Mazmur 9:17–18 - Allah Mengingat yang Tertindas

“Orang-orang fasik akan kembali ke dunia orang mati, yakni segala bangsa yang melupakan Allah. Sebab bukan untuk seterusnya orang miskin akan dilupakan, harapan orang yang tertindas tidak akan hilang untuk selamanya.” (Mazmur 9:17–18)
Pendahuluan: Dua Nasib yang Kontras dalam Dunia yang Sama
Mazmur 9 adalah mazmur pujian sekaligus penghakiman. Di dalamnya, Daud menyanyikan kebesaran Allah yang adil dan setia, tetapi juga menegaskan kebinasaan orang fasik. Dalam Mazmur 9:17–18, kita menemukan dua gambaran yang kontras: di satu sisi, orang fasik yang melupakan Allah akan turun ke dunia orang mati; di sisi lain, orang tertindas yang berharap kepada Allah tidak akan dilupakan untuk selamanya.
Kedua ayat ini adalah ringkasan moral dan teologis dari seluruh Mazmur 9: bahwa Allah adalah Raja yang berdaulat, yang menghakimi dengan kebenaran dan menegakkan keadilan bagi yang tertindas. Di dalam dunia yang tampak tidak adil, ayat ini adalah pengingat bahwa Allah tidak pernah lupa, sekalipun manusia melupakan-Nya.
Menurut John Calvin, bagian ini adalah kontras antara dua kerajaan: kerajaan manusia yang berdosa dan kerajaan Allah yang kekal. Ia menulis, “Mazmur ini menunjukkan bahwa ketika dunia tampak dikuasai oleh kejahatan, Allah masih memerintah secara adil dari takhta-Nya di sorga.”
I. Konteks Historis dan Latar Mazmur 9
Mazmur ini ditulis oleh Daud, kemungkinan setelah kemenangan atas bangsa-bangsa yang menindas Israel (kemungkinan besar bangsa Filistin atau bangsa Kanaan). Namun, Mazmur ini tidak hanya berbicara tentang kemenangan militer; lebih dalam dari itu, Daud sedang menyanyikan pujian atas keadilan Allah yang menegakkan kebenaran atas bumi.
Mazmur 9:7–8 menegaskan bahwa “TUHAN bersemayam untuk selama-lamanya, Ia sudah mendirikan takhta-Nya untuk penghakiman.” Maka ayat 17–18 adalah puncak dari refleksi itu—pembalasan terhadap orang fasik dan penghiburan bagi yang tertindas.
Herman Bavinck melihat struktur Mazmur ini sebagai liturgi keadilan ilahi:
-
Allah memerintah (ay. 1–8),
-
Allah menghukum bangsa-bangsa (ay. 9–16),
-
Allah mengingat umat-Nya yang tertindas (ay. 17–18).
Bagi Daud, iman kepada Allah bukanlah penghiburan pribadi semata, tetapi keyakinan terhadap tatanan moral kosmos yang dijaga oleh Allah sendiri.
II. Eksposisi Mazmur 9:17–18
Mari kita teliti kedua ayat ini dengan lebih rinci.
Mazmur 9:17: “Orang-orang fasik akan kembali ke dunia orang mati, yakni segala bangsa yang melupakan Allah.”
1. “Orang-orang fasik akan kembali ke dunia orang mati”
Kata “fasik” (Ibrani: rasha‘) berarti orang yang menentang hukum Allah secara sadar. Mereka bukan sekadar orang yang berbuat dosa, tetapi orang yang hidup tanpa takut akan Tuhan. Kata “kembali” di sini menunjukkan konsekuensi moral: orang yang menjauh dari Allah akan kembali ke tempat asal penderitaan—ke dalam kematian rohani.
John Gill, teolog Baptis Reformed, menafsirkan bahwa “kembali ke dunia orang mati” (Sheol) bukan sekadar kematian jasmani, tetapi keterpisahan kekal dari hadirat Allah. Dalam pandangan Reformed, ini sejalan dengan doktrin reprobation—bahwa orang fasik, yang terus menolak kasih karunia Allah, akhirnya akan menerima ganjaran adil atas pemberontakan mereka.
Calvin menulis:
“Orang fasik tidak akan hilang tanpa maksud; mereka dikembalikan ke tempat dari mana mereka berasal—tempat kegelapan dan tanpa Allah. Dunia yang mereka pilih tanpa Tuhan akan menjadi bagian kekal mereka.”
Artinya, dosa bukan hanya menjerumuskan manusia ke dalam penderitaan moral, tetapi juga mengikat manusia pada konsekuensi kekalnya.
2. “Yakni segala bangsa yang melupakan Allah”
Ungkapan ini memperluas cakupan: bukan hanya individu, tetapi seluruh bangsa dapat menjadi fasik ketika mereka melupakan Allah. Ini adalah peringatan serius bagi peradaban mana pun yang membuang Allah dari kehidupan publik.
