Keluaran 1:15–22 Takut Akan Allah di Tengah Penindasan

Keluaran 1:15–22 Takut Akan Allah di Tengah Penindasan

Pendahuluan

Bagian Keluaran 1:15–22 mengisahkan peristiwa penting yang terjadi di Mesir pada masa awal perbudakan Israel. Ketika bangsa itu semakin bertambah banyak, Firaun yang merasa terancam berusaha menekan mereka dengan perintah yang kejam—membunuh semua bayi laki-laki orang Ibrani. Namun, di tengah kejahatan yang mengerikan ini, dua perempuan bidan, Sifra dan Pua, berdiri dengan berani melawan titah raja karena mereka takut akan Allah.

Kisah ini bukan sekadar laporan sejarah, melainkan cerminan dari prinsip ilahi yang berlaku sepanjang zaman: bahwa umat Allah harus lebih takut kepada Allah daripada kepada manusia. Di tengah dunia yang menekan iman, kisah ini menjadi seruan bagi gereja untuk hidup dalam ketaatan yang kudus, sekalipun harus melawan arus dan menghadapi risiko besar.

I. Latar Belakang Historis: Kejahatan yang Diinstitusionalisasi

Keluaran 1:15–16 memperkenalkan dua tokoh: Sifra dan Pua, bidan orang Ibrani yang menerima perintah langsung dari Firaun untuk membunuh setiap anak laki-laki yang lahir. Di sini kita melihat strategi iblis melalui kekuasaan duniawi untuk menghancurkan benih janji Allah.

Sejak awal kitab Kejadian, janji penebusan telah diberikan melalui keturunan perempuan (Kejadian 3:15). Maka serangan terhadap bayi-bayi laki-laki Ibrani bukan sekadar politik populasi, tetapi usaha untuk menggagalkan rencana penebusan Allah.

John Calvin dalam komentarnya menulis:

“Setiap kali iblis gagal melalui cara yang lembut, ia akan beralih kepada kekerasan. Namun, semua usahanya akan sia-sia karena Allah telah menetapkan janji-Nya, dan tidak ada kekuatan dunia yang dapat menentang kehendak ilahi.”

Firaun di sini menjadi simbol kekuasaan dunia yang menolak Allah. Ia tidak hanya menindas secara sosial, tetapi juga berusaha mengontrol hidup dan mati umat Allah. Ini adalah bentuk pemberontakan melawan kedaulatan Allah atas kehidupan manusia.

II. Ketakutan yang Kudus: Sifat Iman yang Mengatasi Ketakutan Dunia

Keluaran 1:17 mengatakan, “Tetapi bidan-bidan itu takut akan Allah, dan tidak berbuat seperti yang dikatakan raja Mesir kepada mereka, melainkan membiarkan hidup anak-anak laki-laki itu.”

Kata “takut akan Allah” (יִרְאָה yir’ah) bukan berarti ketakutan pasif, melainkan rasa hormat yang mendalam dan ketaatan kepada otoritas Allah di atas otoritas manusia.

Matthew Henry menulis:

“Ketika perintah manusia berlawanan dengan perintah Allah, maka kewajiban orang percaya adalah menolak perintah manusia dan menuruti suara Allah, apa pun akibatnya.”

Bidan-bidan itu tidak memberontak dengan kekerasan, tetapi taat dengan kebijaksanaan. Mereka tidak melakukan kekerasan, melainkan memilih untuk tidak menaati perintah yang melawan hukum Allah. Ini adalah contoh nyata dari prinsip dalam Kisah Para Rasul 5:29, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.”

R.C. Sproul menjelaskan bahwa “takut akan Allah” adalah inti dari ketaatan Kristen. Takut akan Allah bukanlah emosi negatif, tetapi kesadaran mendalam bahwa Allah adalah Tuhan yang kudus, yang harus dihormati lebih dari siapa pun.

