Penderitaan Dalam Konteks Penginjilan Rasul Paulus

Pendahuluan
Satu realitas yang sering membuat banyak orang Kristen terguncang adalah bahwa penderitaan bukan hanya bagian dari hidup manusia pada umumnya, tetapi juga bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan Injil. Ketika kita membaca kehidupan Rasul Paulus, kita melihat bahwa penderitaan bukan sekadar konsekuensi, tetapi justru alat yang dipakai Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya melalui Injil.
Tema hari ini—penderitaan dalam konteks penginjilan Rasul Paulus—adalah tema yang sangat penting untuk dipahami gereja modern. Kita hidup pada zaman ketika banyak orang memandang kekristenan sebagai jalan kemakmuran, ketenangan, kenyamanan, dan sukses. Namun Alkitab mengajarkan sebaliknya. Hidup Paulus menjadi kesaksian nyata bahwa ketika Injil diberitakan dengan setia, maka penderitaan secara langsung akan mengikuti.
Dalam teologi Reformed, penderitaan bukan kegagalan pelayanan, tetapi bagian dari providence Allah—kedaulatan Allah yang bekerja dalam segala hal, termasuk derita, untuk mendatangkan kemuliaan-Nya dan membentuk umat-Nya menjadi serupa Kristus.
Hari ini kita akan melihat bagaimana Paulus memandang penderitaan, bagaimana ia mengalaminya, dan bagaimana Injil justru semakin bersinar di tengah pergumulan dan kesakitan itu.
I. Penderitaan Paulus: Bukti Kesetiaan, bukan Ketidakberdayaan
Ketika Paulus dipanggil oleh Tuhan di jalan menuju Damsyik, Tuhan berkata kepada Ananias, “Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku” (Kis. 9:16). Dengan kata lain, penderitaan bukan kecelakaan dalam hidup Paulus, tetapi bagian dari panggilannya.
1. Penderitaan sebagai tanda kerasulan (2 Korintus 6:4–10)
Dalam 2 Korintus, Paulus menunjukkan bahwa pelayan sejati dibuktikan bukan oleh karisma, bukan oleh banyaknya mujizat, bukan oleh pengaruh, tetapi oleh ketabahan dan integritas di tengah penderitaan. Ia menulis:
“Dalam segala hal kami menunjukkan bahwa kami adalah pelayan Allah: dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesengsaraan, dan kesukaran…”
(2 Korintus 6:4)
Paulus sedang melawan para “super rasul” yang membanggakan diri, kekuatan, dan kemampuan mereka. Tetapi Paulus menegaskan bahwa justru penderitaan menunjukkan siapa yang benar-benar dipanggil Tuhan.
Pandangan Reformed:
John Calvin menekankan bahwa Allah tidak mengangkat hamba-Nya dari penderitaan, tetapi menguduskan mereka melalui penderitaan. Calvin menulis bahwa penderitaan adalah “meterai kerasulan” karena mereka yang sungguh sungguh melayani Allah pasti akan mengalami perlawanan dunia yang membenci Injil.
2. Penderitaan Paulus bukan tandanya ditinggalkan Allah
Ada ajaran keliru yang menganggap bahwa penderitaan adalah bukti kurangnya iman atau kurangnya perkenanan Tuhan. Teologi kemakmuran sering memutarbalikkan hal ini. Tetapi Paulus justru menegaskan bahwa penderitaannya bukan bukti ia gagal, melainkan bukti bahwa Injil yang ia bawa adalah ancaman bagi kerajaan kegelapan.
Dalam Galatia 6:17, Paulus berkata:
“Dari sekarang janganlah ada orang yang menyusahkan aku, karena padaku ada tanda-tanda milik Yesus.”
Apa tanda-tanda itu?
Bekas luka, cambukan, penjara—ciri-ciri pengikut Kristus sejati.
II. Mengapa Penderitaan Menyertai Penginjilan?
1. Dunia membenci terang (Yohanes 3:19–20)
Yesus telah mengajarkan bahwa dunia membenci terang karena perbuatan mereka jahat. Ketika Injil diberitakan, dosa terungkap. Manusia berdosa tidak suka dikonfrontasi. Paulus bukan menderita karena ia melakukan kejahatan; ia menderita karena ia menyatakan kebenaran.
Itulah sebabnya di setiap kota yang ia datangi—ikonium, listra, filipi, tesalonika, korintus—penolakan selalu mengikuti.
