati manusia.” (Commentary on the Synoptic Gospels).
Artinya, tugas kita sebagai penabur hanyalah menabur. Kita tidak memiliki kuasa untuk menentukan tanah mana yang subur. Kita hanya dipanggil untuk taat, menyebarkan Firman, dan mempercayakan hasilnya kepada Allah.
Seperti diingatkan oleh Martyn Lloyd-Jones, “Tugas pengkhotbah bukanlah membuat orang bertobat, melainkan menyampaikan Firman yang benar dengan kuasa Roh Kudus, lalu menyerahkan hasilnya kepada Tuhan.” (Preaching and Preachers).
2. Tanah di Pinggir Jalan: Hati yang Keras (Markus 4:15)
“Yesus berkata: Orang-orang yang di pinggir jalan ialah mereka yang mendengar firman; lalu datanglah Iblis dan mengambil firman yang baru ditaburkan di dalam mereka.”
Tanah pertama menggambarkan hati yang tertutup, keras, dan tidak memberi tempat bagi Firman untuk masuk. Dalam dunia pertanian, tanah di pinggir jalan adalah bagian yang diinjak-injak, padat, dan tidak bisa menyerap benih. Begitu juga hati manusia yang tertutup oleh kesombongan, dosa, dan ketidakpedulian terhadap hal-hal rohani.
R.C. Sproul menjelaskan bahwa tanah ini menggambarkan mereka yang mungkin rajin mendengar khotbah, tetapi hatinya tidak pernah terbuka terhadap panggilan pertobatan. “Firman itu datang, tetapi tidak menembus. Iblis mencuri benih itu melalui gangguan, kesombongan, atau cinta dunia,” katanya. (Essential Truths of the Christian Faith).
Satan tahu betapa berbahayanya Firman Allah bila dibiarkan berakar. Karena itu ia segera mencurinya, sebelum Firman itu menimbulkan kesadaran akan dosa. Seperti ditulis dalam 2 Korintus 4:4, “Iblis, yang adalah ilah zaman ini, telah membutakan pikiran orang-orang yang tidak percaya.”
Ini adalah peringatan bagi kita semua — mendengar Firman saja tidak menjamin perubahan. Kita bisa hadir setiap minggu, mengangguk pada setiap ayat, namun hati tetap tertutup rapat. Firman hanya berbuah ketika diterima dengan iman dan kerendahan hati.
3. Tanah Berbatu-batu: Iman yang Dangkal (Markus 4:16–17)
Jenis tanah kedua tampak lebih baik. Benih tumbuh dengan cepat, tetapi layu ketika matahari terik karena akarnya dangkal. Yesus berkata bahwa ini menggambarkan mereka yang menerima Firman “dengan gembira”, tetapi hanya bertahan sementara; ketika datang penindasan atau kesusahan, mereka segera murtad.
Gambaran ini sangat relevan dalam konteks gereja masa kini. Banyak orang tersentuh oleh khotbah atau suasana ibadah, mereka menangis, mengaku percaya, bahkan tampak berubah. Namun setelah emosi itu mereda dan ujian datang, mereka meninggalkan iman.
John Stott dalam The Contemporary Christian menulis, “Emosi yang tanpa dasar teologis adalah iman yang tidak akan tahan badai. Kegembiraan rohani yang tidak disertai akar kebenaran akan layu ketika kesulitan datang.”
Lloyd-Jones juga mengingatkan bahwa kegembiraan bukanlah bukti pertobatan sejati. “Banyak orang berpikir bahwa air mata dan antusiasme adalah tanda kelahiran baru. Namun akar sejati iman adalah ketaatan dan ketekunan di tengah penderitaan.” (Spiritual Depression).
Tanah berbatu melambangkan hati yang dangkal — orang yang tertarik oleh manfaat Injil, tetapi tidak mau menanggung salib. Mereka mencintai Yesus selama Ia membawa kenyamanan, tetapi meninggalkan-Nya ketika iman menuntut pengorbanan.
4. Tanah yang Penuh Semak Duri: Hati yang Terbelah (Markus 4:18–19)
“Yesus berkata: Yang ditaburkan di tengah semak duri itu ialah mereka yang mendengar firman, lalu kekhawatiran dunia, tipu daya kekayaan, dan keinginan-keinginan yang lain masuk menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah.”