Dalam konteks modern, banyak orang Kristen yang menghadapi tekanan moral dan sosial untuk tunduk pada nilai-nilai dunia. Namun kisah Sifra dan Pua mengajarkan bahwa iman sejati tidak dikompromikan oleh ketakutan terhadap manusia.

III. Keberanian yang Lahir dari Iman: Ketaatan di Tengah Risiko

Bidan-bidan itu tahu risiko yang mereka hadapi. Perintah Firaun bukan sekadar instruksi administratif; itu adalah titah raja yang bila dilanggar berarti hukuman mati. Namun mereka tetap memilih untuk taat kepada Allah.

John Gill menulis:

“Keberanian mereka bukanlah hasil dari keberanian alamiah, melainkan pekerjaan rahmat Allah yang menanamkan rasa takut yang benar di dalam hati mereka.”

Ketika mereka kemudian ditanyai oleh Firaun mengapa mereka tidak menaati perintahnya, mereka menjawab bahwa perempuan Ibrani lebih kuat dan melahirkan sebelum bidan datang (Keluaran 1:19). Ada perdebatan di antara para penafsir apakah jawaban ini merupakan kebohongan atau tidak.

Calvin menegaskan bahwa meskipun jawaban mereka tidak sepenuhnya jujur, Allah tetap berkenan atas iman dan niat mereka yang tulus untuk menyelamatkan hidup. Ia menulis:

“Tuhan memandang kepada hati, bukan hanya kepada perkataan. Walau mereka tidak sempurna, iman mereka dihitung sebagai kebenaran di hadapan-Nya.”

Ini menunjukkan bahwa dalam situasi ekstrem, ketaatan yang tulus kepada Allah lebih berharga daripada ketaatan buta kepada sistem manusia yang jahat.

Dalam konteks gereja, ini menjadi panggilan untuk berani bersaksi tentang kebenaran, meskipun itu berarti menghadapi penganiayaan, kehilangan jabatan, atau bahkan nyawa. Sejarah gereja penuh dengan contoh orang-orang yang menolak tunduk pada penguasa dunia karena takut akan Allah—dari para rasul, para martir Reformasi, hingga gereja yang tertindas saat ini.

IV. Berkat dari Ketaatan: Allah Memberi Upah kepada Orang yang Takut Akan Dia

Keluaran 1:20–21 menyatakan, “Maka Allah berbuat baik kepada bidan-bidan itu, bertambah-tambahlah bangsa itu dan sangat berlipat ganda jumlahnya. Karena bidan-bidan itu takut akan Allah, maka Ia membuat mereka mempunyai keturunan.”

Ketaatan mereka membawa dua hasil besar:

  1. Bangsa Israel semakin bertambah banyak.
    Ini menunjukkan bahwa rencana Allah tidak dapat dihentikan oleh kekuatan dunia. Apa yang dimaksudkan manusia untuk kejahatan, Allah ubah menjadi kebaikan (Kejadian 50:20).

  2. Allah memberkati bidan-bidan itu secara pribadi.
    Mereka tidak kehilangan hidup, melainkan diberi keturunan—simbol berkat dan kasih karunia dalam konteks Israel kuno.

R.C. Sproul menjelaskan bahwa ini adalah bukti providensia Allah. Ia memelihara umat-Nya bukan hanya secara rohani, tetapi juga secara jasmani, melalui orang-orang yang berani menegakkan kebenaran.

Matthew Henry menambahkan:

“Tidak ada yang kehilangan apa pun karena takut akan Allah. Barang siapa menghormati Dia di atas segalanya, akan menemukan bahwa kasih karunia-Nya cukup untuk menanggung segala risiko.”

Dalam gereja masa kini, hal ini mengingatkan bahwa ketaatan kepada Allah tidak akan sia-sia. Tuhan mungkin tidak selalu memberi upah secara langsung di dunia ini, tetapi Ia pasti memperhitungkannya di surga.

