Mazmur 6:1–7 Tangisan Seorang yang Ditundukkan oleh Anugerah
.jpg)
Pendahuluan
Mazmur 6:1-7 adalah salah satu dari tujuh mazmur pertobatan (penitential psalms) dalam Alkitab (bersama Mazmur 32, 38, 51, 102, 130, dan 143). Mazmur ini merupakan ratapan pribadi Daud yang sangat dalam—jeritan seorang yang sedang menderita secara fisik, rohani, dan emosional akibat murka Allah atas dosanya.
Kata-kata dalam Mazmur 6 begitu jujur dan menggetarkan: “Janganlah menghukum aku dalam murka-Mu, janganlah menghajar aku dalam kepanasan amarah-Mu.” (ay.1). Daud merasa seakan-akan hidupnya dihantam gelombang demi gelombang disiplin ilahi, hingga air matanya menjadi makanannya setiap malam.
Namun di balik ratapan itu, kita menemukan inti iman sejati: seorang berdosa yang mencari belas kasihan Allah, bukan pembenaran diri. Mazmur ini menunjukkan bagaimana kasih karunia Allah menundukkan hati manusia melalui penderitaan dan membawa mereka kembali kepada-Nya.
I. Latar Belakang Mazmur 6: Ratapan Seorang yang Dihajar oleh Tuhan
Banyak penafsir Reformed sepakat bahwa Mazmur 6 ditulis ketika Daud sedang mengalami penderitaan hebat—baik karena penyakit fisik maupun karena kesadaran akan dosanya yang berat.
John Calvin dalam Commentary on the Psalms menulis:
“Daud bukan sekadar mengeluh tentang penderitaannya, tetapi ia menyadari bahwa tangan Allah sendiri sedang menghajarnya karena dosa. Maka tangisannya bukanlah keluhan tanpa arah, melainkan permohonan kepada Allah agar murka-Nya diubah menjadi belas kasihan.”
Mazmur ini menunjukkan keseimbangan penting dalam teologi Reformed: bahwa disiplin Allah terhadap umat pilihan-Nya bukan penghukuman yang menghancurkan, melainkan kasih yang menegur dan memulihkan.
Daud menyadari bahwa penderitaannya bukan kebetulan. Dalam pengakuannya, ia tidak mempersalahkan musuh, tetapi memohon agar Tuhan mengurangi hajaran murka-Nya.
II. “Janganlah Menghukum Aku dalam Murka-Mu” (Mazmur 6:1)
Ayat pertama membuka dengan dua permohonan:
“Janganlah menghukum aku dalam murka-Mu, janganlah menghajar aku dalam kepanasan amarah-Mu.”
Dua kata penting di sini adalah “murka” (aph) dan “amarah” (chemah)—menunjukkan intensitas emosi ilahi terhadap dosa. Namun Daud tidak menyangkal bahwa ia pantas dihukum. Ia hanya memohon agar Tuhan tidak menimpakan murka yang menghancurkan.
Matthew Henry menafsirkan ayat ini demikian:
“Ketika anak-anak Allah berdoa agar tidak dihajar dalam murka, mereka tidak menolak hajaran sama sekali, tetapi mereka memohon agar hajaran itu dilunakkan oleh belas kasihan.”
Inilah hati sejati seorang anak Allah: Ia tidak menolak dididik, tetapi mohon agar Allah tetap menyertakan kasih-Nya dalam setiap teguran.
Dalam terang Perjanjian Baru, kita melihat bahwa murka yang ditakuti Daud telah ditanggung sepenuhnya oleh Kristus di kayu salib. Calvin menulis:
“Apa yang Daud takuti, yaitu murka Allah, telah ditanggung oleh Kristus bagi kita. Karena itu, setiap hajaran yang kita alami kini bukan murka penghukuman, melainkan tangan kasih seorang Bapa.”
Ini membawa penghiburan besar bagi setiap orang percaya: penderitaan yang kita alami bukan lagi tanda kutuk, melainkan sarana pemurnian kasih karunia.
III. “Kasihanilah Aku, Sebab Aku Lemah” (Mazmur 6:2–3)
Ayat 2–3 menggambarkan penderitaan Daud:
“Kasihanilah aku, ya TUHAN, sebab aku lemah; sembuhkanlah aku, ya TUHAN, sebab tulang-tulangku gemetar, dan jiwaku sangat terkejut.”
Kata “lemah” di sini (Ibrani: umlal) menunjuk pada keletihan total—baik tubuh maupun roh. Daud tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga secara batin. Ia merasa seolah-olah seluruh keberadaannya retak di bawah berat dosa dan murka Allah.
