Kisah Para Rasul 8:25 - Kehidupan yang Didorong oleh Injil

Kisah Para Rasul 8:25 - Kehidupan yang Didorong oleh Injil

Pendahuluan: Injil yang Bergerak ke Segala Penjuru

Kisah Para Rasul 8:25 mencatat salah satu momen penting dalam sejarah gereja mula-mula. Setelah kebangkitan dan kenaikan Kristus, Roh Kudus dicurahkan, dan Injil mulai menyebar keluar dari Yerusalem. Di tengah penganiayaan dan ketegangan sosial, pesan keselamatan tidak berhenti—sebaliknya, Injil justru semakin berkembang.

Ayat ini, meskipun tampak sederhana, memuat dinamika penting dari misi gereja: kesaksian, pewartaan firman, dan kesetiaan kepada Injil. Petrus dan Yohanes, dua rasul terkemuka, menjadi contoh nyata dari kehidupan yang digerakkan oleh Injil, bukan oleh ambisi pribadi atau ketakutan manusia.

Artikel ini akan mengeksposisi Kisah Para Rasul 8:25 dalam konteksnya, menggali makna teologisnya, serta menampilkan pandangan para teolog Reformed seperti John Calvin, Matthew Henry, R.C. Sproul, John Piper, dan Herman Bavinck, agar kita memahami bagaimana ayat ini berbicara tentang panggilan misi dan kesetiaan Injil dalam hidup orang percaya masa kini.

1. Konteks Historis: Dari Yerusalem ke Samaria

Sebelum ayat ini, latar belakang penting perlu diperhatikan. Pasal 8 dimulai dengan penganiayaan besar terhadap gereja di Yerusalem setelah kematian Stefanus. Akibatnya, banyak orang percaya tersebar ke daerah-daerah lain, termasuk Samaria (Kis. 8:1).

Philipus, salah satu dari tujuh diaken, pergi ke Samaria dan memberitakan Kristus di sana (Kis. 8:5). Tuhan bekerja dengan kuasa besar: orang sakit disembuhkan, roh-roh jahat diusir, dan banyak orang bertobat. Namun, pelayanan itu belum lengkap sampai para rasul datang untuk meneguhkan dan memastikan pekerjaan itu adalah karya Roh Kudus sejati.

Petrus dan Yohanes datang dari Yerusalem untuk berdoa bagi orang-orang Samaria agar mereka menerima Roh Kudus (Kis. 8:14–17). Setelah tugas itu selesai, mereka tidak langsung kembali, melainkan terus memberitakan Injil ke banyak desa orang Samaria.

Ayat 25 menjadi penutup dari bagian ini — menandai perluasan Injil melampaui batas etnis dan budaya, sesuai dengan janji Kristus dalam Kisah Para Rasul 1:8:

“Kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem, di seluruh Yudea dan Samaria, dan sampai ke ujung bumi.”

2. Eksposisi Ayat: Tiga Elemen Utama dari Misi Injil

a. “Sesudah Petrus dan Yohanes bersaksi dengan sungguh-sungguh”

Kata “bersaksi” (martyresantes dalam bahasa Yunani) berasal dari akar kata yang sama dengan “martir”. Ini menunjukkan bukan sekadar berbicara, melainkan menyampaikan kesaksian dengan komitmen penuh, bahkan hingga rela menderita.

John Calvin dalam komentarnya menulis:

“Para rasul tidak hanya berbicara tentang Kristus sebagai teori, tetapi sebagai mereka yang telah mengalami kuasa Injil. Kesaksian mereka adalah buah dari perjumpaan yang hidup dengan Kristus.”

Kesaksian yang sejati lahir dari pengalaman pribadi akan kasih karunia Allah, bukan dari formalitas religius. Dalam teologi Reformed, ini berkaitan erat dengan doktrin regenerasi — bahwa seseorang yang telah dilahirkan kembali akan menghasilkan kesaksian yang hidup.

Kesaksian Petrus dan Yohanes adalah ekspresi dari realitas Injil dalam diri mereka, bukan sekadar tugas misi yang dingin. Mereka berbicara dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar memenuhi kewajiban organisasi gereja, melainkan karena hati mereka terbakar oleh kasih kepada Kristus.

R.C. Sproul menulis dalam The Holiness of God:

“Orang yang telah melihat kekudusan Allah tidak mungkin diam. Kesadaran akan kasih dan kekudusan Kristus mendorong kita menjadi saksi yang tak tergoncangkan.”

Kesaksian bukanlah pilihan opsional; itu adalah respons alami dari hati yang telah disentuh oleh Injil.

b. “Dan mengatakan firman Tuhan”

Kata “firman Tuhan” di sini bukan sekadar ajaran moral, melainkan logos tou theou — berita keselamatan dalam Kristus. Para rasul tidak memberitakan diri mereka, tidak menawarkan filsafat baru, tetapi mengumandangkan firman Allah yang hidup dan berotoritas.

