Pemberitaan Firman Tuhan yang Hidup

Pemberitaan Firman Tuhan yang Hidup

Pendahuluan: Panggilan Kudus untuk Berkhotbah

“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” (2 Timotius 4:2)

Di dalam kata-kata yang penuh kuasa dari Rasul Paulus ini, kita menemukan inti dari panggilan seorang hamba Tuhan: memberitakan firman. Bukan ide manusia, bukan opini pribadi, bukan retorika kosong, melainkan Firman Allah yang hidup dan kekal. Di sinilah seluruh seni dan teologi khotbah (homiletika) berakar — bukan pada keahlian bicara, melainkan pada ketaatan terhadap otoritas wahyu Allah.

Tema kita hari ini, “Thoughts on Preaching: Being Contributions to Homiletics”, mengajak kita untuk merenungkan bukan hanya seni berkhotbah, tetapi spiritualitas dan teologi pemberitaan firman Tuhan. Apa artinya menjadi seorang pemberita Injil sejati menurut pandangan Alkitab dan para teolog Reformed?

I. Khotbah Sebagai Instrumen Allah: Firman yang Menghidupkan

1. Firman sebagai sarana utama kasih karunia

Dalam teologi Reformed, khotbah bukan sekadar komunikasi, melainkan means of grace — sarana kasih karunia yang dipakai Roh Kudus untuk melahirbarukan, menguduskan, dan menguatkan umat Allah.

John Calvin berkata:

“Ketika Injil diberitakan, itu bukan hanya suara manusia yang terdengar, melainkan Allah sendiri berbicara melalui hamba-Nya.” (Institutes IV.1.5)

Khotbah bukanlah produk manusia. Itu adalah alat di tangan Allah untuk menanamkan kehidupan rohani ke dalam hati manusia yang mati karena dosa. Seorang pengkhotbah bukanlah orator, melainkan saksi dan utusan Allah yang membawa kabar hidup.

Spurgeon pernah menegaskan,

“Khotbah sejati adalah ketika firman Allah yang tertulis menjadi firman yang hidup, menyentuh hati pendengarnya, membangkitkan iman, dan menundukkan dosa.”

Dalam kerangka ini, pengkhotbah tidak boleh mengandalkan kefasihan lidah, daya tarik emosi, atau gaya yang populer. Ia harus mengandalkan kuasa firman itu sendiri.

2. Otoritas khotbah bersumber dari wahyu Allah

Theologi Reformed menolak ide bahwa khotbah hanya sekadar refleksi manusia tentang agama. Khotbah adalah proclamation, bukan speculation. B.B. Warfield menulis:

“Khotbah Kristen berdiri di atas dasar wahyu ilahi yang objektif; tanpa itu, semua yang kita katakan hanyalah pandangan manusia yang fana.”

Maka setiap pengkhotbah harus hidup di bawah otoritas Kitab Suci. Ia tidak meminjam kuasa dari dirinya, melainkan dari Allah yang berfirman.

Rasul Paulus mengingatkan:

“Kami tidak memberitakan diri kami sendiri, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan kami sebagai hambamu karena Yesus.” (2 Korintus 4:5)

II. Hati Seorang Pengkhotbah: Panggilan yang Kudus

1. Pemberitaan yang lahir dari hati yang dikuduskan

Khotbah yang sejati tidak dapat lahir dari hati yang dingin. John Owen menulis:

“Tidak ada firman yang akan turun ke hati jemaat kecuali firman itu terlebih dahulu membakar hati pengkhotbahnya.”

Itulah sebabnya, sebelum berkhotbah, seorang hamba Tuhan harus menjadi pendengar Injil terlebih dahulu. Ia harus menaklukkan dirinya di bawah firman yang sama yang akan diberitakannya.

Di dalam Thoughts on Preaching, Spurgeon menasihati:

“Engkau tidak dapat menyalakan api di hati orang lain, bila engkau sendiri tidak terbakar.”

Pengkhotbah Reformed sejati sadar bahwa panggilannya bukan pekerjaan duniawi, melainkan pelayanan surgawi. Ia diutus bukan untuk menyenangkan manusia, melainkan untuk menegakkan kebenaran Allah di tengah dunia yang menolak otoritas firman.

2. Kesetiaan lebih penting dari popularitas

Zaman modern menuntut khotbah yang “menghibur” dan “relevan”. Namun Alkitab mengingatkan bahwa panggilan utama seorang pengkhotbah adalah kesetiaan, bukan popularitas.

Paulus berkata kepada Timotius:

“Akan datang waktunya orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan telinganya.” (2 Timotius 4:3)

Kesetiaan pada kebenaran akan membuat pengkhotbah terkadang tidak populer. Namun Allah tidak memanggil hamba-Nya untuk disukai dunia, melainkan untuk menjadi saksi kebenaran.

Seperti dikatakan Martin Luther:

“Kebenaran tidak pernah menjadi populer. Tetapi tanpa kebenaran, tidak ada khotbah yang sejati.”

III. Isi Khotbah: Kristus yang Disalibkan

1. Pusat khotbah Reformed adalah Kristus

Homiletika Reformed menempatkan Kristus sebagai pusat semua pemberitaan. Setiap teks Alkitab, dari Kejadian hingga Wahyu, menemukan puncaknya di dalam Kristus.

John Calvin berkata:

“Seluruh Kitab Suci diarahkan kepada Kristus; siapa pun yang berpaling dari Kristus di dalam khotbahnya, telah kehilangan arah wahyu Allah.”