Spurgeon dalam The Treasury of David menulis:
“Tidak ada penderitaan yang lebih berat bagi jiwa yang rohani daripada kesadaran akan murka Allah. Lebih baik menderita di hadapan manusia daripada satu detik saja merasa jauh dari kasih Tuhan.”
R.C. Sproul menyebut pengalaman ini sebagai “the terror of the holy”—ketika manusia menyadari kekudusan Allah yang mutlak dan melihat dirinya yang najis di hadapan-Nya.
Namun justru di titik inilah kasih karunia mulai bekerja. Penderitaan karena dosa bukanlah akhir, melainkan pintu menuju pemulihan. Allah menundukkan hati yang keras melalui penderitaan agar kita kembali pada belas kasihan-Nya.
IV. “Berapa Lama Lagi, TUHAN?” (Mazmur 6:4)
Ayat 4 adalah puncak pergumulan batin Daud:
“Dan Engkau, ya TUHAN, berapa lama lagi?”
Ungkapan ini sering muncul dalam mazmur ratapan (band. Mzm. 13:2). Ini bukan tanda pemberontakan, melainkan jeritan iman yang tulus.
John Calvin menjelaskan:
“Daud tidak bersungut-sungut, tetapi dengan rendah hati menumpahkan hatinya di hadapan Allah. Ketika orang percaya tidak mengerti jalan Allah, mereka diperbolehkan bertanya ‘berapa lama lagi?’ selama mereka tidak kehilangan pengharapan.”
Seruan ini juga menunjukkan bahwa iman sejati tidak berarti kita selalu tenang. Iman yang hidup justru bergumul dengan Allah, menantikan kasih karunia-Nya.
Mazmur ini mengajarkan bahwa menunggu Tuhan di tengah penderitaan adalah bentuk tertinggi dari iman. Orang fasik mungkin menyerah, tetapi orang percaya tetap memegang pengharapan bahwa Tuhan akan bertindak pada waktu-Nya.
V. “Selamatkanlah Aku oleh Kasih Setia-Mu” (Mazmur 6:5)
Ayat 5 berkata:
“Kembalilah, ya TUHAN, luputkanlah nyawaku; selamatkanlah aku oleh kasih setia-Mu.”
Inilah inti teologi Reformed: keselamatan semata-mata karena kasih setia Allah (hesed), bukan karena jasa manusia. Daud tidak meminta diselamatkan karena kesalehannya, tetapi karena karakter Allah yang penuh kasih setia.
Matthew Henry menulis:
“Tidak ada penghiburan bagi hati yang bersalah kecuali dalam kasih setia Tuhan. Bukan karena siapa kita, tetapi karena siapa Allah itu.”
Di sinilah kita melihat bahwa pertobatan sejati lahir dari pengenalan akan kasih setia Allah. Tanpa keyakinan bahwa Allah penuh belas kasihan, tidak ada orang yang akan datang kepada-Nya dengan hati yang hancur.
Reformator John Calvin menegaskan:
“Kata ‘kasih setia’ menyingkapkan sumber pengharapan Daud. Ia tahu bahwa Allah berjanji setia kepada umat-Nya, bukan karena mereka pantas, tetapi karena perjanjian kasih karunia-Nya.”
Kata “kembalilah” di awal ayat adalah seruan agar Allah menghentikan murka-Nya dan memulihkan persekutuan. Daud merindukan bukan hanya kesembuhan tubuh, tetapi juga pemulihan hubungan dengan Allah.
VI. “Sebab di dalam maut tidaklah Engkau diingat” (Mazmur 6:6)
“Sebab di dalam maut tidaklah Engkau diingat; siapakah yang akan bersyukur kepada-Mu di dunia orang mati?”
Daud di sini berbicara dengan bahasa Perjanjian Lama tentang kematian sebagai tempat tanpa pujian (Sheol). Ia bukan menolak kehidupan setelah mati, melainkan menekankan bahwa selama masih hidup, manusia diberi kesempatan untuk memuji Tuhan.
Spurgeon menjelaskan:
“Daud tidak berbicara secara teologis tentang neraka atau surga, melainkan secara eksistensial—ia merindukan hidup agar dapat terus memuliakan Allah di bumi.”
Dengan kata lain, Daud memohon hidup bukan demi kenyamanan, tetapi demi kemuliaan Allah. Ia ingin diselamatkan agar dapat terus menyembah Tuhan.
Inilah tanda hati yang diperbarui oleh kasih karunia: orang yang bertobat tidak lagi hidup untuk dirinya, melainkan untuk memuliakan Allah yang menyelamatkannya.
VII. “Aku Lesu karena Mengeluh” (Mazmur 6:7)
“Aku lesu karena mengeluh; setiap malam aku menggenangi tempat tidurku, dengan air mataku aku membanjiri ranjangku.”
