Kejadian 6:5 - Kerusakan Total Manusia Dan Kasih Karunia Allah

PENDAHULUAN
Kejadian 6:5 adalah salah satu ayat paling gelap, paling jujur, dan paling mengguncang dalam seluruh Alkitab. Ayat ini muncul menjelang catatan air bah, dan ia menggambarkan kondisi moral umat manusia hanya beberapa generasi setelah Adam. Tidak ada peringanan, tidak ada pengecualian, tidak ada kompromi. Ayat ini, seperti lampu sorot tajam, menyingkapkan apa yang ada di dalam hati manusia yang telah terjatuh dalam dosa.
Ini adalah ayat yang menjadi fondasi bagi apa yang kemudian dalam teologi Reformed disebut sebagai total depravity, atau kerusakan total manusia akibat kejatuhan. Tetapi penting untuk dipahami: kerusakan total bukan berarti manusia sejahat mungkin, tetapi bahwa seluruh aspek dirinya—pikiran, perasaan, kehendak, hati—telah disentuh dan dirusak oleh dosa.
John Calvin berkata bahwa Kejadian 6:5 adalah “potret telanjang tentang kondisi hati manusia tanpa kasih karunia.”
R.C. Sproul menyebut ayat ini “diagnosis ilahi atas penyakit terdalam manusia.”
Dan Charles Spurgeon berkata: “Jika manusia dapat melihat kedalaman hatinya sendiri tanpa anugerah, ia akan mati ketakutan.”
Hari ini kita akan menyelami ayat ini secara ekspositori, menelusuri maknanya, dan melihat bagaimana kebenaran tentang kerusakan manusia justru membawa kita kepada pengharapan besar akan kasih karunia Allah.
1. “Ketika dilihat TUHAN…” – Allah yang Melihat dengan Sepenuhnya
Kejadian 6:5 dimulai dengan pernyataan yang sangat penting:
“Ketika dilihat TUHAN…”
Ini bukan pengamatan manusia.
Ini bukan penilaian budaya.
Ini bukan kesimpulan psikologi modern.
Ini adalah diagnosis Allah sendiri.
Alkitab menunjukkan bahwa penglihatan Allah sempurna—Ia melihat:
-
perilaku lahiriah (1 Samuel 2:3),
-
isi hati manusia (Yeremia 17:10),
-
bahkan pikiran yang belum terucap (Mazmur 139:2).
Calvin menulis:
“Allah tidak menilai seperti manusia menilai; Ia menembus sampai ke hati yang terdalam.”
Ayat ini menegaskan bahwa apa yang Allah lihat bukan sekadar statistik kejahatan, tetapi kondisi moral manusia secara esensial:
Allah melihat akar, bukan hanya buah. Ia melihat hati, bukan hanya tindakan.
Ini penting, sebab sering manusia berkata:
-
“Aku kan tidak seburuk itu.”
-
“Setidaknya aku tidak seperti orang lain.”
-
“Aku masih punya hati yang baik.”
Tetapi penilaian diri manusia tidak dapat dibandingkan dengan penilaian Allah.
Ketika Allah melihat, Ia melihat tanpa distorsi, tanpa bias, dan tanpa kompromi.
Apa yang Ia lihat? Kita masuk ke bagian berikutnya.
2. “Bahwa kejahatan manusia besar di bumi…” – Besarnya Kerusakan Moral Manusia
Kejadian 6:5 melanjutkan:
“…bahwa kejahatan manusia besar di bumi…”
Frasa “kejahatan manusia besar” (Heb: rabba ra’ah ha’adam) menekankan:
-
intensitas kejahatan,
-
kuantitas kejahatan,
-
dan luasnya kejahatan.
Ini bukan sedikit kejahatan.
Ini bukan kejahatan yang terkendali.
Ini bukan kejahatan yang timbul sesekali.
Ini meluas, besar, dan menguasai seluruh bumi.
Teolog Reformed Louis Berkhof menjelaskan:
“Kejadian 6:5 tidak menunjukkan kejatuhan moral parsial, tetapi degenerasi total dalam seluruh ras manusia.”
Dunia sebelum air bah bukan hanya tidak bermoral—ia rusak.
Dan perlu kita garis-bawahi: manusia tidak menjadi jahat karena lingkungannya buruk, tetapi lingkungan menjadi buruk karena manusia yang telah jatuh dalam dosa.
Ini dijelaskan oleh R.C. Sproul:
“Masalah utama manusia bukan lingkungan, ekonomi, pendidikan, atau kondisi sosialnya. Masalah utama manusia adalah manusia itu sendiri.”
Kejahatan bukan sesuatu yang dipaksakan dari luar—ia muncul dari dalam.