Inilah salah satu tipe hati yang paling umum di dunia modern. Firman memang bertumbuh, tetapi perlahan-lahan dicekik oleh hal-hal duniawi. Tiga hal yang disebut Yesus — kekhawatiran dunia, tipu daya kekayaan, dan keinginan lainnya — adalah tiga racun rohani yang paling halus namun mematikan.
R.C. Sproul menafsirkan bahwa ini bukan hanya tentang orang kaya, tetapi tentang siapa pun yang menaruh kepercayaannya pada hal-hal dunia. “Duri-duri itu adalah segala sesuatu yang menempati hati kita lebih daripada Kristus. Bisa jadi karier, hubungan, ambisi, atau bahkan pelayanan.” (The Parables of Jesus).
Sedangkan John Calvin menulis, “Hati manusia bagaikan ladang yang penuh duri, dan duri-duri itu tidak dapat dicabut kecuali Roh Kudus bekerja dengan kuasa-Nya untuk menaklukkan cinta dunia.” (Institutes of the Christian Religion, II.2.22).
Yesus tidak berkata bahwa orang ini kehilangan benih sama sekali — Firman itu tetap ada, tetapi tidak menghasilkan buah. Hidupnya menjadi sibuk dengan urusan dunia, hingga tidak ada ruang untuk pertumbuhan rohani.
Kita hidup di zaman di mana banyak orang percaya kehilangan kesuburan rohaninya bukan karena dosa besar, tetapi karena kehidupan yang terlalu penuh. Terlalu banyak kekhawatiran, terlalu banyak ambisi, terlalu banyak gangguan. Seperti dikatakan Tim Keller, “Salah satu cara Iblis menipu orang Kristen modern bukan dengan membuat mereka menyangkal Allah, tetapi dengan membuat mereka terlalu sibuk untuk bersekutu dengan-Nya.” (Counterfeit Gods).
5. Tanah yang Baik: Hati yang Siap Menerima dan Berbuah (Markus 4:20)
Akhirnya Yesus berkata: “Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan menerimanya dan berbuah, tiga puluh, enam puluh, bahkan seratus kali lipat.”
Tanah yang baik bukanlah hati yang sempurna, melainkan hati yang siap diolah oleh Roh Kudus. Orang ini tidak hanya mendengar Firman, tetapi menerimanya dengan iman dan ketaatan. Dalam dirinya, Firman itu bertumbuh secara nyata — menghasilkan karakter Kristus, kasih, kesetiaan, dan buah pelayanan.
Matthew Henry menjelaskan: “Tanah yang baik adalah hati yang dilembutkan oleh anugerah, hati yang diolah melalui pertobatan sejati, dan dipelihara oleh ketaatan terus-menerus.” (Commentary on the Whole Bible).
Sementara Lloyd-Jones menegaskan bahwa buah rohani bukanlah hasil usaha manusia, tetapi bukti dari kehidupan baru dalam Kristus. “Ketika Roh Kudus menanam Firman di hati seseorang, Ia mengubah seluruh keberadaannya. Perubahan itu tampak dari buah yang nyata, bukan sekadar pengakuan bibir.”
Menariknya, Yesus menyebut tiga tingkat hasil panen: tiga puluh, enam puluh, dan seratus kali lipat. Ini menunjukkan bahwa setiap orang percaya mungkin berbuah dalam kadar yang berbeda, namun semuanya menghasilkan sesuatu yang nyata. Tidak ada tanah yang baik yang tidak berbuah.
Buah itu bisa berupa perubahan karakter (Galatia 5:22–23), kesetiaan dalam pelayanan, atau pengaruh hidup yang membawa orang lain kepada Kristus. Yang terpenting, buah itu nyata dan konsisten, bukan sesaat atau emosional.
6. Prinsip Reformed: Kedaulatan Allah dalam Pertumbuhan Rohani
Dari sudut pandang teologi Reformed, perumpamaan ini menegaskan kedaulatan Allah dalam karya keselamatan. Benih Firman ditabur kepada semua orang, tetapi hanya tanah yang telah dipersiapkan oleh Allah yang akan menghasilkan buah.
