Tabir yang Terbelah: Jalan Terbuka ke Hadirat Allah

Eksposisi Matius 27:51 dalam Terang Teologi Reformed
Pendahuluan: Dari Pemisahan Menuju Persekutuan
Peristiwa terbelahnya tabir Bait Allah pada saat kematian Kristus adalah salah satu momen paling dramatis dan teologis dalam seluruh Kitab Suci. Di tengah kegelapan dan gempa bumi yang menyertai kematian Yesus, tabir besar yang memisahkan Ruang Kudus dan Ruang Maha Kudus di Bait Allah terbelah dua dari atas ke bawah.
Peristiwa ini bukan sekadar fenomena fisik — ini adalah deklarasi ilahi bahwa jalan menuju Allah telah dibuka sepenuhnya.
Dalam teologi Reformed, momen ini adalah simbol dan realitas dari penggenapan perjanjian baru, di mana Kristus, Sang Imam Besar Agung, telah menyelesaikan karya penebusan. Tidak lagi ada penghalang antara manusia berdosa dan Allah yang kudus, karena darah Anak Domba telah menebus dan mendamaikan.
I. Makna Historis Tabir Bait Allah
1. Fungsi dan simbolisme tabir
Tabir (bahasa Yunani: katapetasma) bukan kain biasa. Dalam Keluaran 26:31–33 dijelaskan bahwa tabir itu dibuat dari lenan halus dengan warna ungu, biru, dan kirmizi, dihiasi gambar kerub.
Tabir ini berfungsi sebagai pemisah antara Ruang Kudus dan Ruang Maha Kudus, tempat di mana hadirat Allah dinyatakan di atas Tabut Perjanjian.
Hanya Imam Besar yang boleh masuk ke sana — dan hanya sekali setahun pada Hari Pendamaian (Yom Kippur), dengan membawa darah korban (Imamat 16).
Dengan demikian, tabir ini adalah simbol pemisahan antara Allah dan manusia.
Ia menyatakan bahwa dosa membuat manusia tidak dapat mendekati Allah tanpa perantara dan tanpa darah yang tertumpah.
John Calvin menulis:
“Tabir adalah saksi dari jarak antara Allah dan manusia; jarak itu hanya dapat dihapuskan oleh darah Kristus.” (Commentary on the Gospels)
2. Ketebalan dan kemegahan tabir
Menurut tradisi Yahudi (dalam Mishnah), tabir Bait Allah tebalnya satu telapak tangan (sekitar 10 cm) dan tingginya sekitar 18 meter. Tabir ini bukan kain rapuh yang bisa robek oleh manusia. Maka ketika Matius menulis bahwa tabir “robek dari atas ke bawah,” itu menunjukkan tindakan ilahi, bukan manusiawi.
R.C. Sproul menegaskan:
“Tidak ada tangan manusia yang dapat merobek tabir itu. Dari atas ke bawah berarti dari Allah kepada manusia — bukan sebaliknya.”
Peristiwa ini adalah tindakan simbolis Allah sendiri yang menunjukkan bahwa dengan kematian Kristus, penghalang antara manusia dan hadirat-Nya telah dihapus.
II. Eksposisi Matius 27:51
“Dan, lihat, tirai dalam Bait Allah robek menjadi dua bagian, dari atas sampai ke bawah, dan bumi berguncang, dan batu-batu terbelah.”
1. “Dan lihat” – Seruan perhatian
Matius memakai kata “lihat” (idou, Yunani) untuk menarik perhatian pembacanya:
Peristiwa ini bukan kebetulan alamiah, melainkan tanda ilahi yang menafsirkan kematian Yesus.
Dalam tradisi Reformed, tanda-tanda seperti ini disebut sacramental signs — yaitu peristiwa lahiriah yang menyatakan realitas rohani.
Allah sedang “berkhotbah” melalui peristiwa alam.
2. “Tirai dalam Bait Allah robek menjadi dua bagian”
Inilah inti dari ayat ini.
Ketika Yesus menyerahkan nyawa-Nya dan berseru, “Sudah selesai” (Yoh. 19:30), tabir itu terbelah dua.
John Owen, dalam The Death of Death in the Death of Christ, menjelaskan:
“Tabir yang robek adalah lambang dari tubuh Kristus yang dipecahkan. Melalui tubuh-Nya yang diserahkan, jalan menuju Allah terbuka.”
Owen menafsirkan tabir sebagai simbol dari tubuh Kristus (bandingkan Ibrani 10:19–20):
“Kita mempunyai jalan baru dan hidup yang telah dibukakan bagi kita melalui tabir, yaitu tubuh-Nya.”
Dengan demikian, peristiwa tabir yang robek adalah penggenapan konkret dari Ibrani 10:19–22.
Tubuh Kristus adalah tabir yang dibuka agar kita dapat masuk ke hadirat Allah dengan keberanian.