3. “Dan bahwa segala kecenderungan hatinya…” – Akar dari Semua Kejahatan
Bagian ini adalah pusat dari ayat:
“…segala kecenderungan hatinya…”
Kata “kecenderungan” dalam bahasa Ibrani adalah yetzer—yang berarti:
-
formasi batin,
-
rancangan hati,
-
dorongan yang menggerakkan tindakan.
Itu berarti: Sumber kejahatan bukan tindakan manusia, tetapi hati manusia.
Yesus menggemakan hal yang sama dalam Markus 7:21–23:
“Sebab dari dalam, dari hati manusia timbul segala pikiran jahat…”
Calvin mengomentari hal ini dengan sangat terkenal:
“Hati manusia adalah pabrik berhala.”
Artinya:
-
hati manusia secara alamiah memproduksi kejahatan,
-
hati manusia tidak netral,
-
hati manusia cenderung kepada dosa, bukan kepada Allah.
Ini meruntuhkan teori modern bahwa manusia “dasarnya baik.”
Alkitab mengatakan sebaliknya: dasarnya rusak.
4. “Selalu membuahkan kejahatan…” – Keberlangsungan Dosa Tanpa Batas
Alkitab menggunakan kata selalu atau kol hayom—“sepanjang hari.”
Artinya:
-
setiap waktu,
-
setiap saat,
-
tanpa henti,
-
tanpa masa jeda.
Teolog Reformed John Murray menjelaskan:
“Kejahatan manusia bukan sekadar kejadian sesekali; ia adalah kondisi permanen tanpa anugerah.”
Jika kita menggambarkannya dalam istilah kedokteran, manusia tanpa Kristus bukan hanya sakit oleh dosa—melainkan mati oleh dosa (Efesus 2:1).
Ini menegaskan:
Dosa bukan kebiasaan buruk—dosa adalah perbudakan.
Karena itu perbaikan moral, pendidikan, terapi, motivasi—semua itu tidak mampu menyentuh akar persoalan.
Spurgeon berkata:
“Anda dapat mendidik manusia berdosa menjadi manusia berpendidikan, tetapi itu tidak mengubah hatinya.”
5. “Semata-mata kejahatan” – Kerusakan Total, Bukan Parsial
Bagian terakhir dari ayat menyimpulkan:
“…kejahatan semata-mata.”
Dalam bahasa Ibrani: raq ra’—“hanya jahat.”
Ini tidak berarti manusia tidak dapat berbuat kebaikan sipil.
Manusia masih bisa:
-
mencintai keluarganya,
-
berbuat kebaikan sosial,
-
menciptakan seni,
-
bekerja dengan tekun.
Tetapi yang dimaksud adalah: secara rohani manusia tidak sanggup mencari Allah, mengasihi Allah, atau menaati Allah.
Ini inti doktrin Reformed tentang Total Depravity:
-
seluruh aspek manusia telah dirusak dosa,
-
hati manusia secara natural menolak Allah,
-
manusia tidak mampu menyelamatkan dirinya.
Bavinck menegaskan:
“Kerusakan total bukan berarti manusia seburuk mungkin, tetapi bahwa manusia tidak memiliki kemampuan moral atau spiritual untuk kembali kepada Allah.”
Ini persis apa yang Kejadian 6:5 tunjukkan.
6. Penghakiman Allah: Air Bah sebagai Konsekuensi Alami Dosa Manusia
Setelah pernyataan gelap Kejadian 6:5, ayat berikutnya menunjukkan respons Allah:
“TUHAN menyesal telah menjadikan manusia…” (Kejadian 6:6)
“Aku akan menghapuskan manusia…” (Kejadian 6:7)
Apa artinya?
Bukan bahwa Allah berubah pikiran atau menyesal secara emosional seperti manusia.
Calvin menjelaskan:
“Ketika Alkitab berkata Allah menyesal, itu adalah bahasa manusia untuk menggambarkan keseriusan dan keadilan hukuman Allah.”
Jika hati manusia rusak total, penghakiman adalah respons yang wajar dan adil.
Teolog Reformed John Owen berkata:
“Penghakiman Allah bukan kelebihan emosi, tetapi manifestasi kekudusan-Nya.”
Air bah bukan tindakan impulsif Allah—melainkan konsekuensi moral atas dosa yang telah memenuhi bumi.
7. Tetapi di Tengah Kegelapan, Ada Cahaya: “Tetapi Nuh mendapatkan kasih karunia”
Kejadian 6:8 berkata:
“Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata Tuhan.”
Inilah salah satu “tetapi” paling indah dalam Alkitab.
Ayat 5 adalah diagnosis—ayat 8 adalah jawaban.
Ayat 5 adalah kegelapan total manusia—ayat 8 adalah cahaya kasih karunia Allah.
