Pikiran tentang Penginjilan dan Seni Berkhotbah
.jpg)
Pendahuluan: Khotbah sebagai Instrumen Ilahi untuk Kebangunan Rohani
Salah satu anugerah terbesar yang Tuhan berikan kepada Gereja-Nya adalah pelayanan Firman yang hidup melalui pemberitaan Injil. Sejak zaman para nabi, Allah berbicara kepada umat-Nya melalui manusia yang dipanggil dan diurapi-Nya untuk menyampaikan firman yang tidak berasal dari hikmat manusia, tetapi dari Roh Kudus. Dalam zaman Perjanjian Baru, Yesus Kristus sendiri adalah pengkhotbah ilahi yang sejati — Dia bukan hanya menyampaikan Firman, tetapi adalah Firman yang menjadi manusia (Yohanes 1:14).
Khotbah bukanlah seni persuasi manusia, melainkan alat penebusan yang dipakai Allah untuk melahirkan, menguatkan, dan menguduskan umat-Nya. Sebagaimana Rasul Paulus berkata, “Karena dunia, oleh hikmatnya, tidak mengenal Allah dalam hikmat-Nya, maka Allah berkenan menyelamatkan orang-orang yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil” (1 Korintus 1:21).
Khotbah yang sejati adalah manifestasi dari kemuliaan Kristus di dalam hati manusia. Khotbah yang sejati menggetarkan hati, menundukkan kehendak, menuntun kepada pertobatan, dan meneguhkan iman. Seperti yang ditulis Gardiner Spring dalam Thoughts on Preaching, pemberitaan firman bukan sekadar seni berbicara, melainkan pengutusan surgawi yang kudus untuk membangkitkan kehidupan rohani di tengah kematian dosa.
I. Sumber dan Dasar Pemberitaan Firman
1. Allah Sebagai Sumber Wahyu
Dalam teologi Reformed, khotbah yang benar harus berakar pada wahyu Allah yang tertulis di dalam Alkitab. Seorang pengkhotbah tidak berbicara dari pikirannya sendiri, tetapi sebagai penyambung lidah Allah kepada umat-Nya. John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menulis bahwa “Ketika Firman Allah dikhotbahkan, Allah sendiri berbicara kepada kita melalui mulut manusia.” Ini berarti bahwa khotbah yang sejati memiliki otoritas bukan karena gaya bicara pengkhotbah, melainkan karena kebenaran Firman yang dikhotbahkan.
Warfield menegaskan bahwa Alkitab adalah wahyu proposisional dari Allah — kebenaran yang diilhamkan secara verbal oleh Roh Kudus. Maka, tugas pengkhotbah bukanlah menciptakan pesan baru, tetapi menyingkapkan kebenaran yang sudah diwahyukan dengan kesetiaan dan kuasa.
2. Kristus Sebagai Inti Khotbah
Khotbah yang sejati selalu berpusat pada Kristus. Seperti yang dikatakan Charles Haddon Spurgeon:
“Dari setiap teks dalam Alkitab, ada jalan menuju Kristus; dan tugas pengkhotbah adalah menemukan jalan itu dan berjalan di atasnya.”
Khotbah yang tidak membawa jemaat kepada Kristus hanyalah moralitas kering. Paulus berkata, “Kami memberitakan Kristus yang disalibkan” (1 Korintus 1:23). Di sinilah letak kuasa Injil: bukan pada cerita manusia, tetapi pada karya penebusan Yesus yang mengubah hati.
3. Roh Kudus Sebagai Pemberi Kuasa
Roh Kudus adalah agen ilahi yang menjadikan khotbah itu efektif. Tanpa karya Roh Kudus, kata-kata pengkhotbah hanyalah suara di udara. Namun ketika Roh bekerja, kata-kata itu menjadi pedang Roh yang menembus hati manusia (Efesus 6:17).
John Owen menulis, “Pemberitaan Firman tanpa kuasa Roh adalah tubuh tanpa jiwa — ia mungkin memiliki bentuk, tetapi tidak memiliki kehidupan.”