Matthew Henry berkata,
“Bangsa yang melupakan Allah akan segera mengalami kehancuran, sebab pengabaian terhadap Allah adalah akar dari segala kejahatan sosial.”
Dengan kata lain, melupakan Allah bukanlah dosa pasif; itu adalah penolakan aktif terhadap kedaulatan Allah. Dalam teologi Reformed, hal ini menunjukkan bahwa seluruh struktur dunia—politik, ekonomi, dan budaya—harus tunduk di bawah pemerintahan Kristus (bdk. Kuyper: “Tidak ada satu inci pun di dunia ini yang Kristus tidak klaim sebagai milik-Nya.”)
Jadi, ayat ini menegaskan nasib moral dunia yang menolak Allah: mereka akan “kembali” ke keadaan kekacauan spiritual, kehilangan terang kebenaran, dan akhirnya jatuh ke dalam penghukuman ilahi.
Mazmur 9:18: “Sebab bukan untuk seterusnya orang miskin akan dilupakan, harapan orang yang tertindas tidak akan hilang untuk selamanya.”
Jika Mazmur 9:17 adalah tentang kebinasaan orang fasik, maka ayat 18 adalah kontras penuh penghiburan bagi umat Allah yang menderita.
1. “Bukan untuk seterusnya orang miskin akan dilupakan”
Kata “miskin” (aniyim) di sini tidak hanya berarti kemiskinan materi, tetapi mencakup seluruh keadaan tertindas, lemah, dan tak berdaya. Dalam pemikiran Mazmur, orang miskin adalah simbol dari mereka yang tidak memiliki kekuatan apa pun kecuali Allah.
John Calvin menulis:
“Ketika dunia menganggap orang saleh seolah dilupakan, Allah tetap mengingat mereka. Waktu Allah mungkin tampak tertunda, tetapi Ia tidak pernah lalai terhadap janji-Nya.”
Ini adalah inti dari iman Reformed: providence of God—pemeliharaan Allah yang bekerja di balik segala peristiwa, termasuk penderitaan umat-Nya. Allah tidak lupa. Keadilan-Nya mungkin tampak tertunda, tetapi tidak pernah gagal.
2. “Harapan orang yang tertindas tidak akan hilang untuk selamanya”
Kata “harapan” (tiqvah) dalam Ibrani berasal dari akar kata yang berarti “tali pengikat.” Artinya, harapan orang benar adalah sesuatu yang mengikat mereka kepada Allah. Dunia mungkin memutus semua tali, tetapi tali iman ini tidak dapat diputus.
Charles Spurgeon, dalam The Treasury of David, menulis dengan indah:
“Ketika harapan manusia padam, harapan orang percaya masih bersinar, sebab ia diikat bukan oleh kekuatan dirinya, melainkan oleh tangan Allah yang hidup.”
Ayat ini mengajarkan bahwa penderitaan tidak pernah menjadi kata terakhir dalam hidup orang percaya. Allah mungkin tampak diam, tetapi diamnya bukan tanda lupa, melainkan bagian dari rencana penebusan-Nya.
III. Doktrin-Doktrin Reformed dalam Mazmur 9:17–18
Teks ini mengandung tiga doktrin utama yang menjadi inti iman Reformed tentang Allah dan dunia.
1. Doktrin Keadilan Ilahi (Divine Justice)
Allah yang berdaulat tidak hanya mengampuni, tetapi juga menghakimi. Keadilan-Nya bukan sifat opsional, melainkan bagian dari esensi ilahi-Nya. Dalam Institutes, Calvin berkata:
“Allah tidak dapat menjadi Allah jika Ia tidak adil.”
Mazmur ini menunjukkan keseimbangan yang sempurna: Allah menghukum orang fasik (ay.17) dan menegakkan hak orang tertindas (ay.18). Dalam teologi Reformed, ini disebut retributive justice—penghukuman sesuai dengan keadilan moral Allah.
Keadilan Allah juga bersifat eschatological, yaitu akan dinyatakan sempurna pada hari penghakiman kelak. Apa yang tampak tidak adil hari ini akan diperbaiki oleh Allah dalam kekekalan.
2. Doktrin Providensi dan Kesetiaan Allah (Divine Providence and Faithfulness)
Mazmur 9:18 menunjukkan bahwa Allah memelihara umat-Nya bahkan di tengah penindasan. Herman Bavinck menegaskan bahwa providensi bukan hanya pemeliharaan umum atas dunia, tetapi juga kasih khusus Allah terhadap umat perjanjian-Nya.
