ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN

Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th.
ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:27-28)

Kejadian 1:28 mencatat bagaimana Tuhan memberkati Adam dan Hawa sebelum mereka diperintahkan untuk beranak cucu. Inilah lembaga pernikahan yang pertama kali dibentuk dan diberkati oleh Allah sendiri. Dengan demikian pernikahan merupakan hal mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia belum jatuh ke dalam dosa. Karena itu, pernikahan seharusnya ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain, dan bersandar kepada kasih karunia Tuhan. 

Pernikahan tidak boleh ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu. Namun, terlalu sering kehidupan pernikahan yang bermasalah diakhiri dengan perceraian. 

Gery Rosberg, seorang konselor pernikahan dan keluarga dalam bukunya Pernikahan Anti Cerai yang terbit di tahun 2002 menuliskan keprihatinannya tentang tingginya angka perceraian di Amerika. Dalam buku tersebut Gery Rosberg mengungkapkan fakta bahwa saat ini di Amerika Serikat : 43 % dari semua pernikahan pertama berakhir dengan perceraian. 

Sekitar 60 % dari pernikahan kedua mengalami nasib yang sama. Menurut penelitiannya, Angka perceraian di Amerika mencapai dua kali lipat angka perceraian di Perancis atau Jerman dan tiga kali lipat angka perceraian di Jepang. Yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa negara-negera tersebut pada umumnya memiliki lebih sedikit orang Kristen dibandingkan Amerika Serikat. Hanya Inggris yang memunyai tingkat perceraian sebanding dengan Amerika, namun keadaan di Inggris tersebut baru muncul pada tahun 1996. 

Bagaimana dengan keadaan di Indonesia? Kita seharusnya prihatin dengan tingginya angka perceraian seperti dilansir REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA yang menuliskan, “Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. 

Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, mengatakan tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya... Pada tahun 2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. 

Tingginya angka perceraian di atas membuat kita bertanya mengapa begitu banyak pasangan suami isteri yang mengakhiri hubungan mereka dengan perceraian? Gery dan Barbara Rosberg mengatakan, “Kita perlu mengingat bahwa perceraian itu lebih dari sekedar angka statistik. Perceraian melibatkan manusia dengan harapan yang nyata dan impian yang nyata, serta kepedihan yang nyata”. Karena itu memahami esensi pernikahan Kristen seperti yang dirancang dan ditetapkan Allah dari sejak semula sangatlah penting bagi kelanggengan hubungan pernikahan. 

Pertanyaan pentingnya adalah “apakah esensi Pernikahan Kristen itu?” Pertama-tama kita akan melihat definisi pernikahan dan kemudian memperhatikan prinsip-prisip esensial dari pernikahan itu. Pernikahan dapat didefinisikan sebagai sehubungan eksklusif antara satu laki-laki dan satu perempuan, dimana keduanya menjadi “satu daging”, disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual; dijamin melalui sumpah sakral dan ikatan perjanjian serta dimaksudkan untuk seumur hidup. 

Definisi ini didasarkan pada pernyataan Alkitab dalam Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31; dan Kejadian 1:24. Berdasarkan definisi tersebut, berikut ini lima esensi pernikahan Kristen, yaitu : (1) Pernikahan merupakan suatu lembaga yang dibuat dan ditetapkan Allah bagi manusia sesuai kebutuhan; (2) Pernikahan merupakan hubungan yang eksklusif antara seorang pria dan seorang wanita; (3) Pernikahan merupakan pertemuan dan hubungan antar pribadi yang paling intim; (4) Pernikahan bersifat permanen dan merupakan suatu komitmen kesetiaan untuk seumur hidup; (5) Pernikahan merupakan suatu kovenan yang bersifat mengikat. Kelima esensi pernikahan Kristen tersebut merupakan hakikat dan pondasi penting dari pernikahan Kristen.

