Kejadian 6:8–10 - Kasih Karunia di Tengah Kerusakan

Kejadian 6:8–10 - Kasih Karunia di Tengah Kerusakan

Pendahuluan: Kasih Karunia yang Bersinar di Tengah Kegelapan

Kejadian 6 menggambarkan salah satu masa tergelap dalam sejarah manusia. Dunia telah rusak total; kejahatan manusia besar di bumi, dan segala kecenderungan hatinya selalu jahat semata (Kejadian 6:5). Tuhan menyesal telah menjadikan manusia dan berduka dalam hati-Nya. Di tengah kegelapan moral dan spiritual itu, muncul satu kalimat yang bersinar seperti bintang di malam kelam:

“Namun, Nuh mendapat perkenanan di mata TUHAN.” (Kejadian 6:8)

Ayat ini adalah salah satu momen paling penuh harapan dalam seluruh Alkitab. Kata “namun” (but dalam bahasa Inggris, ve-noah dalam teks Ibrani) menjadi titik balik dalam narasi sejarah manusia. Ketika dunia menuju kebinasaan, kasih karunia Allah muncul melalui seorang yang bernama Nuh.

Dalam artikel ini, kita akan mengeksposisi Kejadian 6:8–10 secara mendalam, meninjau konteks historis dan teologisnya, serta menggali pandangan beberapa teolog Reformed seperti John Calvin, R.C. Sproul, John Piper, Herman Bavinck, dan Jonathan Edwards. Melalui ayat ini kita akan melihat bagaimana kasih karunia Allah bekerja di tengah kejatuhan manusia, membentuk kehidupan yang benar dan berkenan di hadapan-Nya.

1. Konteks Historis dan Teologis: Dunia yang Rusak dan Kasih Karunia yang Memilih

a. Latar Belakang Kejatuhan Moral

Kejadian 6 adalah kelanjutan dari narasi kejatuhan manusia di Kejadian 3–5. Setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, dosa berkembang pesat. Kain membunuh Habel, keturunan manusia berkembang, dan dunia dipenuhi kekerasan dan kebobrokan moral.

Pasal 6:5–7 menggambarkan penilaian Tuhan terhadap kondisi dunia:

“TUHAN melihat bahwa kejahatan manusia besar di bumi, dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata.”

Ayat ini menunjukkan konsep total depravity — sebuah doktrin penting dalam teologi Reformed. Dosa tidak hanya memengaruhi sebagian dari manusia, tetapi seluruh aspek eksistensinya: pikiran, kehendak, perasaan, dan tindakan. Manusia tidak lagi mencari Allah; bahkan kecenderungan hatinya selalu jahat.

b. Kontras Ilahi: “Namun, Nuh mendapat perkenanan”

Kata penghubung “Namun” (ve-noah) adalah titik balik dramatis dalam narasi. Ini menunjukkan bahwa di tengah kebinasaan total, kasih karunia Allah tetap bekerja.

John Calvin dalam komentarnya menulis:

“Kata ‘namun’ ini menunjukkan pemisahan antara kehancuran umum manusia dan kasih karunia pilihan Allah. Dunia seluruhnya binasa, tetapi satu orang dipelihara oleh belas kasihan Allah yang bebas dan berdaulat.”

Dengan kata lain, Nuh bukan diselamatkan karena kehebatannya, melainkan karena kasih karunia Allah yang memilih dan memperkenan dia. Ini menegaskan prinsip utama teologi Reformed: sola gratia — hanya oleh kasih karunia.

2. Kejadian 6:8: “Namun, Nuh mendapat perkenanan di mata TUHAN”

a. Kasih Karunia yang Mendahului Ketaatan

Kata “perkenanan” diterjemahkan dari bahasa Ibrani ḥēn (חֵן), yang berarti grace, atau kasih karunia. Ini adalah pertama kalinya kata grace muncul dalam Alkitab. Dengan demikian, ayat ini menandai titik awal dari tema besar Alkitab: keselamatan oleh kasih karunia, bukan oleh perbuatan.

John Piper menjelaskan:

“Nuh tidak mendapatkan kasih karunia karena ia benar; ia menjadi benar karena ia mendapat kasih karunia.”

Hal ini sejalan dengan Efesus 2:8–9 — bahwa keselamatan adalah karunia Allah, bukan hasil usaha manusia.

R.C. Sproul menegaskan:

“Kasih karunia bukanlah upah bagi ketaatan, melainkan penyebab dari ketaatan. Nuh taat karena ia lebih dulu diperkenan oleh Tuhan.”

b. Kasih Karunia yang Bersifat Pribadi

Ungkapan “di mata TUHAN” menunjukkan relasi pribadi antara Allah dan Nuh. Ini bukan sekadar status hukum, tetapi perkenanan relasional. Allah mengenal Nuh secara pribadi dan berkenan kepadanya.