Ketika orang miskin tampak dilupakan, sesungguhnya Allah sedang bekerja dalam diam. Dalam sejarah penebusan, kita melihat ini berulang kali: Allah “terdiam” selama 400 tahun di Mesir, tetapi tidak pernah meninggalkan Israel. Demikian pula, Ia mungkin tampak diam dalam hidup kita, tetapi diamnya bukan ketidakhadiran—melainkan karya tersembunyi dari kasih setia-Nya.
3. Doktrin Pengharapan dalam Penebusan (Redemptive Hope)
Dalam terang Kristus, Mazmur 9:18 mencapai puncaknya. Orang miskin dan tertindas melambangkan umat yang menantikan Mesias. Ketika Yesus datang, Ia berkata:
“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin…” (Lukas 4:18).
Dengan demikian, pengharapan orang tertindas tidak pernah hilang, sebab Kristus telah datang untuk menggenapi janji keadilan dan pembebasan Allah. Dalam salib, kita melihat gabungan antara ayat 17 dan 18:
-
Keadilan Allah terhadap dosa (orang fasik dihukum),
-
Kasih Allah terhadap umat-Nya (orang tertindas ditebus).
IV. Aplikasi bagi Gereja Masa Kini
1. Bangsa yang Melupakan Allah Akan Binasa
Mazmur 9:17 berbicara keras kepada dunia modern. Banyak bangsa hari ini membuang Allah dari sistem pendidikan, politik, dan moralitas. Namun, sejarah menunjukkan bahwa setiap bangsa yang melupakan Allah akan kehilangan arah dan keadilan.
Abraham Kuyper pernah berkata,
“Ketika manusia menyingkirkan Allah dari takhta, mereka akan segera saling menghancurkan untuk mengambil alih tempat itu.”
Sebagai umat Allah, kita dipanggil bukan hanya untuk menyembah secara pribadi, tetapi juga untuk menjadi garam dan terang di tengah masyarakat—menyuarakan bahwa tanpa Allah, bangsa akan binasa.
2. Jangan Putus Asa dalam Penindasan
Bagi orang percaya yang hidup dalam kesulitan, Mazmur 9:18 adalah janji penghiburan: “Bukan untuk seterusnya orang miskin akan dilupakan.” Dunia mungkin tidak peduli, tetapi Allah mengingat.
Spurgeon berkata:
“Ketika manusia melupakan air mata kita, Allah menyimpannya dalam kirbat-Nya.”
Kita harus melihat penderitaan bukan sebagai bukti bahwa Allah meninggalkan, tetapi sebagai kesempatan untuk melihat kesetiaan-Nya bekerja dalam kesenyapan.
3. Pelayanan Gereja kepada yang Lemah Adalah Cerminan Hati Allah
Karena Allah berpihak kepada yang tertindas, gereja yang sejati juga harus demikian. Teologi Reformed bukan hanya sistem pemikiran yang rasional, tetapi iman yang menghasilkan kasih dan tindakan. Gereja harus menjadi tempat di mana orang miskin, lemah, dan tertindas menemukan pengharapan yang hidup dalam Kristus.
4. Pengharapan yang Tidak Hilang: Kristus adalah Harapan Itu
Kristus adalah penggenapan dari semua harapan orang percaya. Ia turun ke dunia orang mati—tempat di mana orang fasik dikirim—agar kita yang percaya tidak perlu pergi ke sana. Dalam kebangkitan-Nya, harapan itu dibangkitkan bersama kita.
Maka, setiap kali kita membaca Mazmur 9:18, kita harus melihat salib dan kebangkitan Kristus sebagai bukti bahwa pengharapan orang tertindas tidak akan hilang untuk selamanya.
V. Kesimpulan: Allah yang Mengingat dan Menghakimi
Mazmur 9:17–18 mengajarkan bahwa sejarah manusia tidak netral. Allah aktif dalam mengatur dunia, menegakkan keadilan, dan menepati janji-Nya. Orang fasik akan kembali ke kegelapan karena mereka melupakan Allah, tetapi orang yang berharap kepada-Nya tidak akan pernah dilupakan.
Seperti ditulis John Calvin:
“Ketika Allah tampak berdiam diri, janganlah kita salah paham. Diam-Nya adalah ujian iman, bukan tanda lupa.”
Dan Charles Spurgeon menambahkan:
“Tidak ada air mata yang sia-sia di mata Allah; tidak ada doa yang hilang di hadapan-Nya.”
Maka, biarlah kita hidup dalam dua kesadaran ini:
-
Takut akan Allah yang adil—karena Ia menghakimi dunia dengan kebenaran.
-
Percaya kepada Allah yang setia—karena Ia mengingat orang yang tertindas.
Kita boleh hidup dalam dunia yang tampak dikuasai kejahatan, tetapi kerajaan Allah sedang datang dan akan dinyatakan sepenuhnya ketika Kristus kembali. Pada hari itu, ayat 17 akan tergenapi dalam penghakiman, dan ayat 18 akan tergenapi dalam pemulihan umat-Nya.