Inilah gambaran kesedihan rohani yang mendalam. Daud menangis bukan karena keadaan luar, tetapi karena dosa dan jauhnya kasih Tuhan.
Spurgeon menulis:
“Air mata seorang kudus lebih berharga di mata Tuhan daripada mutiara dunia. Tuhan tidak mengabaikan air mata yang jatuh karena penyesalan sejati.”
Air mata dalam Alkitab sering menjadi tanda pertobatan yang tulus. Dalam Perjanjian Baru, Petrus pun “menangis dengan sedih” setelah menyangkal Kristus (Matius 26:75).
John Calvin menafsirkan bahwa air mata Daud menunjukkan kerendahan hati yang dihasilkan oleh pekerjaan Roh Kudus:
“Ketika hati kita benar-benar ditundukkan oleh kasih karunia, kita tidak lagi membenarkan diri, tetapi menyesali dosa dengan air mata dan berseru kepada Allah untuk pengampunan.”
Mazmur ini dengan demikian menjadi contoh pertobatan sejati yang bukan hanya formal, tetapi emosional dan rohani. Daud tidak hanya mengakui dosa, tetapi juga merasakan beratnya dosa itu di hadapan Allah yang kudus.
VIII. Teologi Reformed tentang Disiplin dan Kasih Karunia
Mazmur 6 menyingkapkan keseimbangan yang sangat penting dalam iman Reformed:
-
Allah kudus dan murka terhadap dosa.
Murka Allah bukan emosi tak terkendali, tetapi ekspresi kekudusan-Nya terhadap segala kejahatan.
R.C. Sproul berkata:“Murka Allah adalah respons yang benar dari kekudusan terhadap dosa. Jika Allah tidak murka terhadap dosa, Ia bukanlah Allah yang kudus.”
-
Namun Allah mendisiplinkan anak-anak-Nya dalam kasih.
Ibrani 12:6 berkata, “Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya.” Disiplin ini bertujuan untuk membentuk, bukan menghancurkan. -
Anugerah lebih besar dari hukuman.
Di tengah murka, kasih setia Allah tetap berdaulat. Dalam Kristus, murka Allah tertumpah habis, dan bagi kita yang percaya, hanya kasih yang tersisa. -
Pertobatan sejati menghasilkan kerendahan dan kasih kepada Allah.
Orang yang mengenal kasih karunia akan menangis atas dosa, bukan karena takut hukuman, tetapi karena menyakiti kasih Allah yang begitu besar.
IX. Aplikasi Praktis bagi Gereja Masa Kini
-
Akuilah penderitaan sebagai sarana pemurnian rohani.
Seperti Daud, kita harus melihat penderitaan bukan sekadar masalah, tetapi teguran kasih Allah yang memanggil kita kembali kepada-Nya. -
Jangan tolak disiplin Allah.
Dunia modern menganggap penderitaan sebagai musuh, tetapi iman Reformed mengajarkan bahwa Allah memakai penderitaan untuk membentuk karakter kudus. -
Peliharalah hati yang peka terhadap dosa.
Daud menangis karena dosa, bukan karena kehilangan kenyamanan. Gereja masa kini harus kembali memiliki hati yang lembut di hadapan Tuhan. -
Bersandarlah pada kasih setia Allah, bukan pada kesalehan diri.
Seperti Daud, kita hanya dapat berharap pada hesed—kasih perjanjian Allah yang kekal. -
Pujilah Tuhan selagi hidup.
Tujuan hidup bukan sekadar selamat dari penderitaan, tetapi hidup untuk memuliakan Allah di tengah dunia yang gelap.
Kesimpulan
Mazmur 6:1–7 adalah jeritan seorang yang ditundukkan oleh anugerah. Daud yang dahulu kuat kini berlutut, bukan karena kalah, tetapi karena disadarkan akan dosanya dan ditarik kembali ke dalam pelukan kasih Allah.
Tuhan yang sama yang menegur dalam murka juga adalah Tuhan yang memulihkan dalam kasih. Ketika kita berseru seperti Daud—“Kasihanilah aku, ya Tuhan”—kita akan menemukan bahwa di balik setiap air mata, ada tangan Bapa yang menampungnya dengan lembut.
Charles Spurgeon menutup renungannya atas Mazmur 6 dengan kalimat indah ini:
“Di balik awan murka Allah, kasih karunia tetap bersinar. Orang yang menangis di kaki Tuhan akan menemukan bahwa air matanya menjadi benih sukacita yang kekal.”
Kiranya gereja Tuhan belajar untuk menangis di hadapan Allah, agar dapat bersukacita dalam pengampunan-Nya.