ESENSI 1 # PERNIKAHAN MERUPAKAN SUATU LEMBAGA YANG DIBUAT DAN DITETAPKAN ALLAH BAGI MANUSIA (MATIUS 19:4,8) 

Pernikahan merupakan suatu lembaga yang ditetapkan Allah bagi manusia sesuai dengan kebutuhannya. Perhatikan Frase “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18). Saat laki-laki (ha adam) “seorang diri saja” maka Allah menyatakan bahwa keadaan ini “tidak baik”. 

Jadi Allah memutuskan untuk menciptakan “ezer kenegdo” atau “seorang penolong”. Kata Ibrani “ezer” yang diterjemahkan dengan “penolong” berarti “sesuai dengan” atau “sama dengan”. Jadi secara harfiah “seorang penolong” berarti “penolong yang sepadan atau seorang yang sepadan dengannya”. Dengan demikian jelaslah bahwa Allah sendiri yang menetapkan lembaga pernikahan, dan Ia juga yang memberkatinya (Baca Kejadian 1:28).

Ketetapan Tuhan ini tidak pernah diubah dan ini berlaku “sejak semula” bagi semua orang, bukan hanya bagi orang-orang Kristen saja. Matius mencatat perkataan Kristus demikian, “Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?” (Matius 19:4). 

Kata Yunani “ap’arches” atau “sejak semula” yang disebutkan Yesus dalam Matius 19:4, pastilah merujuk pada Kejadian pasal 2, karena kalimat selanjutnya “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”, yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan dari Kejadian 2:24 tersebut.

Pernikahan adalah satu-satunya lembaga sosial yang ditetapkan Allah sebelum kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 2:24; Banding Kejadian 1:28). Norman L. Geisler dalam buku Etika Kristen Pilihan dan Isu mengatakan, “Satu catatan lebih jauh mengenai natur pernikahan. Pernikahan adalah satu lembaga yang ditetapkan Allah bagi semua orang, bukan hanya bagi orang Kristen saja. 

Pernikahan adalah satu-satunya lembaga sosial yang ditetapkan Allah sebelum kejatuhan manusia dalam dosa. Kitab Ibrani menyatakan bahwa pernikahan wajib dihormati oleh semua orang (Ibrani 13:4)”. Allahlah telah menetapkan pernikahan dari sejak semula, baik untuk orang-orang Kristen maupun untuk orang-orang bukan Kristen. Dan Allah adalah saksi dari seluruh pernikahan, baik diundang maupun tidak. Meskipun bentuk dan tatacara bervariasi dalam setiap budaya dan setiap generasi tetapi esensinya tetap sama dari “sejak semula” bahwa pernikahan merupakan satu peristiwa sakral tidak peduli pasangan tersebut mengakuinya ataupun tidak. 

ESENSI 2 # PERNIKAHAN MERUPAKAN HUBUNGAN YANG EKSKLUSIF ANTARA SEORANG PRIA DAN SEORANG WANITA (MATIUS 19:5,6)

Di dalam rancangan Allah sejak semula, pernikahan adalah antara satu orang pria dengan satu orang wanita yang menjadi satu. Sejak semula Allah hanya menciptakan dua gender manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, yang walaupun berbeda dalam identitas (khas seksualitas, psikologis dan fisiologis), tetapi sama dalam status (derajat, harkat dan martabat). 

Dalam Kejadiam 1:27 dikatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki (ish) dan perempuan (ishsha) diciptakan-Nya mereka”. Kristus menegaskan kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, “Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?” 

Jadi yang dimaksud dengan pernikahan Alkitabiah adalah antara seorang pria biologis dengan seorangan wanita biologis. Karena itu pernikahan dengan sesama jenis (homoseksual) atau pun pernikahan dengan hewan bukanlah pernikahan, melainkan penyimpangan dari ketetapan Tuhan. Dengan demikian, karakteristik paling mendasar dari pernikahan adalah bahwa pernikahan merupakan satu kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita.

Melalui pernikahan Allah menyatukan dua orang menjadi satu. Perhatikan frase “dipersatukan Allah” dalam kalimat “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6), berasal dari kata Yunani “suzeugnumi” yang berarti “menyatukan”. 