Ini mencerminkan prinsip covenantal grace — kasih karunia yang berwujud dalam hubungan perjanjian antara Allah dan manusia.

Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menulis:

“Kasih karunia Allah bukanlah kekuatan impersonal, melainkan persekutuan kasih antara Pencipta dan ciptaan yang dipulihkan.”

3. Kejadian 6:9: “Nuh adalah orang yang benar, tidak bercela pada zamannya, dan Nuh berjalan dengan Allah.”

Ayat ini menggambarkan karakter Nuh — buah dari kasih karunia yang ia terima. Tiga kualitas disebutkan:

a. “Orang yang benar” – Kesetiaan kepada Allah

Kata “benar” (Ibrani: tsaddiq) berarti seseorang yang hidup sesuai dengan standar kebenaran Allah. Dalam konteks Perjanjian Lama, ini bukan berarti tanpa dosa, tetapi hidup dalam kesetiaan dan ketaatan kepada kehendak Tuhan.

John Calvin menjelaskan:

“Kebenaran Nuh bukan berasal dari dirinya sendiri, tetapi adalah hasil dari pembenaran oleh kasih karunia. Ia disebut benar karena Allah memperhitungkan imannya sebagai kebenaran.”

Kata ini sejalan dengan konsep justification by faith yang kemudian ditegaskan dalam Roma 4:3, di mana Abraham “diperhitungkan benar karena imannya.” Nuh adalah contoh awal orang benar karena iman.

Ibrani 11:7 menyebut:

“Karena iman, Nuh... menjadi ahli waris kebenaran yang sesuai dengan iman.”

Jadi, kebenaran Nuh adalah iman yang hidup, bukan ketaatan moral yang sempurna.

b. “Tidak bercela pada zamannya” – Integritas di Tengah Kerusakan

Kata “tidak bercela” (Ibrani: tamim) berarti utuh, tulus, tidak munafik. Ini adalah istilah yang digunakan untuk korban persembahan yang layak di hadapan Tuhan — tanpa cacat.

Menjadi “tidak bercela pada zamannya” berarti Nuh hidup berbeda dari masyarakat sekelilingnya. Dunia saat itu penuh kekerasan, tetapi Nuh tetap murni.

Matthew Henry menulis:

“Nuh bersih di tengah kotoran dunia. Ia seperti bunga bakung di antara duri.”

Dalam konteks Reformed, ini menunjukkan hasil dari sanctification — proses pengudusan oleh Roh Kudus. Orang yang menerima kasih karunia akan hidup dalam kekudusan, bukan karena tekanan hukum, tetapi karena kasih kepada Allah.

c. “Nuh berjalan dengan Allah” – Relasi yang Intim

Frasa ini identik dengan deskripsi Henokh di Kejadian 5:24. “Berjalan dengan Allah” berarti hidup dalam persekutuan yang konsisten, tunduk pada kehendak-Nya, dan bergantung penuh pada-Nya.

John Owen menyebutnya “communion with God” — persekutuan yang intim antara Allah dan manusia.

R.C. Sproul menulis:

“Berjalan dengan Allah berarti menjadikan Allah pusat orientasi hidup. Segala keputusan, pekerjaan, dan tujuan diarahkan untuk memuliakan-Nya.”

Dalam teologi Reformed, ini adalah esensi dari coram Deo — hidup di hadapan Allah, di bawah otoritas Allah, dan untuk kemuliaan Allah.

Nuh hidup coram Deo ketika seluruh dunia hidup contra Deo.

4. Kejadian 6:10: “Tiga anak laki-laki lahir bagi Nuh: Sem, Ham, dan Yafet.”

Ayat ini tampak sederhana, tetapi memiliki makna besar dalam sejarah keselamatan. Melalui tiga anak Nuh, Allah akan melanjutkan garis keturunan manusia setelah air bah.

a. Anugerah yang Diteruskan Melalui Keluarga

Kehadiran tiga anak menunjukkan bahwa kasih karunia Allah kepada Nuh tidak berhenti pada dirinya, tetapi mengalir kepada keturunannya.

Herman Bavinck menulis:

“Anugerah perjanjian Allah bersifat generasional — ia menjangkau keluarga, bukan hanya individu.”

Ini menjadi dasar bagi konsep covenant family dalam teologi Reformed: bahwa keluarga orang percaya berada di bawah berkat dan tanggung jawab perjanjian Allah.

b. Garis Penyelamatan

Dari Sem kelak lahir Abraham, bangsa Israel, dan akhirnya Yesus Kristus. Dengan demikian, Nuh bukan hanya penyelamat dunia pada masanya, tetapi bagian penting dalam rencana keselamatan universal.