Spurgeon juga menegaskan:

“Tidak ada khotbah Injil tanpa salib. Jika engkau tidak membawa pendengarmu kepada Kristus yang tersalib, engkau belum berkhotbah.”

Karena itu, pengkhotbah harus berani menyingkapkan dosa, menunjukkan kebutuhan akan penebusan, dan memuliakan karya Kristus di kayu salib sebagai satu-satunya pengharapan manusia.

2. Khotbah yang mengarahkan pada pertobatan

Tujuan akhir khotbah bukan hanya pengetahuan, tetapi transformasi. Roh Kudus memakai khotbah untuk membawa manusia pada pertobatan yang sejati.

John Murray menulis:

“Khotbah yang sejati tidak hanya menyampaikan doktrin yang benar, tetapi mengarah pada kesalehan yang sejati — perubahan hati dan hidup yang sesuai dengan Injil.”

Oleh karena itu, khotbah harus bersifat konfrontatif terhadap dosa, tetapi juga penuh kasih, mengarahkan manusia kepada kasih karunia Kristus.

IV. Kuasa Roh Kudus dalam Pemberitaan Firman

1. Roh Kudus sebagai pemberi kehidupan dalam khotbah

Tanpa Roh Kudus, khotbah hanya suara manusia. Tetapi ketika Roh bekerja, firman itu menembus hati dan membangkitkan kehidupan rohani.

Calvin menulis:

“Firman Allah tanpa Roh adalah huruf mati; tetapi Roh bekerja melalui firman itu untuk menyalakan iman.”

Oleh sebab itu, pengkhotbah harus berdoa agar setiap kata yang disampaikannya disertai kuasa ilahi. Spurgeon berkata,

“Saya lebih takut berkhotbah tanpa Roh Kudus daripada menghadapi ribuan musuh.”

2. Hasil khotbah bukan di tangan manusia

Tugas pengkhotbah adalah menabur; Allah yang memberi pertumbuhan (1 Korintus 3:6). Kadang-kadang kita tidak melihat hasil segera, tetapi Allah bekerja di dalam hati manusia melalui firman-Nya.

Seperti dikatakan B.B. Warfield:

“Keberhasilan khotbah bukan diukur dari banyaknya respon, tetapi dari kesetiaan terhadap Injil.”

V. Khotbah dan Gereja: Sarana Pertumbuhan Umat Allah

1. Khotbah membangun tubuh Kristus

Efesus 4:11–12 mengajarkan bahwa pemberitaan firman adalah sarana Allah untuk membangun jemaat menjadi dewasa dalam iman. Gereja tanpa pemberitaan firman yang murni akan kehilangan arah rohaninya.

Calvin menulis:

“Gereja berdiri atau jatuh bersama pemberitaan firman.” (Institutes IV.1.9)

Karena itu, tugas utama gereja bukanlah menghibur dunia, melainkan memelihara umat Allah melalui pemberitaan firman dan sakramen.

2. Khotbah menuntun umat kepada kesalehan praktis

Homiletika Reformed tidak berhenti pada pengajaran doktrin, tetapi menuntun pada kehidupan kudus. Khotbah yang sehat harus menghubungkan doktrin dengan kehidupan nyata — antara pengakuan iman dan ketaatan sehari-hari.

John Owen menulis:

“Khotbah tanpa aplikasi hanyalah awan tanpa hujan.”

Khotbah harus menuntun umat untuk mengasihi Allah, mengasihi sesama, dan hidup dalam pengudusan setiap hari.

VI. Tantangan Zaman dan Panggilan untuk Setia

1. Bahaya khotbah yang dangkal

Zaman modern dipenuhi dengan pemberitaan yang dangkal — yang berfokus pada motivasi, keberhasilan, atau hiburan, bukan pada salib dan anugerah.

Namun gereja Reformed harus menolak gelombang ini. Seperti peringatan Paulus,

“Akan datang waktunya orang tidak tahan lagi mendengar ajaran yang sehat.” (2 Timotius 4:3)

Kita hidup di waktu itu sekarang. Banyak mimbar dipenuhi suara manusia, bukan suara Allah. Karena itu, kita dipanggil untuk kembali kepada prinsip: Sola Scriptura — hanya firman yang menjadi dasar khotbah.

2. Kembali kepada model khotbah Alkitabiah

Model khotbah Reformed adalah ekspositori — menggali teks Kitab Suci, menjelaskan maknanya, dan menerapkannya secara rohani. Ini bukan sekadar metode, tetapi bentuk ketaatan terhadap otoritas wahyu.

Spurgeon pernah berkata:

“Biarkan firman berbicara sendiri. Jika engkau memberikan firman, engkau memberikan makanan bagi jiwa; jika engkau memberikan dirimu, engkau hanya memberi batu.”

VII. Kesimpulan: Khotbah yang Memuliakan Allah

Khotbah sejati bukan tentang pengkhotbah, melainkan tentang Allah. Tujuannya bukan agar manusia kagum pada gaya bicara, tetapi agar mereka menyembah Tuhan yang hidup.

Rasul Paulus berkata,

“Karena segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dia: bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 11:36)

Itulah teologi sejati dari homiletika Reformed: setiap khotbah harus berawal dari Allah, bersandar kepada Allah, dan berakhir untuk kemuliaan Allah.

Next Post Previous Post