Matthew Henry menjelaskan bahwa pewartaan mereka bukan sekadar repetisi ajaran, tetapi konfirmasi bahwa apa yang terjadi di Samaria adalah karya Allah yang sama yang bekerja di Yerusalem.

Dalam pandangan John Piper, pewartaan firman bukan sekadar komunikasi informasi, melainkan proklamasi transformasi:

“Firman Allah adalah kekuatan Allah yang menciptakan kehidupan baru. Ketika Injil diberitakan, Allah berbicara, dan dunia berubah.”

Petrus dan Yohanes tahu bahwa kekuatan Injil tidak terletak pada kefasihan manusia, melainkan pada kuasa Roh Kudus yang bekerja melalui firman. Itulah sebabnya misi sejati tidak dapat dipisahkan dari pewartaan firman yang murni.

Teologi Reformed menekankan sola Scriptura — hanya firman Allah yang menjadi otoritas tertinggi. Dengan demikian, pemberitaan firman bukanlah tambahan dari misi, melainkan inti dari misi itu sendiri.

c. “Mereka kembali ke Yerusalem sambil memberitakan Injil ke banyak desa orang Samaria”

Bagian ini menunjukkan dua hal penting: kesetiaan dan kelanjutan misi.

Para rasul tidak terbatas pada satu kota atau komunitas tertentu. Dalam perjalanan pulang pun mereka tetap menjadikan Injil sebagai fokus hidup.

John Stott menulis dalam The Message of Acts:

“Petrus dan Yohanes menunjukkan bahwa Injil tidak mengenal batas etnis atau geografis. Keduanya taat kepada Kristus yang telah membuka jalan dari Yerusalem menuju Samaria, dan dari Samaria menuju dunia.”

Kehadiran mereka di desa-desa Samaria menunjukkan pergeseran besar dalam sejarah keselamatan: Injil kini menjangkau mereka yang sebelumnya dianggap musuh oleh bangsa Yahudi.

Dalam pandangan Herman Bavinck, ini adalah bukti nyata dari doktrin anugerah umum dan anugerah khusus. Allah membuka pintu keselamatan bagi semua bangsa melalui kesaksian umat-Nya.

“Anugerah Allah tidak terbatas oleh batas budaya atau ras; Injil adalah kuasa universal yang memperdamaikan manusia dengan Allah dan sesamanya.” (Reformed Dogmatics, vol. 4)

3. Perspektif Reformed: Misi Injil sebagai Karya Allah

Teologi Reformed selalu menekankan bahwa misi bukanlah proyek manusia, tetapi karya Allah sendiri yang mengundang manusia untuk berpartisipasi di dalamnya.

a. Kedaulatan Allah dalam Penyebaran Injil

Penyebaran Injil ke Samaria bukan hasil strategi manusia, melainkan rencana ilahi yang telah ditetapkan sejak semula. Penganiayaan di Yerusalem (Kis. 8:1) justru menjadi alat Tuhan untuk menyebarkan Injil.

John Calvin melihat ini sebagai bukti bahwa Allah memerintah bahkan melalui penderitaan:

“Ketika manusia berpikir telah menghancurkan gereja, Allah justru memperluasnya. Salib adalah jalan kemenangan.”

Dengan demikian, Kisah Para Rasul 8:25 bukan sekadar kisah perjalanan para rasul, tetapi bagian dari narasi besar karya penebusan Allah yang berdaulat.

b. Roh Kudus sebagai Penggerak Utama

Para rasul hanya bisa bersaksi dan memberitakan firman karena Roh Kudus yang memampukan mereka. Roh Kuduslah yang membuka hati orang Samaria, seperti halnya Ia membuka hati Lidia di Kisah Para Rasul 16:14.

R.C. Sproul menulis:

“Tanpa pekerjaan Roh Kudus, tidak ada Injil yang akan diterima, dan tidak ada misi yang akan berhasil.”

Teologi Reformed menolak pandangan bahwa keberhasilan misi bergantung pada retorika atau strategi manusia. Misi sejati terjadi ketika Roh Kudus menggunakan firman yang diberitakan untuk mengubah hati manusia.

c. Gereja sebagai Agen Misi

Kisah Para Rasul 8:25 menunjukkan bahwa gereja dipanggil untuk terus bergerak. Injil tidak berhenti di satu tempat atau generasi. Para rasul kembali ke Yerusalem bukan untuk berhenti, tetapi untuk memperlengkapi gereja agar misi terus berlanjut.

Abraham Kuyper menulis:

“Tidak ada satu bidang pun dalam ciptaan di mana Kristus tidak berkata: ‘Ini milik-Ku!’”