Jonathan Edwards dalam khotbah klasiknya A History of the Work of Redemption menulis:

“Kapal Nuh adalah lambang Kristus — satu-satunya tempat perlindungan dari murka Allah. Melalui Nuh, Allah mempertahankan benih penebusan yang akan datang.”

5. Pandangan Para Teolog Reformed tentang Nuh dan Kasih Karunia

John Calvin:

Calvin menekankan bahwa perkenanan Allah kepada Nuh adalah hasil dari kasih karunia pilihan, bukan jasa moral.

“Nuh adalah cermin dari kasih karunia yang berdaulat. Ia tidak berbeda dari orang lain karena dirinya sendiri, tetapi karena Allah memisahkannya dari dunia oleh anugerah-Nya.”

R.C. Sproul:

Sproul melihat Nuh sebagai tipe (gambaran awal) Kristus:

“Seperti Nuh membangun bahtera untuk menyelamatkan keluarganya, demikian Kristus menyediakan salib sebagai bahtera keselamatan bagi mereka yang percaya.”

John Piper:

Piper menekankan relasi antara kasih karunia dan ketaatan:

“Kasih karunia bukan alasan untuk malas; kasih karunia adalah tenaga untuk taat.”

Herman Bavinck:

Bavinck menyoroti aspek perjanjian:

“Dengan Nuh, Allah memulai kembali sejarah manusia dalam konteks perjanjian kasih karunia.”

Jonathan Edwards:

Edwards menekankan dimensi redemptif:

“Kasih karunia kepada Nuh adalah titik awal dari sejarah penebusan yang akan mencapai puncaknya dalam Kristus.”

6. Tema Teologis Utama dari Kejadian 6:8–10

a. Kasih Karunia yang Berdaulat

Kasih karunia selalu datang lebih dulu sebelum ketaatan. Allah mengasihi dan memperkenan Nuh sebelum Nuh disebut benar.

b. Iman yang Menghasilkan Kebenaran

Kebenaran Nuh bukan hasil usaha manusia, melainkan buah iman yang hidup. Seperti Abraham, ia dibenarkan karena percaya.

c. Kekudusan di Tengah Dunia Rusak

Nuh hidup kudus bukan karena lingkungannya mendukung, tetapi karena ia berjalan dengan Allah. Ini mengajarkan bahwa kesalehan sejati tidak tergantung pada keadaan luar.

d. Keluarga sebagai Saluran Anugerah

Melalui anak-anak Nuh, Allah memelihara rencana keselamatan. Ini menegaskan pentingnya iman yang diwariskan dalam keluarga.

7. Aplikasi bagi Kehidupan Orang Percaya Masa Kini

a. Hidup oleh Kasih Karunia, Bukan oleh Usaha

Seperti Nuh, kita diselamatkan bukan karena kesalehan kita, tetapi karena kasih karunia Allah dalam Kristus. Hal ini membebaskan kita dari legalisme dan memberi dasar bagi hidup yang penuh syukur.

b. Menjadi Benar di Tengah Dunia yang Rusak

Kita dipanggil untuk hidup benar dan tidak bercela di zaman yang penuh korupsi moral. Dunia mungkin menertawakan iman, tetapi seperti Nuh, kita dipanggil untuk taat sekalipun berbeda.

c. Berjalan dengan Allah Setiap Hari

Iman bukan sekadar pengakuan intelektual, tetapi perjalanan harian bersama Allah — dalam doa, firman, dan ketaatan.

d. Mewariskan Iman kepada Keluarga

Nuh memperlihatkan bagaimana kasih karunia Allah berdampak lintas generasi. Orang tua Kristen dipanggil menjadi teladan dan pemimpin rohani bagi keluarga mereka.

8. Penutup: Bahtera Kasih Karunia di Tengah Badai Dunia

Kejadian 6:8–10 bukan sekadar catatan sejarah kuno, tetapi gambaran hidup dari Injil itu sendiri. Ketika dunia binasa karena dosa, kasih karunia Allah muncul, memilih, membenarkan, dan memelihara umat-Nya.

Nuh menjadi simbol dari mereka yang diselamatkan oleh kasih karunia Allah di tengah murka yang pantas dijatuhkan. Ia berjalan dengan Allah, bukan karena sempurna, tetapi karena Allah memperkenannya.

Dalam Kristus, kita semua adalah “Nuh-Nuh kecil” — dipanggil untuk membangun kehidupan yang taat di tengah dunia yang rusak, dan menjadi saksi kasih karunia Allah yang berdaulat.

“Namun, Nuh mendapat perkenanan di mata TUHAN.”
— Semoga kalimat itu juga menjadi kisah kita.

Next Post Previous Post