Kata ini berbeda dari kata Yunani “kolléthésetai” yang artinya “dipersatukan” atau “bersatu” dalam Matius 19:5. Kata Yunani “suzeugnumi” atau “dipersatukan” secara harafiah adalah “bersama-sama disatu-kuk-kan”, atau sepenuhnya berarti “bersama dalam kuk yang sama yang telah ciptakan bagi mereka”. Sebuah kuk memampukan dua ekor lembu menarik beban bersama, masing-masing saling berbagi tugas sehingga konsekuensinya adalah meringankan tugas dan keduanya bersama dapat menyelesaikan tugas lebih banyak dari apa yang dapat dicapai kalau mereka hanya sendirian mengerjakannya. 

Jadi dalam nas ini, Yesus menggambarkan pernikahan sebagai sebuah kuk yang Allah buat, dimana seorang laki-laki dengan seorang perempuan dapat memikulnya sehingga mereka bersama dapat meringankan pekerjaan-pekerjaan dan beban-beban kehidupan, dan mencapai hal-hal bersama yang tidak dapat dicapai kalau mereka hanya sendirian saja. 

Jadi apa yang Allah buat adalah menempa sebuah kuk, yaitu menciptakan sebuah hubungan yang eksklusif, yang ke dalamnya seorang laki-laki dan seorang perempuan boleh masuk, memiliki hubungan, menerima, dan menikmati manfaat yang ada di dalamnya. 

Pernikahan pada hakikatnya adalah suatu hubungan yang eksklusif antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Dan semua yang ada di dalam pernikahan itu sendiri berasal langsung dari kebenaran bahwa pernikahan merupakan rancangan Allah, merupakan lembaga yang diciptakan Allah! Konsep tentang “hubungan yang eksklusif” dalam pernikahan ini merupakan pusat dari ajaran Kristus mengenai pernikahan. Inilah yang dimaksud Yesus ketika ia berkata “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Matius 19:6). 

ESENSI 3 # PERNIKAHAN MERUPAKAN PERTEMUAN DAN HUBUNGAN ANTAR PRIBADI YANG PALING INTIM (MATIUS 19:5,6)

Pernikahan adalah hal yang paling misterius tetapi serius. Perhatikanlah frase “keduanya akan menjadi satu”. Artinya, secara praktis keduanya akan beralih “dari aku dan kau menjadi kita” dan “dari saya dan dia menjadi kami”. Persatuan ini mencakup segalanya “disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual”. Perhatikanlah saat Alkitab mengatakan “seorang pria akan meninggalkan ayat dan ibunya dan bersatu dengan istrinya” (Kejadian 2:24). 

Kata “meninggalkan” dan “bersatu” adalah dua kata yang penting untuk dipahami. Kata Ibrani untuk “meninggalkan” adalah “azab” yang berarti “melonggarkan, melepaskan, meninggalkan, meninggalkan sepenuhnya, secara total”. Sedangkan kata Ibrani untuk “bersatu” adalah “dabaq” yang artinya “mengikat, lem, melekat, menempel, bergabung berdekatan dengan atau mengikat bersama”. 

Jadi ketika Yesus mengutip Kejadian 2:24 ini maka anak kalimat “bersatu dengan” dalam kalimat “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging” (Matius 19:5), maka kata yang dipakai adalah kata Yunani “proskolléthésetai”, kata yang sama dipakai Paulus dalam Efesus 5:31. 

Kata “proskolléthésetai” berarti direkatkan atau dikokohkan bersama, ditatah bersama, atau di las bersama”, yang mengindikasikan tingkat kekuatan paling tinggi dan dalam dari sebuah kedekatan dan pelekatan. Artinya jelas, bahwa dalam pernikahan seorang pria melekatkan diri kepada istrinya sendiri, sehingga “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). (catatan: Beberapa edisi Perjanjian Baru Yunani memakai kata “kolléthésetai” tanpa awalan “pros” yang mengandung arti sama). 