V. Eskalasi Kejahatan: Firaun Memerintahkan Pembunuhan Terbuka (Keluaran 1:22)

Kisah ditutup dengan tindakan kejam Firaun:

“Lalu Firaun memberi perintah kepada seluruh rakyatnya: ‘Setiap anak laki-laki yang lahir pada orang Ibrani haruslah kamu lemparkan ke dalam Sungai Nil, tetapi setiap anak perempuan haruslah kamu biarkan hidup.’”

Ketika rencana rahasia gagal, Firaun meningkatkan penindasannya menjadi kebijakan publik. Ini menggambarkan bagaimana dosa yang tidak terkendali akan berkembang menjadi kejahatan sosial yang dilembagakan.

John Calvin mengamati bahwa “semakin besar rencana manusia untuk menentang Allah, semakin nyata pula kuasa Allah untuk menggenapi rencana-Nya.”

Sungguh luar biasa bahwa dari tengah kejahatan ini, lahirlah Musa—alat yang akan dipakai Allah untuk membebaskan umat-Nya. Rencana keselamatan Allah tidak bisa digagalkan oleh manusia, bahkan oleh kekuatan yang paling besar sekalipun.

Ini menegaskan prinsip Reformed yang penting: Kedaulatan Allah atas sejarah.
Apa pun yang manusia lakukan, baik melalui kejahatan atau kekuasaan yang lalim, semuanya tetap berada di bawah kendali Allah yang berdaulat. Tidak ada Firaun, tidak ada penguasa dunia, tidak ada sistem jahat yang dapat menghentikan kemajuan kerajaan Allah.

VI. Aplikasi bagi Gereja Masa Kini

  1. Takut akan Allah adalah dasar kehidupan Kristen sejati.
    Banyak orang Kristen kehilangan ketajaman iman karena lebih takut pada opini manusia, kehilangan pekerjaan, atau pengaruh sosial. Namun, gereja harus kembali menumbuhkan ketakutan yang kudus kepada Allah.

  2. Ketaatan sejati sering kali berarti menentang sistem dunia.
    Di tengah dunia yang menormalisasi dosa, gereja dipanggil untuk tetap setia pada firman Tuhan. Seperti bidan-bidan itu, kita harus berani berkata “tidak” kepada kejahatan, bahkan jika dunia menekan kita untuk tunduk.

  3. Allah berdaulat atas sejarah dan pemeliharaan umat-Nya.
    Sekalipun tampak bahwa kuasa jahat menang, tangan Allah tetap bekerja. Dari tengah penderitaan umat Israel, Allah menyiapkan Musa. Demikian pula, di tengah tekanan gereja masa kini, Allah sedang mempersiapkan kebangunan rohani yang baru.

  4. Berkat Allah diberikan kepada mereka yang takut akan Dia.
    Takut akan Allah bukan hanya sikap moral, tetapi fondasi berkat rohani. Seperti bidan-bidan itu, orang percaya akan mengalami bahwa kasih karunia Allah cukup untuk menopang dan memelihara mereka.

VII. Kesimpulan: Takut Akan Allah Lebih dari Manusia

Keluaran 1:15–22 bukan sekadar kisah dua perempuan yang berani, melainkan kesaksian tentang kuasa Allah yang bekerja melalui orang kecil untuk menegakkan kehendak-Nya.

Dua bidan sederhana menjadi alat pemeliharaan Allah bagi bangsa pilihan-Nya. Mereka tidak memimpin tentara, tidak berkhotbah di hadapan massa, tetapi melalui ketakutan yang kudus dan ketaatan mereka, Allah menegakkan rencana penebusan yang akan berujung pada kelahiran Kristus—Penebus sejati umat-Nya.

R.C. Sproul menutup pemikiran ini dengan kalimat yang menggugah:

“Takut akan Allah adalah awal dari kebijaksanaan, tetapi juga keberanian sejati. Sebab siapa yang takut akan Allah, tidak akan takut kepada siapa pun lagi.”

Kiranya kisah ini menguatkan gereja untuk tetap berdiri teguh di tengah tekanan dunia, mengingat bahwa ketaatan kepada Allah jauh lebih berharga daripada persetujuan manusia.

Next Post Previous Post