Kehidupan Allah dalam Jiwa Manusia

Pendahuluan: Makna Hidup Ilahi di Dalam Manusia
Istilah “The Life of God in the Soul of Man” pertama kali dipopulerkan oleh Henry Scougal (1650–1678), seorang teolog Reformed Skotlandia yang menulis buku klasik dengan judul yang sama. Dalam buku itu, Scougal mendefinisikan kekristenan sejati bukan sebagai ritual atau moralitas eksternal, melainkan “hidup Allah yang tertanam dalam jiwa manusia.”
Gagasan ini mengguncang tokoh-tokoh seperti George Whitefield dan John Wesley, yang mengaku bahwa buku Scougal menuntun mereka kepada kelahiran baru yang sejati.
Konsep ini kemudian menjadi inti dari teologi Reformed mengenai regenerasi, persatuan dengan Kristus, dan pembaruan batin oleh Roh Kudus.
Ayat Efesus 3:16–19 menjadi teks yang paling indah untuk menjelaskan realitas itu — bahwa hidup Kristen sejati bukan sekadar percaya kepada Kristus dari luar, tetapi Kristus hidup di dalam kita (Galatia 2:20), memampukan kita menikmati kepenuhan kasih Allah.
1. Latar Belakang dan Konteks Doa Paulus
Surat Efesus adalah surat yang sarat dengan tema kesatuan di dalam Kristus dan pembentukan manusia baru. Paulus menulisnya dari penjara, namun doanya bukan agar dirinya dibebaskan, melainkan agar jemaat Efesus dikuatkan secara rohani untuk mengalami kehadiran Allah yang hidup di dalam diri mereka.
Efesus 3:16–19 merupakan puncak doa rohani Paulus. Ia tidak berdoa untuk berkat jasmani, tetapi untuk pengalaman rohani yang mendalam — agar jemaat hidup dengan “kehidupan Allah dalam jiwa mereka.”
Doa ini menunjukkan tiga lapisan realitas rohani:
-
Kekuatan batin oleh Roh Kudus (ayat 16)
-
Kristus tinggal dalam hati melalui iman (ayat 17)
-
Kepenuhan kasih dan kehadiran Allah (ayat 18–19)
Inilah progresi ilahi dari pengudusan batin menuju kepenuhan ilahi.
2. Eksposisi Efesus 3:16–19
Efesus 3:16 – “Kekuatan di dalam batin oleh Roh Kudus”
“Aku berdoa supaya ... Ia berkenan mengaruniakan kepadamu kekuatan di dalam batinmu, dengan kuasa melalui Roh-Nya.”
Paulus tidak berdoa agar jemaat memiliki kekuatan fisik, tetapi kekuatan rohani di dalam manusia batiniah (ho esō anthrōpos).
Dalam teologi Reformed, ini menunjuk pada manusia yang telah diperbarui oleh Roh Kudus — manusia baru yang diciptakan menurut gambar Kristus (Efesus 4:24).
John Calvin menulis:
“Paulus berdoa bukan untuk tubuh, tetapi untuk jiwa; sebab kehidupan rohani hanya dapat dipelihara oleh kekuatan Roh Kudus di dalam batin manusia.”
R.C. Sproul menambahkan bahwa kekuatan batin ini adalah kemampuan untuk tetap setia dalam iman di tengah penderitaan:
“Roh Kudus memperkuat hati orang percaya bukan agar mereka melarikan diri dari dunia, tetapi agar mereka bertahan di dalamnya.”
Artinya, kehidupan Allah dalam jiwa manusia dimulai dengan karya Roh Kudus yang memberi kekuatan untuk percaya, bertahan, dan mengasihi.
Efesus 3:17 – “Kristus tinggal di dalam hatimu melalui iman”
“... sehingga Kristus berkenan tinggal di dalam hatimu melalui iman sehingga kamu berakar dan berdasar dalam kasih.”
Ungkapan “Kristus tinggal di dalam hati” menggambarkan persatuan mistis dan rohani antara Kristus dan orang percaya.
Ini bukan metafora puitis, tetapi realitas ontologis yang dikerjakan oleh Roh Kudus.
Dalam bahasa Yunani, kata “tinggal” adalah katoikēsai — berarti “menetap secara permanen,” bukan sekadar singgah.
Jadi, Paulus berdoa agar Kristus memerintah dan berdiam secara penuh dalam pusat eksistensi kita — hati.
John Owen (teolog Puritan Reformed) menulis:
“Ketika Kristus tinggal di hati melalui iman, bukan hanya pikiran kita yang diubah, tetapi seluruh afeksi kita diarahkan kepada-Nya. Inilah misteri keindahan iman yang hidup.”
Jonathan Edwards menambahkan bahwa kehidupan rohani sejati bukan hanya kesadaran akan Kristus, tetapi kehadiran-Nya yang real dalam kasih:
“Kasih sejati kepada Kristus adalah tanda bahwa kehidupan Allah telah menyalakan api di dalam jiwa manusia.”
Kata “berakar dan berdasar dalam kasih” menunjukkan stabilitas.