Calvin berkata, “Tidak ada manusia yang dapat membuka hatinya sendiri kepada Firman. Itu adalah pekerjaan Roh Kudus yang mengubahkan hati batu menjadi hati daging.” (Commentary on Matthew, Mark, and Luke).
Artinya, keselamatan bukanlah hasil keputusan manusia, melainkan anugerah Allah semata. Namun, anugerah itu tidak membuat manusia pasif. Mereka yang sungguh-sungguh telah menerima Firman akan menunjukkan tanda nyata dalam kehidupan mereka.
R.C. Sproul menegaskan, “Perumpamaan ini menunjukkan bahwa panggilan Injil bersifat universal, tetapi pemilihan Allah menentukan respons yang sejati. Allah mempersiapkan hati yang akan menerima Firman itu dengan iman.”
Dengan kata lain, tanggapan terhadap Firman adalah hasil dari karya anugerah. Kita dipanggil untuk menabur, tetapi Allah yang menumbuhkan (1 Korintus 3:6). Inilah misteri sekaligus keindahan dari kasih karunia Allah — Ia bekerja di balik layar untuk menghasilkan buah dalam diri umat pilihan-Nya.
7. Aplikasi Rohani: Menjadi Tanah yang Baik
Perumpamaan ini mengundang kita untuk melakukan introspeksi rohani: jenis tanah apakah hati kita saat ini?
-
Apakah kita seperti tanah di pinggir jalan — mendengar tetapi tidak peduli?
-
Apakah kita seperti tanah berbatu — bersemangat tetapi mudah menyerah?
-
Apakah kita seperti tanah berduri — penuh dengan kesibukan duniawi hingga tidak berbuah?
-
Atau apakah kita menjadi tanah yang baik — terbuka, rendah hati, dan taat pada Firman Tuhan?
Martyn Lloyd-Jones berkata, “Setiap kali Firman diberitakan, dua hal terjadi: hati yang keras akan semakin mengeras, dan hati yang lembut akan semakin dilembutkan.” (Studies in the Sermon on the Mount).
Artinya, mendengar Firman tidak pernah netral. Setiap kali kita mendengar Injil, hati kita sedang dibentuk — entah menjadi lebih keras atau lebih lembut. Karena itu, kita harus terus berdoa agar Roh Kudus menjaga hati kita tetap lembut dan haus akan kebenaran.
8. Menjaga Kesuburan Hati
Hati yang subur tidak terbentuk sekali saja, tetapi harus dipelihara terus-menerus. Seperti tanah yang perlu diolah, disirami, dan dijaga dari duri, hati kita pun perlu dibersihkan dari dosa, kekhawatiran, dan cinta dunia.
Firman harus terus ditabur melalui pembacaan Alkitab, doa pribadi, dan persekutuan umat. Ketika Firman itu tinggal di hati, maka iman bertumbuh, karakter diubahkan, dan buah pelayanan muncul.
John Stott berkata, “Tidak ada kehidupan Kristen yang bertumbuh tanpa disiplin mendengar dan menaati Firman setiap hari. Firman adalah makanan bagi jiwa, bukan hanya informasi bagi pikiran.” (The Radical Disciple).
Penutup
Perumpamaan penabur dalam Markus 4:14–20 bukan sekadar kisah pertanian, tetapi penggambaran kehidupan rohani kita. Firman Allah adalah benih kehidupan, dan hati kita adalah tanah tempat Ia ingin menumbuhkan buah kekekalan.
Yesus mengakhiri pengajarannya dengan satu seruan sederhana namun tajam:
“Siapa bertelinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” (Markus 4:9).
Mendengar di sini bukan sekadar mendengar dengan telinga, melainkan menerima dengan iman, menaati dengan hati, dan menghidupi dengan tindakan.
Kiranya setiap kita menjadi tanah yang baik — hati yang diolah oleh Roh Kudus, siap menerima Firman, berakar dalam kasih Kristus, dan berbuah bagi kemuliaan Allah.
Sebagaimana dikatakan John Calvin dalam kalimat yang indah:
“Hati manusia hanya akan menjadi ladang yang subur bila Tuhan sendiri yang membajaknya.”
Amin.