II. Hakikat Panggilan dan Kehidupan Seorang Pengkhotbah
1. Panggilan Ilahi, Bukan Ambisi Duniawi
Panggilan menjadi pengkhotbah bukanlah karier, melainkan penugasan surgawi. Seorang pengkhotbah sejati tidak memilih jabatan ini demi kehormatan atau penghidupan, tetapi karena ia telah dipanggil dan ditetapkan oleh Allah. Paulus berkata kepada Timotius, “Beritakanlah firman, siap sedialah, baik atau tidak baik waktunya” (2 Timotius 4:2).
Menurut Martin Luther, khotbah adalah “pekerjaan yang paling mulia, tetapi juga paling berbahaya.” Ia mulia karena mengemban Firman Allah, dan berbahaya karena siapa pun yang berdiri di mimbar tanpa panggilan ilahi sedang menanggung tanggung jawab yang mengerikan di hadapan Allah yang kudus.
2. Karakter Seorang Pengkhotbah
John Stott dalam Between Two Worlds menekankan bahwa seorang pengkhotbah berdiri di antara dua dunia: dunia Allah dan dunia manusia. Ia harus mengenal Allah melalui doa dan firman, tetapi juga mengenal manusia melalui kasih pastoral. Ia bukan hanya pengajar kebenaran, tetapi juga pelayan jiwa.
Seorang pengkhotbah Reformed harus memiliki:
-
Kehidupan doa yang mendalam, karena doa adalah napas pelayan firman.
-
Integritas moral, sebab khotbah tanpa karakter adalah kemunafikan.
-
Kasih kepada jemaat, karena tanpa kasih, pelayanan menjadi dingin dan mekanis.
Richard Baxter dalam The Reformed Pastor menulis, “Ambillah hati manusia di tanganmu, dan bentuklah dengan Firman Allah, tetapi jangan pernah melakukannya tanpa air mata.” Pengkhotbah sejati menangis bagi jiwa yang binasa dan bersukacita atas pertobatan satu orang berdosa.
III. Tujuan Pemberitaan Firman: Membangun Tubuh Kristus
1. Mengajarkan Doktrin yang Sehat
Salah satu ciri khas teologi Reformed adalah penekanan pada doktrin yang sehat (1 Timotius 4:6). Khotbah harus bersifat didaktik, yakni mengajar kebenaran dengan sistematis dan Alkitabiah. Tujuannya bukan hanya untuk menyentuh emosi, tetapi untuk membentuk pemikiran yang benar tentang Allah, manusia, dan keselamatan.
Calvin berkata, “Tanpa doktrin yang benar, tidak ada kehidupan rohani yang sejati.” Maka khotbah bukan sekadar motivasi, tetapi pembentukan pikiran dan hati di bawah terang kebenaran Injil.
2. Menuntun kepada Pertobatan dan Kekudusan
Khotbah yang sejati selalu membawa jemaat kepada pertobatan dan pembaruan hidup. Ia memotong hati seperti pedang tajam (Ibrani 4:12). Jonathan Edwards menulis bahwa khotbah sejati “menembus hati manusia dengan kebenaran tentang dosa dan kemuliaan Kristus, sehingga jiwa tidak dapat tinggal dalam keadaan netral.”
Reformed theology mengajarkan bahwa keselamatan menghasilkan buah: iman yang sejati pasti disertai ketaatan. Maka khotbah bukan hanya informasi, tetapi transformasi — mengubah pendengar menjadi pelaku Firman (Yakobus 1:22).
3. Menghibur yang Terluka dan Menguatkan yang Lemah
Khotbah juga harus menjadi sumber penghiburan. Injil bukan hanya palu yang menghancurkan dosa, tetapi juga balsam yang menyembuhkan luka hati.
Thomas Watson berkata, “Khotbah yang tidak memberi penghiburan kepada yang berduka bukanlah Injil, melainkan hukum tanpa kasih karunia.”
Pemberitaan firman harus menampilkan keseimbangan antara kebenaran dan kasih karunia. Di satu sisi, khotbah menyingkapkan murka Allah terhadap dosa; di sisi lain, ia menyingkapkan kelembutan Kristus bagi orang yang remuk hati.
