2 Samuel 9:1-18: Kasih Karunia di Istana Raja

Pendahuluan: Kasih Karunia yang Tidak Terduga
Kisah Daud dan Mefiboset dalam 2 Samuel 9:1-18 merupakan salah satu gambaran paling indah tentang kasih karunia (grace) dalam Perjanjian Lama. Setelah masa peperangan dan pergolakan politik yang panjang, Daud kini duduk mantap di takhta Israel. Biasanya, seorang raja yang baru berkuasa akan menyingkirkan keturunan raja sebelumnya untuk mencegah ancaman politik. Namun Daud melakukan sesuatu yang radikal — ia mencari keturunan Saul bukan untuk membunuh, melainkan untuk memberi kasih karunia.
“Daud bertanya, ‘Masih adakah orang yang tersisa dari keluarga Saul supaya aku dapat menunjukkan kebaikan kepadanya demi Yonatan?’” (2 Samuel 9:1, AYT)
Kisah ini lebih dari sekadar narasi sejarah; ini adalah gambar Injil — kisah tentang Allah yang menunjukkan kasih setia kepada orang berdosa yang tidak layak, melalui perjanjian kasih yang telah diikrarkan sebelumnya.
Dalam teologi Reformed, 2 Samuel 9 dianggap sebagai tipe (type) dari karya keselamatan Allah dalam Kristus: seorang raja yang berdaulat menunjukkan kasih setia kepada musuh yang tidak berdaya.
I. Latar Belakang Historis dan Teologis
Untuk memahami 2 Samuel 9, kita harus kembali ke hubungan antara Daud dan Yonatan. Di 1 Samuel 18–20, keduanya mengikat perjanjian persahabatan yang kudus — sebuah covenant of kindness.
“Yonatan membuat perjanjian dengan Daud karena ia mengasihinya seperti dirinya sendiri.” (1 Samuel 18:3)
Ketika Saul mati, perjanjian ini belum terlupakan. Walaupun Daud kini raja dan Saul telah menjadi musuh yang mati, kasih setia (chesed) — istilah Ibrani yang sering diterjemahkan sebagai “kebaikan” atau “kasih setia” — tetap mengikat Daud untuk setia pada perjanjian itu.
John Calvin dalam Commentary on 2 Samuel menulis:
“Daud menunjukkan bahwa kasih sejati bukan bergantung pada perasaan sesaat, tetapi pada kesetiaan terhadap perjanjian. Dalam hal ini, ia mencerminkan kesetiaan Allah kepada umat-Nya.”
Kasih Daud bukan sentimentalitas politik, melainkan kebenaran perjanjian — sebuah konsep inti dalam teologi Reformed. Allah berhubungan dengan umat-Nya melalui perjanjian kasih karunia; demikian pula Daud bertindak atas dasar janji yang ia buat kepada Yonatan.
II. 2 Samuel 9:1–3: Pencarian Raja atas yang Tersisa
“Daud bertanya, ‘Masih adakah orang yang tersisa dari keluarga Saul supaya aku dapat menunjukkan kebaikan kepadanya demi Yonatan?’” (2 Samuel 9:1)
Pertanyaan Daud menyingkapkan hati yang telah disentuh oleh kasih karunia.
Biasanya, raja baru akan bertanya: “Masih adakah yang tersisa dari keluarga Saul yang harus aku lenyapkan?”
Namun Daud bertanya sebaliknya: “Masih adakah yang tersisa… supaya aku dapat berbuat baik kepadanya?”
1. Inisiatif Kasih Karunia
Kisah ini memperlihatkan bahwa inisiatif kasih karunia datang dari sang raja, bukan dari pihak yang lemah. Mefiboset tidak mencari Daud; Daudlah yang mencari Mefiboset.
Ini menggambarkan cara kerja Allah dalam keselamatan.
Roma 3:11: “Tidak ada seorang pun yang mencari Allah.”
Namun Allah berinisiatif mendekati manusia yang berdosa.
R.C. Sproul menulis:
“Kasih karunia bukanlah Allah menanggapi usaha manusia, tetapi Allah bertindak ketika manusia bahkan tidak menyadari kebutuhannya.”