2. Injil menghancurkan berhala-berhala dunia
Salah satu alasan utama Paulus dianiaya adalah karena Injil menghancurkan berhala ekonomi, sosial, dan religius.
-
Di Efesus, ia dikejar karena Injil mengancam ekonomi pembuat patung Artemis.
-
Di Filipi, ia dipenjara karena membebaskan seorang perempuan dari roh tenung, sehingga majikannya kehilangan sumber penghasilan.
-
Di Tesalonika, ia dituduh “mengacaukan dunia” (Kis. 17:6).
Tiap kali Injil menyentuh kota, struktur dosa pasti terguncang.
Perspektif Reformed:
Teologi Reformed menekankan bahwa Injil tidak hanya menyelamatkan pribadi tetapi juga merombak seluruh struktur kehidupan. Karena itu, pemberitaan Injil pasti berbenturan dengan dunia yang mempertahankan berhala-berhala kebanggaan dan keamanannya.
3. Penderitaan sebagai partisipasi dalam penderitaan Kristus
Dalam Filipi 3:10, Paulus berkata ia ingin:
“mengenal Kristus… dan persekutuan dalam penderitaan-Nya.”
Ini bukan penderitaan yang menyelamatkan.
Hanya Kristus yang dapat menebus dosa.
Tetapi pelayanan Injil membuat Paulus ikut memikul “salib pelayanan”—penganiayaan yang datang karena membela Injil yang sama dengan yang Kristus bawa.
Bagi Paulus, penderitaan bukan musuh.
Penderitaan adalah jalan untuk semakin mengenal Kristus.
III. Penderitaan Paulus sebagai Kesaksian tentang Kuasa Injil
1. Dalam penderitaan, Injil justru semakin diberitakan (Filipi 1:12–14)
Saat Paulus dipenjara di Roma, ia tidak meratap. Ia berkata:
“Hal ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil.”
Bagi Paulus, penjara bukan halangan. Penjara adalah panggung baru bagi pemberitaan Injil.
Para prajurit istana mengenal Injil. Jemaat semakin berani memberitakan firman.
Pelajaran Reformed:
Dalam providensi-Nya, Allah sering memakai penderitaan untuk membuka pintu yang tidak mungkin terbuka dalam keadaan “normal”.
Seperti dikatakan oleh R.C. Sproul: “Kedaulatan Allah adalah bantal yang lembut bagi orang percaya yang menderita.”
2. Penderitaan menjadi bukti keaslian Injil
Dalam 2 Korintus 4:7–10, Paulus menggambarkan tubuhnya seperti “bejana tanah liat”.
Ini penting.
Allah memilih wadah yang rapuh agar kuasa-Nya makin nyata.
“Di segala sisi kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa…”
Dengan kata lain, penderitaan tidak menghancurkan Paulus karena Injil yang menopang hidupnya lebih besar daripada beban apa pun yang ia tanggung.
Pandangan John Stott:
Injil bukanlah berita tentang manusia yang kuat, tetapi Allah yang kuat memakai manusia lemah. Paulus menderita supaya dunia melihat bahwa kekuatan pelayanan itu bukan berasal dari dirinya, tetapi dari Allah.
3. Penderitaan memberi bobot moral pada pesan Injil
Seorang penginjil yang tidak bersedia menderita demi Injil tidak memiliki bobot kesaksian seperti Paulus.
Dalam kisah para rasul, dunia percaya bukan karena Paulus pandai, tetapi karena ia hidup dan mati untuk Injil.
Penderitaan memberi integritas pada pemberitaan Injil.
Orang yang hidup nyaman tanpa risiko sering kehilangan otoritas rohani.
Tetapi orang yang tetap setia di tengah penderitaan, memberi bukti bahwa Injil itu benar-benar berharga.
IV. Respons Paulus terhadap Penderitaan: Perspektif Teologi Reformed
1. Paulus melihat penderitaan melalui kacamata kedaulatan Allah
Dalam Roma 8:28, Paulus berkata:
“Allah turut bekerja dalam segala sesuatu…”
Termasuk penjara, cambuk, kapalnya yang karam, dan duri dalam dagingnya.
Teologi Reformed sangat menekankan hal ini:
Allah tidak hanya mengizinkan, tetapi juga memakai penderitaan secara aktif untuk menggenapi rencana-Nya.