Secara khusus, pernikahan juga melibatkan kesatuan seksual antara seorang pria dan seorang wanita. Perhatikan frase “satu daging” dalam ayat-ayat Kejadian 1:24; Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31. Mereka dijadikan satu daging : disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual. Jadi meskipun pernikahan melibatkan hak-hak seksual, tetapi pernikahan tidak terbatas pada hubungan seksual saja. Pernikahan adalah suatu relasi persahabatan dan hubungan seks lebih dari sekedar perkembangbiakan saja. Ada tiga tujuan relasi seksual dalam pernikahan, yaitu : perkembangbiakan (Kejadian 1:28); penyatuan (Kejadian 2:24), dan rekreasi (Amsal 5:18-19).
Dan menurut Alkitab, hubungan seksual pria dan wanita ini hanya boleh dilakukan dalam lembaga pernikahan. Sebab, hubungan seksual sebelum pernikahan disebut percabulan (Kisah Para Rasul 15:20; 1 Korintus 6:18), dan hubungan seksual diluar pernikahan disebut perzinahan (Keluaran 20:14; Matius 19:9). Percabulan maupun perzinahan adalah dosa, dan sangat dilarang di dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama, dibawah Hukum Taurat, mereka yang melakukan persetubuhan (hubungan seks) sebelum menikah diwajibkan untuk menikah (Ulangan 22:28-29). Hal ini penting, sebab seks dikuduskan oleh Allah hanya untuk pernikahan bukan sebelum pernikahan. (1 Korintus 7:2; Ibrani 13:4). 

ESENSI 4 # PERNIKAHAN BERSIFAT PERMANEN DAN MERUPAKAN SUATU KOMITMEN KESETIAAN UNTUK SEUMUR HIDUP (MATIUS 19:6)

Menurut Alkitab, pernikahan itu bersifat monogami, yaitu untuk satu suami dan satu istri. Paulus berkata “baiklah setiap laki-laki (bentuk tunggal) mempunyai isterinya sendiri (bentuk tunggal) dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” (1 Korintus 7:2). Monogami bukan hanya ajaran Perjanjian Baru, tetapi merupakan ajaran Perjanjian Lama. 

Monogami adalah ideal Allah dari sejak semulanya ketika Allah menciptakan satu laki-laki (Adam) dan memberi dia hanya satu istri (Hawa). Fakta bahwa Allah mengizinkan poligami dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa Dia memerintahkannya. Poligami, dalam Perjanjian Lama sebagaimana perceraian itu “diizinkan” bukan diperintahkan, hal ini terjadi karena ketegaran (kekerasan) hati. Tetapi sejak semula tidaklah demikian (Matius 19:8).


Dengan demikian, merupakan kehendak Allah bahwa pernikahan itu sebagai komitmen seumur hidup. Permanennya suatu pernikahan, dengan jelas dan tegas dikatakan Kristus, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). Perhatikanlah bahwa hubungan eksklusif dalam pernikahan itu “tidak boleh diceraikan manusia” atau secara harafiah “manusia jangan memisahkan (”anthrōpos mē chōrizō”). 

Kata Yunani “diceraikan” adalah “chōrizō” yang artinya “membagi, memisahkan, memotong, membelah, memecah, atau mematahkan”. Sedangkan kata Yunani “manusia” adalah “anthrōpos”, menunjuk kepada manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Perceraian formal biasanya didahului oleh terpisahnya atau terpecah-belahnya hubungan antara suami dan istri, dan kerusakan ini terjadi sebagai akibat perbuatan laki-laki maupun perempuan, yaitu dari pasangan itu sendiri maupun pihak ketiga. 

Karena Allah dari sejak semula menetapkan bahwa pernikahan merupakan suatu ikatan yang permanen, yang berakhir hanya ketika salah satu pasangannya meninggal (bandingkan Roma 7:1-3; 1 Korintus 7:10-11), maka pemisahan (perceraian) jelaslah dilarang oleh Allah! Paulus juga menegaskan hal ini ketika ia berkata “Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Roma 7:2-3). 