2. Dasar Kasih Karunia: Perjanjian
Daud tidak bertindak berdasarkan simpati semata, melainkan karena perjanjian kasih dengan Yonatan. Demikian pula Allah tidak menyelamatkan kita karena layak, tetapi karena perjanjian kekal di dalam Kristus.
Herman Bavinck menulis:
“Seluruh relasi Allah dengan umat-Nya dibangun di atas dasar perjanjian, bukan perasaan. Kasih setia-Nya adalah bentuk legal dari cinta yang kekal.”
III. 2 Samuel 9:4–6: Mefiboset Ditemukan di Lodebar
Ziba, hamba Saul, menjawab bahwa masih ada satu orang: Mefiboset, anak Yonatan, yang tinggal di Lodebar — sebuah tempat terpencil dan tandus di luar Yerusalem.
“Ia tinggal di rumah Makhir bin Amiel di Lodebar.” (2 Samuel 9:4)
Nama “Lodebar” secara harfiah berarti “tanpa padang rumput” — tempat yang miskin dan hina.
Mefiboset juga cacat kaki sejak kecil (2 Samuel 4:4). Ia adalah keturunan musuh raja dan juga tidak berguna secara sosial. Ia tidak memiliki hak, kekuatan, maupun daya tawar.
Ini menggambarkan kondisi manusia di hadapan Allah: terluka, terbuang, dan tidak layak.
Kita seperti Mefiboset — tersembunyi di “Lodebar” dosa dan ketidakberdayaan, sampai kasih karunia raja datang menjemput kita.
John Owen menulis:
“Setiap manusia secara rohani adalah Mefiboset: cacat oleh dosa, takut akan hukuman, dan tidak mungkin datang kepada raja tanpa panggilan kasih karunia.”
IV. 2 Samuel 9:7: Janji Kasih Karunia Raja
“Daud berkata kepadanya, ‘Jangan takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kebaikan kepadamu demi Yonatan, ayahmu. Aku akan mengembalikan kepadamu seluruh tanah Saul, kakekmu, dan engkau akan tetap makan di mejaku.’” (ay. 7)
Ayat ini adalah inti dari seluruh pasal — Injil dalam bentuk cerita.
1. “Jangan takut” – Kasih yang menenangkan
Mefiboset datang dengan gemetar, karena ia tahu keturunan raja sebelumnya biasanya dibunuh. Namun Daud menenangkannya dengan kata, “Jangan takut.”
Demikian juga Allah berbicara kepada umat-Nya yang berdosa, “Jangan takut” (Lukas 2:10; Yesaya 43:1).
Kasih karunia selalu mematahkan ketakutan.
1 Yohanes 4:18: “Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan.”
2. “Aku akan menunjukkan kebaikan kepadamu” – Chesed yang aktif
Kata Ibrani “kebaikan” di sini adalah chesed, yang berarti kasih setia berdasarkan perjanjian.
Kasih ini bukan emosi, tetapi tindakan konkret berdasarkan janji yang tidak berubah.
Louis Berkhof menjelaskan:
“Chesed adalah ekspresi kasih perjanjian Allah — kasih yang tidak bergantung pada perubahan manusia, tetapi pada kesetiaan ilahi.”
3. “Aku akan mengembalikan tanahmu” – Restorasi
Kasih karunia bukan hanya pengampunan, tetapi juga pemulihan.
Mefiboset tidak hanya diampuni dari hukuman, tetapi juga menerima kembali warisan Saul.
Ini menggambarkan bagaimana Allah memulihkan manusia berdosa bukan sekadar dengan membatalkan penghukuman, tetapi mengembalikannya kepada kemuliaan anak-anak Allah (Roma 8:17).
4. “Engkau akan makan di mejaku” – Persekutuan
Daud tidak hanya menaruh belas kasihan dari jauh, tetapi mengundang Mefiboset ke meja persekutuan raja.
Di dunia kuno, duduk di meja raja berarti hubungan kekeluargaan dan kehormatan.
Demikianlah Injil: Allah tidak hanya mengampuni kita, tetapi mengundang kita duduk di meja-Nya — Perjamuan kasih karunia.
Charles Spurgeon berkata:
“Mefiboset duduk di meja Daud seperti kita duduk di meja Kristus. Kecacatan kita tertutup oleh kasih, dan kita makan bukan karena layak, tetapi karena diundang.”