Jonathan Edwards menambahkan:
“Ketika tabir robek, kasih Allah yang selama ini tersembunyi di balik hukum, kini dinyatakan melalui salib.”
Artinya, Injil bukan hanya pembatalan kutuk hukum, tetapi juga penyingkapan wajah kasih Allah yang sejati.
3. “Dari atas sampai ke bawah” – Tindakan Allah
Robeknya tabir dari atas ke bawah menandakan bahwa Allah sendiri yang memprakarsai pendamaian ini.
Tidak ada manusia yang dapat membuka jalan kepada Allah; Allah-lah yang turun membuka jalan bagi manusia.
Herman Bavinck menulis:
“Keselamatan bukanlah manusia naik menuju Allah, melainkan Allah turun dalam Kristus untuk membawa manusia kembali kepada-Nya.” (Reformed Dogmatics)
Bavinck melihat dalam tabir yang terbelah ini inkarnasi dan penebusan bergabung dalam satu tindakan kasih karunia Allah.
Inilah inti dari sola gratia — keselamatan semata-mata karena anugerah.
4. “Bumi berguncang dan batu-batu terbelah”
Gempa bumi ini menandakan respon kosmik terhadap karya penebusan.
Seluruh ciptaan bergetar karena Sang Pencipta telah mati demi menebusnya.
John Piper menulis:
“Ketika Kristus mati, bumi gemetar bukan karena marah, tetapi karena kagum. Sang Pencipta menyerahkan diri-Nya demi ciptaan.”
Dalam teologi Reformed, hal ini disebut the cosmic scope of redemption — bahwa karya Kristus tidak hanya menyelamatkan manusia, tetapi juga memulihkan seluruh ciptaan yang telah rusak oleh dosa.
(Roma 8:19–22)
III. Makna Teologis dari Tabir yang Terbelah
1. Akhir dari sistem korban Perjanjian Lama
Sebelum salib, sistem korban menandai pengampunan yang bersifat sementara.
Setiap tahun imam harus mempersembahkan darah untuk dirinya dan untuk umat (Ibrani 9:7).
Namun setelah Kristus mati, tidak ada lagi korban yang perlu dipersembahkan.
Tabir yang robek adalah tanda bahwa korban terakhir sudah diberikan — sekali untuk selamanya.
John Calvin berkata:
“Ketika tabir itu robek, ritual dan bayangan hukum Taurat juga lenyap. Kini terang Injil menggantikan semua bentuk simbolik yang lama.”
Dalam teologi Reformed, ini disebut the finality of Christ’s sacrifice — kesempurnaan dan finalitas korban Kristus.
Ia bukan hanya pengganti, melainkan penggenapan seluruh sistem ibadah Bait Allah.
2. Akses langsung kepada hadirat Allah
Sebelum tabir terbelah, hanya imam besar yang dapat masuk ke Ruang Maha Kudus.
Namun kini, setiap orang yang percaya memiliki akses langsung kepada Allah melalui Kristus.
Ibrani 4:16 berkata:
“Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia.”
R.C. Sproul menafsirkan:
“Kematian Kristus menghapus perantara manusia, bukan karena kita menjadi setara dengan Allah, tetapi karena kita telah dipersatukan dengan Kristus, Sang Perantara yang sempurna.”
Inilah prinsip Reformed tentang priesthood of all believers — bukan berarti semua orang menjadi imam dalam pengertian hierarkis, tetapi setiap orang percaya kini memiliki akses langsung ke Allah melalui Kristus, Imam Besar Agung.
3. Rekonsiliasi antara Allah dan manusia
Tabir yang terbelah bukan hanya membuka akses, tetapi juga menandai berakhirnya permusuhan antara Allah dan manusia.
Kristus menanggung murka Allah agar umat-Nya bisa berdamai dengan-Nya.
John Owen menulis:
“Tabir yang robek menunjukkan bahwa dinding pemisah antara Allah dan manusia telah diruntuhkan, bukan dengan kompromi, tetapi dengan darah pendamaian.”
Inilah inti dari doktrin reconciliation dalam teologi Reformed:
Kristus tidak hanya menanggung dosa, tetapi memulihkan hubungan antara manusia dan Allah.
IV. Tabir yang Terbelah dan Tubuh Kristus yang Dihancurkan
Penulis Ibrani secara eksplisit mengaitkan tabir dengan tubuh Kristus:
“...melalui jalan baru dan yang hidup yang telah dibukakan bagi kita melalui tabir, yaitu tubuh-Nya.”
(Ibrani 10:20)
Herman Bavinck menafsirkan:
“Ketika tubuh Kristus dipecahkan, hadirat Allah yang selama ini tersembunyi di balik simbol-simbol Perjanjian Lama kini dinyatakan sepenuhnya.”
Tubuh Kristus menjadi “tabir” yang menutupi kemuliaan Allah agar manusia tidak binasa, dan melalui kematian-Nya tabir itu dibuka agar manusia bisa melihat Allah dan hidup.