Calvin menulis:
“Tidak satu pun tetesan air hujan jatuh tanpa kehendak Allah.”
Betapa lebih lagi penderitaan hamba-Nya!
2. Paulus melihat penderitaan sebagai sarana pengudusan
Dalam 2 Korintus 12:7–10, Paulus menceritakan tentang “duri dalam daging”.
Ia meminta Tuhan mengangkatnya.
Tuhan menjawab, “Cukuplah kasih karunia-Ku.”
Tujuannya adalah supaya Paulus tidak meninggikan diri.
Penderitaan membuat dirinya:
-
lebih rendah hati,
-
lebih taat,
-
lebih bergantung pada Kristus.
Reformed theology menyebut ini sanctifying suffering—penderitaan yang membentuk karakter.
3. Paulus memiliki pandangan eskatologis yang kuat
Dalam Roma 8:18 ia menulis:
“Penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.”
Itu sebabnya ia tidak menyerah.
Paulus melihat melampaui dunia ini.
V. Penderitaan Paulus bagi Gereja Masa Kini
1. Gereja dipanggil untuk memberitakan Injil meski harus menderita
Banyak gereja modern takut berbicara tentang dosa, takut berbicara tentang salib, takut menyinggung budaya. Gereja lebih suka aman daripada taat.
Tetapi jika gereja ingin kembali kepada kekuatan injili seperti gereja mula-mula, kita harus siap menderita.
-
mungkin dicemooh,
-
mungkin ditolak keluarga,
-
mungkin mengalami hambatan pekerjaan,
-
mungkin kehilangan kenyamanan.
Tetapi Injil tidak akan menyebar tanpa pengorbanan.
2. Penderitaan bukan tanda kegagalan, tetapi tanda kesetiaan
Paulus menderita bukan karena ia salah.
Alkitab mencatat bahwa justru para nabi palsu hidup nyaman.
Jika dunia selalu nyaman dengan kita, kita harus bertanya:
Apakah Injil benar-benar sedang kita wartakan?
3. Penderitaan memurnikan motivasi pelayanan
Kita melayani bukan karena pengakuan manusia, tetapi untuk kemuliaan Allah.
Penderitaan menyingkapkan apakah kita melayani untuk kenyamanan atau untuk Kristus.
4. Penderitaan membuka pintu penginjilan
Seringkali dalam penderitaan:
-
orang lebih terbuka mendengar Injil,
-
relasi menjadi lebih dalam,
-
hati menjadi lebih peka.
Pelayanan yang dikerjakan di tengah penderitaan memiliki kredibilitas jauh lebih besar.
VI. Penderitaan Paulus sebagai Teladan Kekristenan yang Matang
1. Ketekunan
Dalam 2 Timotius 4:7 Paulus berkata:
“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik...”
Ia tetap setia sampai akhir.
Banyak orang memulai pelayanan dengan antusias, tetapi berhenti ketika masalah datang.
2. Sukacita di tengah penderitaan
Dalam Filipi, surat yang ditulis di penjara, kata “bersukacita” muncul 16 kali.
Sukacita Paulus tidak berdasarkan situasi, tetapi pada Kristus.
3. Fokus kepada Kerajaan Allah
Paulus tidak terjebak pada penderitaan sementara, karena ia melihat hal yang kekal.
Kesimpulan Besar
-
Penderitaan adalah bagian dari panggilan penginjilan.
-
Penderitaan bukan bukti Allah meninggalkan kita.
-
Melalui penderitaan, Injil justru semakin diperdengarkan.
-
Penderitaan membentuk kita menjadi lebih serupa Kristus.
-
Penderitaan memberi bobot pada kesaksian kita.
-
Ketika gereja memahami penderitaan seperti Paulus, gereja akan menjadi lebih kuat, lebih murni, dan lebih Injili.
Penutup – Ajakan untuk Jemaat
Saudara-saudara, marilah kita belajar dari Paulus. Jangan mundur ketika penderitaan datang.
Jangan diam ketika Injil harus diberitakan.
Jangan mencari kenyamanan lebih daripada ketaatan.
Jika kita mengikut Kristus, kita harus memikul salib.
Tetapi percayalah: salib itu membawa hidup.
Salib itu membawa kuasa.
Salib itu membawa kemuliaan.
Mari melayani Kristus apa pun harganya.
Karena hanya Dialah sumber kekuatan, penghiburan, dan upah kekal kita.