V. 2 Samuel 9:8: Respons Kerendahan Hati
“Ia sujud dan berkata, ‘Apakah hambamu ini, sehingga engkau memperhatikan anjing mati seperti aku?’” (ay. 8)
Respons Mefiboset mencerminkan kesadaran dosa dan kerendahan hati — ciri khas iman sejati.
Dalam pandangan budaya Timur, menyebut diri “anjing mati” adalah simbol kehinaan total.
Dalam teologi Reformed, inilah awal keselamatan: pengakuan total akan ketidaklayakan diri.
John Calvin menulis:
“Tidak ada yang dapat menerima kasih karunia kecuali yang telah terlebih dahulu merasa dirinya tidak layak.”
VI. 2 Samuel 9:9–11: Penggenapan Janji dan Pemeliharaan
Daud kemudian memanggil Ziba, hamba Saul, dan memberikan perintah agar seluruh warisan Saul dikelola untuk Mefiboset. Namun, Mefiboset sendiri tetap makan di meja raja setiap hari.
“Mefiboset makan di meja Daud seperti salah satu anak raja.” (2 Samuel 9:11)
Inilah puncak kasih karunia — dari musuh menjadi anak.
Statusnya berubah, bukan karena jasa, tetapi karena keputusan kasih dari sang raja.
R.C. Sproul menulis:
“Justification is more than pardon; it is adoption. We are not merely spared, but embraced.”
(“Pembenaran lebih dari sekadar pengampunan; itu adalah pengangkatan. Kita tidak hanya diampuni, tetapi juga dipeluk.”)
Kasih karunia bukan hanya membebaskan dari dosa, tetapi memasukkan kita ke dalam keluarga Allah.
Mefiboset sekarang hidup di istana, makan bersama anak-anak Daud — bukan karena layak, tetapi karena kasih setia raja.
VII. 2 Samuel 9:12–13: Kasih Karunia yang Berlanjut
Perikop berakhir dengan catatan bahwa Mefiboset tetap tinggal di Yerusalem dan makan di meja raja setiap hari.
“Ia timpang pada kedua kakinya.” (2 Samuel 9:13)
Perhatikan: kelemahan Mefiboset tidak disembuhkan.
Kasih karunia tidak selalu menghapus semua luka jasmani atau sejarah masa lalu. Namun kelemahan itu kini berada di dalam persekutuan kasih yang menebus.
Geerhardus Vos menulis:
“Kasih karunia tidak selalu mengubah kondisi eksternal, tetapi mengubah posisi relasional. Dulu jauh, kini dekat; dulu musuh, kini anak.”
Mefiboset hidup sebagai saksi harian tentang kasih karunia. Setiap langkah timpangnya di istana menjadi pengingat bahwa ia hidup karena kemurahan raja.
VIII. Dimensi Kristologis
Kisah ini menemukan makna penuh di dalam Kristus.
Daud melambangkan Raja yang penuh kasih karunia, sedangkan Mefiboset melambangkan umat manusia yang berdosa dan tak berdaya.
| Unsur | Daud | Kristus |
|---|---|---|
| Sumber kasih | Perjanjian dengan Yonatan | Perjanjian kekal Bapa |
| Objek kasih | Mefiboset, keturunan musuh | Manusia berdosa, musuh Allah |
| Tindakan | Mengundang ke meja raja | Mengundang ke perjamuan kerajaan surga |
| Hasil | Pemulihan dan persekutuan | Keselamatan dan adopsi rohani |
John Piper menulis:
“Daud dan Mefiboset adalah cerminan kecil dari Injil besar — Raja mencari yang terhilang, memulihkan yang hancur, dan memuliakan yang hina.”
IX. Pandangan Para Teolog Reformed
1. John Calvin
“Kisah Mefiboset mengajarkan bahwa kasih karunia sejati berakar pada kesetiaan perjanjian, bukan pada kelayakan penerima. Inilah kasih yang menaklukkan musuh menjadi anak.”
2. Matthew Henry
“Kasih Daud kepada Mefiboset adalah gambaran kasih Kristus kepada kita. Kita yang lumpuh oleh dosa diangkat untuk duduk bersama Dia di meja kerajaan.”
3. R.C. Sproul
“Tidak ada perikop lain dalam Perjanjian Lama yang menggambarkan sola gratia seindah kisah ini. Mefiboset tidak mencari raja; raja mencari dia.”