Akar dan dasar adalah dua metafora — dari dunia tumbuhan dan arsitektur — yang menunjukkan hidup rohani yang tertanam dan kokoh di dalam kasih Allah.
Efesus 3:18 – “Memahami kasih Kristus”
“... agar kamu bersama semua orang kudus dapat memahami betapa lebar, dan panjang, dan tinggi, dan dalamnya kasih Kristus.”
Paulus menggunakan empat dimensi — lebar, panjang, tinggi, dalam — untuk menggambarkan ketakterbatasan kasih Kristus.
Ini bukan ajakan untuk memetakan kasih secara intelektual, tetapi untuk mengalaminya secara komunitatif dan eksistensial.
John Stott menafsirkan dimensi ini sebagai simbol dari universalitas dan kedalaman kasih Kristus:
“Lebarnya — menjangkau seluruh dunia; panjangnya — kekal tanpa akhir; tingginya — meninggikan kita ke surga; dalamnya — turun ke kedalaman dosa dan penderitaan manusia.”
Herman Bavinck, dalam Reformed Dogmatics, menulis:
“Kasih Kristus adalah realitas trinitarian — kasih Bapa yang mengalir melalui Anak oleh Roh Kudus kepada manusia. Hanya orang yang bersatu dengan Kristus dapat mengenal dimensi kasih ini.”
Kasih ini bukan teori, melainkan pengalaman yang hanya mungkin jika jiwa manusia dipenuhi oleh kehidupan Allah sendiri.
Efesus 3:19 – “Dipenuhi dengan seluruh kepenuhan Allah”
“... dengan demikian, kamu dapat mengenal kasih Kristus yang melampaui pengetahuan sehingga kamu dipenuhi dengan seluruh kepenuhan Allah.”
Kalimat ini adalah klimaks doa Paulus.
Bagaimana mungkin manusia yang terbatas dipenuhi oleh “seluruh kepenuhan Allah”?
John Calvin menjawab:
“Bukan berarti kita menjadi Allah, tetapi bahwa Allah tinggal di dalam kita, mengisi kita dengan anugerah-Nya sehingga tidak ada ruang bagi hal-hal duniawi.”
Jonathan Edwards melihat ini sebagai puncak dari regenerasi:
“Roh Kudus adalah saluran melalui mana kehidupan ilahi mengalir ke dalam jiwa manusia. Ketika kasih Allah memenuhi hati, manusia menjadi cermin yang memantulkan kemuliaan-Nya.”
Kata “melampaui pengetahuan” (huperballousan tēs gnōseōs) berarti bahwa kasih ini melampaui kemampuan intelektual manusia.
Ia hanya dapat “dikenal” melalui pengalaman iman — yaitu ketika Roh Kudus menyingkapkan kasih Kristus secara pribadi dalam hati.
3. Doktrin Reformed: Kehidupan Allah dalam Jiwa Manusia
a. Regenerasi: Awal Kehidupan Allah di Dalam Kita
Teologi Reformed menegaskan bahwa manusia secara alami mati secara rohani (Efesus 2:1).
Karena itu, “kehidupan Allah dalam jiwa manusia” hanya dimulai ketika Roh Kudus melahirkan kembali hati manusia.
John Calvin menyebutnya “opus Spiritus sanctificationis” — karya Roh yang membangkitkan kehidupan baru.
R.C. Sproul menjelaskan:
“Regenerasi bukan sekadar memperbaiki moralitas, melainkan menciptakan kehidupan baru dari kematian. Ketika Roh Kudus masuk, kehidupan Allah mulai berdenyut di jiwa manusia.”
Jadi, kehidupan Allah bukan sesuatu yang dicapai manusia, tetapi dianugerahkan dari atas (Yohanes 3:3–8).
b. Persatuan dengan Kristus (Union with Christ)
Semua berkat keselamatan — pembenaran, pengudusan, dan pemuliaan — bersumber dari persatuan rohani dengan Kristus.
Ketika kita bersatu dengan Kristus, kehidupan-Nya menjadi kehidupan kita (Kolose 3:3–4).
John Murray menulis:
“Union with Christ adalah inti dari keselamatan. Tidak ada berkat keselamatan di luar Kristus karena semua dialirkan melalui kesatuan dengan Dia.”
Efesus 3:17 menegaskan bahwa Kristus tinggal di dalam hati melalui iman — inilah realitas dari union with Christ secara eksistensial.
c. Pembaruan Batin dan Kasih sebagai Bukti Hidup Ilahi
Ketika Roh Kudus berdiam di dalam hati, Ia menghasilkan kasih sebagai buah utama (Galatia 5:22).
Inilah tanda paling jelas bahwa kehidupan Allah bekerja dalam jiwa manusia.
Jonathan Edwards dalam Religious Affections menulis:
“Kasih kepada Allah adalah tanda paling pasti dari kelahiran baru. Jiwa yang hidup bagi Allah selalu bergetar karena kasih kepada-Nya.”
Kasih bukan sekadar emosi, tetapi gerak roh yang berasal dari kehidupan ilahi.