Jonathan Edwards menyebut salib sebagai:
“Pintu gerbang kemuliaan Allah yang terbuka bagi mereka yang ditebus.”
V. Dimensi Kristologis dan Eskatologis
1. Kristus sebagai Imam Besar Agung
Kematian Kristus bukan hanya korban, tetapi juga pelayanan imamat tertinggi.
Ia mempersembahkan diri-Nya, bukan darah binatang; di hadirat Allah sendiri, bukan di ruang buatan manusia.
Ibrani 9:11–12:
“Kristus telah datang sebagai Imam Besar... Ia masuk ke tempat kudus bukan dengan darah domba atau anak lembu, tetapi dengan darah-Nya sendiri, sekali untuk selama-lamanya.”
John Owen menegaskan:
“Imam-imam manusia masuk dengan takut; Kristus masuk dengan hak.”
Ia membuka jalan bukan untuk sementara, tetapi untuk selamanya.
2. Kristus sebagai Tabut dan Kemah Allah yang sejati
Ketika tabir robek, Bait Allah kehilangan maknanya, karena Kristus sendiri adalah Bait Allah yang sejati.
Yohanes 2:19–21 menyatakan:
“Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan membangunnya kembali... yang dimaksudkan-Nya ialah tubuh-Nya sendiri.”
Dengan demikian, Kristus menggantikan Bait Allah. Ia adalah tempat di mana Allah dan manusia bertemu.
R.C. Sproul menyimpulkan:
“Tidak ada lagi ruang Maha Kudus di dunia ini, karena Kristus telah membawa surga ke bumi.”
3. Harapan Eskatologis: Tabir terakhir akan dihapus selamanya
Tabir di Bait Allah telah robek, tetapi masih ada “tabir” lain — tabir kematian dan dosa di dunia ini.
Namun, Wahyu 21:3 menubuatkan hari di mana tabir terakhir akan diangkat:
“Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia, dan Ia akan diam bersama-sama mereka.”
Herman Bavinck menulis:
“Apa yang dimulai di Golgota akan mencapai puncaknya di Yerusalem Baru, ketika tidak ada lagi tabir antara Allah dan umat-Nya.”
VI. Aplikasi Bagi Kehidupan Kristen
1. Datanglah dengan keberanian kepada Allah
Karena tabir telah terbelah, kita dipanggil untuk datang kepada Allah dengan iman, bukan ketakutan.
Doa bukan lagi upacara kaku, tetapi persekutuan langsung dengan Bapa melalui Kristus.
John Piper berkata:
“Doa Kristen adalah hasil dari tabir yang telah robek — sebuah hak istimewa yang dibeli dengan darah.”
2. Hiduplah dalam kekudusan, sebab hadirat Allah kini tinggal di dalam kita
Ketika tabir terbelah, hadirat Allah tidak lagi terbatas pada Bait Allah, tetapi kini berdiam dalam diri orang percaya (1 Korintus 6:19).
Tubuh kita adalah bait Roh Kudus.
Karena itu, orang Kristen dipanggil untuk hidup kudus, bukan dengan kekuatan sendiri, tetapi dengan Roh yang tinggal di dalamnya.
3. Bersyukurlah untuk anugerah yang membuka jalan
Tabir yang robek menunjukkan bahwa keselamatan sepenuhnya karya Allah.
Kita tidak bisa mengoyak tabir itu dengan amal, ibadah, atau kesalehan kita.
John Calvin berkata:
“Jika tabir dirobek dari atas ke bawah, maka semua kesombongan manusia harus runtuh dari bawah ke atas.”
4. Arahkan ibadah pada Kristus yang hidup
Setelah tabir terbelah, fokus ibadah bukan lagi pada tempat atau ritual, tetapi pada Pribadi.
Ibadah sejati adalah memandang kemuliaan Allah di wajah Kristus (2 Korintus 4:6).
R.C. Sproul menulis:
“Setiap liturgi Kristen yang sejati harus dimulai dari salib, karena di situlah tabir robek dan kasih Allah dinyatakan.”
Kesimpulan: Allah Telah Membuka Jalan
Ketika Yesus mati dan tabir Bait Allah terbelah dua, sejarah manusia berubah selamanya.
Yang dahulu tertutup kini terbuka; yang dahulu terpisah kini diperdamaikan.
Tabir itu robek dari atas ke bawah — dari Allah ke manusia — karena inisiatif keselamatan datang dari Dia yang berdaulat penuh dalam kasih-Nya.
John Owen menulis:
“Melalui tabir yang robek itu, kita tidak hanya melihat hadirat Allah, tetapi juga diundang masuk ke dalamnya.”
Kini, setiap orang percaya boleh datang ke hadirat Allah tanpa takut, karena Kristus telah menjadi jalan, kebenaran, dan hidup.
Tidak ada lagi penghalang, tidak ada lagi jarak — hanya kasih dan kemuliaan yang kekal.