Artinya, misi bukan sekadar tugas penginjilan individual, tetapi mandat kosmik untuk menyatakan pemerintahan Kristus atas seluruh ciptaan.

4. Injil dan Rekonsiliasi: Dari Permusuhan ke Kesatuan

Samaria dan Yerusalem secara historis adalah dua wilayah yang saling bermusuhan. Orang Yahudi menganggap orang Samaria najis, sementara orang Samaria menolak otoritas keagamaan Yerusalem.

Namun, melalui karya Kristus, tembok permusuhan itu dirobohkan. Efesus 2:14 berkata:

“Sebab Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan merobohkan tembok pemisah.”

John Piper menghubungkan hal ini dengan misi gereja masa kini:

“Ketika Injil diberitakan kepada musuh, kasih Kristus menjadi nyata. Gereja dipanggil bukan untuk memilih kelompok yang nyaman, tetapi menjangkau mereka yang berbeda.”

Misi ke Samaria adalah simbol dari misi lintas budaya pertama dalam sejarah gereja. Ini menunjukkan bahwa Injil bukan milik satu bangsa atau budaya, melainkan berita keselamatan bagi seluruh umat manusia.

5. Aplikasi Teologis dan Praktis

a. Kesetiaan dalam Kesaksian

Petrus dan Yohanes tetap bersaksi dalam setiap kesempatan. Mereka tidak menunggu keadaan ideal atau tempat yang sempurna.

Hidup yang berpusat pada Injil adalah hidup yang siap bersaksi kapan pun dan di mana pun. Seperti dikatakan oleh Calvin:

“Setiap orang percaya adalah saksi Kristus dalam lingkup hidupnya.”

b. Firman sebagai Pusat Misi

Gereja Reformed selalu menempatkan firman Tuhan di pusat kehidupan dan pelayanan. Dalam misi, fokus utama bukanlah pengalaman atau emosi, melainkan pewartaan firman yang murni.

Bavinck menegaskan:

“Di mana firman Allah disampaikan dengan benar, di sanalah Roh Kudus bekerja menciptakan kehidupan baru.”

c. Misi yang Melampaui Batas Sosial

Kisah Para Rasul 8:25 menantang kita untuk menjangkau mereka yang berbeda latar belakang, bahasa, atau budaya. Injil menembus batas-batas yang diciptakan manusia.

Gereja yang berpusat pada Injil akan menjadi tempat di mana semua orang—tanpa memandang ras, status, atau masa lalu—dapat menemukan kasih Kristus.

6. Refleksi Teologi Reformed: Injil yang Hidup dan Bergerak

Para teolog Reformed melihat Kisah Para Rasul sebagai manifestasi nyata dari doktrin anugerah Allah.

  • Calvin menyoroti kedaulatan Allah.

  • Luther menekankan kesaksian yang lahir dari salib.

  • Bavinck memandangnya sebagai bukti dari rekonsiliasi universal.

  • Piper mengingatkan bahwa misi adalah hasil sukacita dalam Allah.

  • Sproul menegaskan bahwa kuasa misi terletak pada Roh Kudus, bukan manusia.

Kesemuanya menegaskan satu kebenaran: Injil adalah kekuatan Allah yang tidak bisa dihentikan.

7. Gereja Masa Kini: Melanjutkan Langkah ke Samaria

Kisah Para Rasul 8:25 menantang gereja modern untuk meneladani semangat para rasul. Dunia kita hari ini penuh dengan “Samaria-Samaria baru”: kelompok, komunitas, atau bangsa yang dianggap jauh dari Allah, atau bahkan tidak mungkin dijangkau.

Namun, justru di sanalah Injil dipanggil untuk hadir.
Timothy Keller menulis:

“Gereja yang tidak keluar dari zona nyamannya bukanlah gereja yang hidup oleh Injil.”

Misi bukan sekadar program, tetapi gaya hidup yang memancarkan kasih Kristus kepada dunia.

8. Penutup: Injil yang Tidak Pernah Diam

Kisah Para Rasul 8:25 bukan sekadar catatan perjalanan dua rasul, tetapi kesaksian tentang Injil yang tidak dapat dibungkam. Petrus dan Yohanes pulang ke Yerusalem dengan semangat yang sama seperti saat mereka diutus oleh Kristus — mengabarkan kabar baik tanpa batas.

Injil yang sama itu kini dipercayakan kepada gereja modern — kepada setiap kita — untuk diberitakan di tengah dunia yang haus akan harapan sejati.

“Kesetiaan kepada Injil bukan sekadar mempertahankan doktrin, tetapi meneruskan misi Kristus kepada dunia yang terhilang.” — Herman Bavinck

Next Post Previous Post