IV. Prinsip Homiletika Reformed: Seni Berkhotbah yang Kudus
1. Eksposisi Ayat, Bukan Opini
Dalam tradisi Reformed, khotbah ekspositori dianggap sebagai bentuk tertinggi pemberitaan firman. Khotbah ekspositori berarti menafsirkan dan menerapkan teks Kitab Suci dengan kesetiaan konteks dan makna aslinya.
Charles Simeon menyatakan, “Tugas pengkhotbah bukanlah menaruh pikirannya ke dalam teks, tetapi mengeluarkan makna teks keluar ke dalam kehidupan jemaat.”
Setiap khotbah harus menjawab tiga pertanyaan:
-
Apa yang dikatakan teks ini? (eksposisi)
-
Apa maksud Allah melalui teks ini? (teologi)
-
Bagaimana kebenaran ini diterapkan bagi kita sekarang? (aplikasi pastoral)
2. Kuasa dari Mimbar yang Kudus
John Owen menulis bahwa pengkhotbah harus berkhotbah “seperti orang yang akan mati kepada orang-orang yang akan mati.”
Spurgeon menambahkan, “Orang yang berkhotbah tanpa api di hatinya tidak akan menyalakan api di hati orang lain.”
Mimbar bukan tempat untuk retorika kosong, melainkan altar di mana jiwa dipersembahkan kepada Allah. Karena itu, setiap khotbah harus lahir dari pergumulan dalam doa, bukan dari sekadar studi intelektual.
3. Kesadaran Eschatologis
Khotbah Reformed selalu memiliki pandangan kekekalan. Pengkhotbah sejati sadar bahwa ia sedang mempersiapkan umat Allah bagi penghakiman dan kemuliaan. Ia tidak mencari tepuk tangan manusia, tetapi persetujuan Kristus. Sebagaimana Paulus berkata, “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil!” (1 Korintus 9:16).
V. Hasil Khotbah Sejati: Kebangunan Rohani yang Kudus
Khotbah sejati menghasilkan kehidupan yang diubahkan. Ketika Firman diberitakan dalam kuasa Roh Kudus, terjadi:
-
Pertobatan yang tulus (Kisah Para Rasul 2:37),
-
Kasih kepada Kristus yang bertumbuh (Filipi 3:8),
-
Kesatuan tubuh Kristus (Efesus 4:12-13),
-
dan kebangunan rohani yang sejati, bukan emosi sementara.
Di masa kebangunan rohani di Skotlandia dan Amerika, para pengkhotbah Reformed seperti Jonathan Edwards, George Whitefield, dan Thomas Boston menyaksikan bagaimana Firman yang sederhana tetapi penuh kuasa mengguncang hati bangsa. Tidak ada yang spektakuler, hanya pemberitaan Kristus yang disalibkan dengan kuasa Roh Kudus — dan ribuan bertobat.
Penutup: Kembali kepada Mimbar yang Kudus
Gereja modern sering tergoda untuk mengganti khotbah dengan hiburan, psikologi, atau motivasi. Namun Allah tetap berkenan memakai “kebodohan pemberitaan Injil” untuk menyelamatkan yang percaya.
Calvin menulis, “Mimbar adalah takhta Allah di mana Dia memerintah umat-Nya dengan Firman-Nya.”
Maka panggilan bagi setiap pengkhotbah dan jemaat hari ini adalah kembali kepada khotbah yang berpusat pada Firman, Kristus, dan kuasa Roh Kudus. Khotbah bukan sekadar bagian dari ibadah; khotbah adalah jantung ibadah — saat di mana Allah berbicara dan umat mendengar-Nya.
Aplikasi Praktis bagi Jemaat
-
Hargailah pemberitaan Firman sebagai sarana utama anugerah Allah dalam kehidupan rohani.
-
Berdoalah bagi pengkhotbah, agar ia setia dan kudus dalam pelayanan firman.
-
Dengarkan Firman dengan hati yang siap diubah, bukan hanya pikiran yang ingin tahu.
-
Jadilah pelaku Firman, karena iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:17).
-
Sebarkan Injil dengan kehidupanmu, sebab setiap orang percaya adalah saksi Kristus.