Namun perlu juga diketahui, walaupun pernikahan itu bersifat permanen dan berlaku seumur hidup, tetapi pernikahan tidak bersifat kekal. Artinya, hubungan pernikahan hanya terjadi selama hidup di bumi, dan tidak berlanjut dalam kekekalan. Hal ini jelas dari apa yang Yesus katakan, “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga” (Matius 22:30). Meskipun kita pasti dapat mengenali orang-orang yang kita cintai di sorga nanti, tetapi jelaslah tidak ada pernikahan di sorga. Karena itu, Paulus menuliskan bahwa para janda dapat menikah lagi (1 Korintus 7:8-9), menunjukkan bahwa komitemen mereka hanya berakhir sampai kematian pasangan mereka.

ESENSI 5 # : PERNIKAHAN MERUPAKAN SUATU KOVENAN YANG BERSIFAT MENGIKAT (MATIUS 19:5)

Pernikahan merupakan suatu kesatuan yang dilahirkan dari suatu perjanjian berdasarkan janji-janji yang timbal balik. Kovenan (perjanjian) pernikahan ini dinyatakan dengan gamblang oleh nabi Maleakhi ketika ia menulis “TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu” (Maleakhi 2:14). Kitab Amsal juga berbicara tentang penikahan sebagai suatu “kovenan” atau “perjanjian” satu sama lain. Kitab ini mengutuk seorang yang berzinah “yang meninggalkan teman hidup masa mudanya dan melupakan perjanjian Allahnya” (Amsal 2:17). 

Kata Ibrani yang digunakan untuk “kovenan” adalah “berith” dan kata Yunaninya adalah “diathêkê” dan “suntithêmai. (ketiga istilah Alkitab ini akan saya jelaskan lebih lanjut di pasal 2). Sebuah kovenan menurut Alkitab, adalah sebuah hubungan yang sakral antara dua pihak, disaksikan oleh Allah, sangat mengikat, dan tidak dapat dibatalkan. Kedua belah pihak bersedia berjanji untuk menjalani kehidupan sesuai dengan butir-butir perjanjian itu. 

Istilah kovenan yang seperti inilah yang digunakan Alkitab untuk melukiskan sifat hubungan pernikahan. Jadi jelaslah bahwa pernikahan adalah suatu perjanjian pada satu peristiwa dimana Allah menjadi saksi. Allahlah yang mengadakan pernikahan dan Dialah yang menyaksikan janji-janji tersebut benar-benar dibuat “dihadapan Allah”. Kristus menegaskan bahwa Allahlah yang benar-benar menyatukan dua manusia bersama-sama di dalam pernikahan dengan mengatakan, “Apa yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Markus 10:19). 

DAFTAR REFERENSI: ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN 

Burke, Dale., 2007. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan, Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.

Conner, Kevin J., 1993. Perjanjian. Harves International Theological Seminary : Jakarta.

Douglas, J.D., ed, 1993. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid 1 & 2, Tejemahan, Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Geisler, Norman L., 2000. Etika Kristen: Pilihan dan Isu. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta. 

Gutrie, Donald., ed, 1981. Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jilid 1, 2, & 3. Terjemahan, Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung

Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 2004. Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru. Volume 1, 2, & 3, diterjemahkan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Powers, B. Ward., 2011. Perceraian dan Perkawinan Kembali : Pendekatan Hukum dan Anugerah Allah dalam Alkitab. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta. 

Prince, Derek., 2003. Pernikahan Ikatan Yang Kudus. Penerbit Derek Prince Ministries Indonesia : Jakarta. 

Rosberg, Gery & Barbara., 2010. Pernikahan Anti Cerai. Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta. 

Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. 

[1] Disampaikan dalam ibadah raya GBAP Bintang Fajar tanggal 10 Agustus 2014.
ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN. https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post