Nuh tidak diselamatkan karena ia lebih baik.
Nuh lebih baik karena ia diselamatkan oleh kasih karunia Allah.
Calvin menulis:
“Kasih karunia mendahului kebenaran Nuh. Bukan kebenaran Nuh yang menimbulkan kasih karunia, tetapi kasih karunia yang menghasilkan kebenaran.”
Ini menunjukkan:
-
Kasih karunia adalah sumber keselamatan.
-
Ketaatan adalah hasil kasih karunia, bukan penyebabnya.
8. Kejadian 6:5 dan Injil: Manusia Hancur, tetapi Allah Menyelamatkan
Kondisi manusia di Kejadian 6:5 bukan hanya gambaran manusia zaman Nuh—tetapi gambaran manusia sepanjang zaman. Rasul Paulus mengutip ide yang sama:
-
Roma 3:10 – “Tidak ada yang benar…”
-
Roma 3:11 – “Tidak seorang pun mencari Allah.”
-
Roma 3:12 – “Semua telah menyeleweng.”
Dan inilah alasan mengapa Kristus datang.
Jika manusia bisa memperbaiki diri, Yesus tidak perlu mati.
Jika manusia cukup baik, salib tidak diperlukan.
Tetapi karena “segala kecenderungan hati manusia selalu jahat”—
maka Kristus datang memberi hati yang baru.
Yeremia 31:33
Yehezkiel 36:26
Yakobus 1:18
Efesus 2:4–5
Injil dimulai ketika kita menerima kebenaran pahit tentang kondisi kita.
Sproul berkata:
“Untuk memahami kasih karunia, kita harus mengerti kebobrokan kita.”
Salib menjadi masuk akal ketika kita melihat kedalaman dosa kita.
9. Aplikasi Praktis dari Kejadian 6:5 bagi Orang Percaya
A. Menyadari Betapa Kita Membutuhkan Kristus Setiap Hari
Jika hati manusia cenderung jahat, maka:
-
kita tidak bisa mengandalkan perasaan,
-
kita tidak bisa mengandalkan naluri,
-
kita tidak bisa mengandalkan hikmat diri sendiri.
Kita harus bergantung pada Firman dan Roh setiap hari.
B. Kerendahan hati: Kita tidak lebih baik dari orang lain
Ayat ini mengingatkan bahwa:
-
kita diselamatkan bukan karena kehebatan,
-
bukan karena moralitas,
-
bukan karena pelayanan.
Kita diselamatkan karena kasih karunia yang sama seperti Nuh.
Ini menghasilkan kerendahan hati yang mendalam.
C. Injil harus menjadi pusat hidup dan pelayanan
Karena hati manusia secara natural jahat:
-
program tidak cukup,
-
motivasi tidak cukup,
-
moralitas tidak cukup.
Yang manusia butuhkan adalah Injil,
karena hanya Injil yang memberi hati baru.
D. Perlunya pertobatan terus-menerus
Dosa bukan hanya tindakan, tetapi kecenderungan.
Karena itu pertobatan harus berkelanjutan.
10. Kejadian 6:5 dan Ketergantungan Gereja pada Roh Kudus
Gereja tidak dapat mengubah hati manusia.
Hanya Roh Kudus yang dapat melakukannya.
Calvin berkata:
“Tanpa Roh Kudus, Firman tidak akan menembus hati manusia.”
Itulah sebabnya:
-
khotbah harus bergantung pada Roh,
-
pelayanan harus bergantung pada Roh,
-
hidup kudus harus bergantung pada Roh.
KESIMPULAN KHOTBAH
Kejadian 6:5 adalah ayat yang menelanjangi manusia.
Ayat ini menyatakan:
-
bahwa manusia rusak total,
-
bahwa dosa menguasai hati manusia,
-
bahwa Allah melihat dengan sempurna,
-
bahwa dunia penuh kejahatan,
-
bahwa manusia tidak mampu menyelamatkan dirinya.
Tetapi justru di sinilah Injil bersinar paling terang:
Kejadian 6:5 → manusia hancur
Kejadian 6:8 → kasih karunia muncul
Itulah inti keselamatan.
Dan hari ini, kita berdiri bukan karena kebaikan kita, tetapi karena kasih karunia Allah yang memulihkan hati manusia yang hancur.
Sebab hanya Allah yang dapat mengubah hati yang penuh kejahatan menjadi hati yang baru.
Hanya Allah yang dapat menciptakan manusia baru.
Hanya Allah yang dapat menyelamatkan manusia dari kerusakan total.
Kiranya kita merendahkan diri, mengakui kondisi kita, dan menggantungkan seluruh hidup kita kepada Kristus—Satu-satunya jalan keselamatan.
Amin.