Tanpa kasih, segala pengetahuan dan aktivitas religius hanyalah kosong (1 Korintus 13:1–3).
4. Dimensi Trinitarian dari Kehidupan Allah dalam Jiwa
Efesus 3:16–19 memperlihatkan kerja Tritunggal yang harmonis:
-
Bapa memberi kekayaan kemuliaan-Nya (ayat 16)
-
Roh Kudus menguatkan manusia batin (ayat 16)
-
Kristus tinggal dalam hati melalui iman (ayat 17)
Artinya, kehidupan Allah dalam jiwa manusia adalah kehadiran Tritunggal yang berdiam di dalam diri orang percaya.
Herman Bavinck menulis:
“Seluruh kehidupan rohani orang Kristen bersifat trinitarian: dari Bapa, melalui Anak, dalam Roh Kudus.”
Maka, ketika Paulus berbicara tentang “kepenuhan Allah,” ia tidak bermaksud bahwa manusia menjadi ilahi, tetapi bahwa manusia mengalami persekutuan dengan seluruh Allah — Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
5. Refleksi Praktis: Hidup yang Dihidupi oleh Allah
a. Iman yang Mengundang Kehadiran Kristus
Iman adalah pintu bagi Kristus untuk tinggal di hati.
Bukan perasaan, bukan ritual, tetapi kepercayaan yang sejati dan berserah.
John Piper menulis:
“Kristus tidak tinggal dalam hati yang hanya menghormati-Nya dari jauh; Ia tinggal di hati yang mempercayai-Nya sepenuhnya.”
Iman bukan hanya percaya bahwa Kristus ada, tetapi mengundang-Nya untuk memerintah dan menghidupi kita.
b. Hidup dalam Kasih yang Aktif
Jika Kristus tinggal di dalam kita, kasih menjadi gaya hidup.
Kasih yang berakar dan berdasar adalah kasih yang tidak terguncang oleh dunia.
Tim Keller menjelaskan:
“Kasih sejati muncul ketika kita sadar bahwa kita telah dikasihi tanpa syarat. Orang yang tahu ia dikasihi oleh Allah tidak lagi hidup untuk membuktikan diri, tetapi untuk memantulkan kasih itu.”
Kasih inilah bukti paling nyata bahwa kehidupan Allah berdenyut dalam diri kita.
c. Kepekaan terhadap Karya Roh Kudus
Roh Kudus adalah napas kehidupan Allah dalam jiwa manusia.
Orang percaya perlu terus memperhatikan pimpinan-Nya, bukan hanya dalam doa atau ibadah, tetapi dalam seluruh kehidupan sehari-hari.
Sinclair Ferguson menulis:
“Roh Kudus bukan sekadar penghibur, tetapi arsitek yang membentuk Kristus dalam diri kita.”
Ketika kita taat pada suara-Nya, kita bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus — tanda bahwa kehidupan ilahi sedang bekerja dalam diri kita.
6. Bahaya Agama Tanpa Kehidupan Allah
Scougal menulis dengan tegas bahwa agama tanpa kehidupan Allah hanyalah topeng kosong.
Seseorang bisa beragama, rajin beribadah, bahkan mengajar firman, tetapi tanpa kehidupan ilahi di dalamnya.
George Whitefield mengaku:
“Ketika aku membaca The Life of God in the Soul of Man, aku sadar bahwa aku belum dilahirkan baru. Aku tahu tentang Allah, tetapi Allah belum hidup dalam diriku.”
Bahaya terbesar gereja modern adalah aktivitas rohani tanpa realitas rohani.
Roh Kudus tidak sekadar mengubah perilaku, tetapi menghidupkan hati yang mati.
7. Hidup dalam Kepenuhan Allah: Tujuan Akhir Rohani
Ketika Paulus berbicara tentang “dipenuhi dengan seluruh kepenuhan Allah,” ia menunjukkan tujuan akhir dari kehidupan Kristen: keserupaan penuh dengan Kristus.
Inilah yang disebut oleh Reformed sebagai glorification — pemulihan penuh gambar Allah dalam diri manusia.
Herman Bavinck menulis:
“Tujuan akhir keselamatan adalah agar Allah menjadi semua di dalam semua. Kehidupan Allah akan memenuhi ciptaan-Nya tanpa menghapuskan kepribadian manusia.”
Dengan kata lain, hidup Allah dalam jiwa manusia bukanlah akhir perjalanan rohani, melainkan awal dari kehidupan kekal yang sedang tumbuh menuju kepenuhan.
Penutup: Dari Pengetahuan Menuju Kehidupan
Kekristenan sejati bukanlah sekadar sistem doktrin, tetapi realitas hidup Allah yang bekerja di dalam manusia.
Ketika Roh Kudus menguatkan batin, Kristus tinggal melalui iman, dan kasih Allah memenuhi hati, maka kita hidup bukan lagi dengan kekuatan kita sendiri, tetapi oleh kehidupan ilahi yang tinggal di dalam kita.
“Aku sudah disalibkan dengan Kristus; bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Galatia 2:20)
Itulah makna sejati dari The Life of God in the Soul of Man.