4. Herman Bavinck
“Perjanjian kasih selalu bersifat satu arah. Allah, seperti Daud, memulai, menggenapi, dan memelihara kasih itu.”
5. Charles Spurgeon
“Lihatlah Mefiboset di meja Daud — demikianlah orang berdosa di meja Kristus. Tidak ada alasan baginya untuk berada di sana kecuali kasih karunia.”
X. Aplikasi Teologis dan Praktis
1. Allah Mencari yang Tidak Layak
Kasih karunia tidak menunggu kesiapan manusia.
Ia datang kepada kita ketika kita masih musuh (Roma 5:8).
Seperti Daud yang mencari Mefiboset, Allah berinisiatif mencari yang terhilang.
2. Perjanjian Allah Menjamin Kesetiaan-Nya
Meskipun kita sering tidak setia, Allah tetap setia karena perjanjian kekal dalam Kristus (2 Tim. 2:13).
Daud setia kepada janji dengan Yonatan; demikian pula Allah tidak melupakan perjanjian darah Anak-Nya.
3. Pengampunan Disertai Pemulihan
Kasih karunia bukan hanya menghapus dosa, tetapi memulihkan hubungan dan martabat.
Mefiboset duduk di meja raja; demikian pula kita dipanggil untuk bersekutu dengan Allah.
4. Kelemahan Bukan Halangan untuk Kasih Karunia
Mefiboset tetap timpang, tetapi kelemahannya menjadi saksi kasih karunia.
Allah tidak menuntut kesempurnaan, tetapi ketergantungan.
2 Korintus 12:9: “Kuasa-Ku menjadi sempurna dalam kelemahan.”
5. Kasih Karunia Melahirkan Kasih kepada Sesama
Daud mengasihi Mefiboset karena kasihnya kepada Yonatan.
Demikian pula kita dipanggil mengasihi sesama karena kasih Allah kepada kita.
1 Yohanes 4:11: “Jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka kita harus juga saling mengasihi.”
XI. Refleksi Gerejawi
Gereja seharusnya menjadi meja Daud masa kini — tempat bagi “Mefiboset rohani” untuk menemukan kasih karunia.
Bukan tempat bagi yang sempurna, melainkan bagi yang terluka.
Bukan ruang penghukuman, melainkan ruang pemulihan.
Timothy Keller menulis:
“Kasih karunia sejati menciptakan komunitas yang terbuka bagi mereka yang paling rusak. Karena kita semua, pada hakikatnya, adalah Mefiboset.”
Gereja yang memahami Injil tidak akan mempermalukan kelemahan, melainkan menutupinya dengan kasih sebagaimana Daud menutupi cacat Mefiboset di meja perjamuan.
XII. Penutup: Injil di Meja Raja
Kisah ini menutup dengan kalimat sederhana namun dalam:
“Mefiboset tinggal di Yerusalem, karena ia selalu makan di meja raja.” (ay. 13)
Ia hidup dari kasih karunia hari demi hari.
Setiap kali duduk di meja itu, ia mengingat dua hal:
-
Siapa dia dahulu — anak musuh yang cacat.
-
Siapa dia sekarang — anak yang dikasihi di rumah raja.
Demikianlah kehidupan orang percaya.
Kita diundang setiap hari untuk “makan di meja Kristus” — dalam persekutuan dan sakramen — untuk mengingat bahwa kita hidup bukan karena jasa, tetapi karena anugerah.
John Newton, pengarang Amazing Grace, menulis:
“Aku bukanlah seperti yang seharusnya, tetapi oleh kasih karunia Allah aku bukan seperti dahulu.”
Kesimpulan
2 Samuel 9:1-18 bukan sekadar kisah persahabatan, melainkan miniatur Injil:
-
Seorang raja yang berdaulat mencari yang tak layak.
-
Seorang musuh diampuni karena perjanjian kasih.
-
Seorang yang cacat diangkat menjadi anak di meja raja.
Mefiboset tidak pernah meminta kemurahan, namun ia menerimanya.
Demikian pula kita tidak pernah mencari Allah, tetapi kasih karunia mencari kita.
Soli Deo Gloria — Kemuliaan hanya bagi Allah.