PRINSIP HIDUP DALAM KEKUDUSAN (1 PETRUS 1:14-19)

Pendahuluan:

Hidup dalam kekudusan adalah panggilan yang serius bagi setiap orang percaya. Di sepanjang Alkitab, kekudusan adalah tema yang berulang-ulang disoroti, menunjukkan betapa pentingnya hidup yang dipisahkan dari dosa dan dipersembahkan sepenuhnya kepada Allah. Dalam suratnya yang pertama, Rasul Petrus memberikan petunjuk yang sangat jelas mengenai prinsip hidup dalam kekudusan, terutama dalam 1 Petrus 1:14-19. Dalam perikop ini, Petrus menekankan bagaimana umat Kristen harus hidup sebagai anak-anak Allah, menjaga kehidupan yang suci, dan meneladani kekudusan Allah sendiri.
PRINSIP HIDUP DALAM KEKUDUSAN (1 PETRUS 1:14-19)
Artikel ini akan menguraikan prinsip-prinsip hidup dalam kekudusan berdasarkan nasihat yang diberikan dalam 1 Petrus 1:14-19, serta relevansinya dalam kehidupan kita saat ini.

1. Hidup sebagai Anak-anak yang Taat (1 Petrus 1:14)

Petrus memulai bagian ini dengan menekankan peran kita sebagai anak-anak Allah yang taat. Ayat 14 berbunyi:

"Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu." (AYT)

Dalam ayat ini, Petrus memanggil kita untuk hidup dalam ketaatan. Sebagai anak-anak Allah, kita harus menjalani kehidupan yang mencerminkan sifat dan karakter Bapa kita di surga. Ketaatan ini bukan hanya sekadar tindakan lahiriah, melainkan juga sikap hati yang tulus. Itu adalah bentuk pengabdian kepada Allah, di mana kita secara sadar memilih untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya, bukan kehendak diri sendiri.

Selanjutnya, Petrus memperingatkan kita untuk tidak lagi mengikuti "hawa nafsu" atau keinginan-keinginan duniawi yang dulu menguasai kita sebelum kita mengenal kebenaran. Pada waktu "kebodohan" kita, yaitu sebelum kita diselamatkan dan diperkenalkan kepada Kristus, kita cenderung mengikuti keinginan daging dan pola hidup duniawi. Namun, setelah mengenal Allah, kita dipanggil untuk meninggalkan gaya hidup yang lama dan hidup dalam ketaatan kepada Firman Tuhan.

Ketaatan dalam konteks ini berarti melepaskan diri dari segala bentuk kehidupan yang tidak sesuai dengan kekudusan Allah. Itu termasuk segala sesuatu yang menghalangi kita untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya, seperti dosa, ambisi egois, atau gaya hidup yang tidak bermoral. Hidup dalam kekudusan mengharuskan kita untuk terus-menerus bertumbuh dalam ketaatan, dengan menyadari bahwa sebagai anak-anak Allah, kita dipanggil untuk hidup berbeda dari dunia ini.

2. Panggilan untuk Menjadi Kudus (1 Petrus 1:15-16)

Petrus melanjutkan dengan panggilan yang lebih spesifik tentang kekudusan dalam ayat 15-16:

"Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang memanggil kamu adalah kudus, sebab ada tertulis: 'Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.'" (AYT)

Ayat ini merupakan inti dari pengajaran Petrus mengenai kekudusan. Tuhan memanggil setiap orang percaya untuk hidup kudus. Kekudusan bukanlah pilihan, tetapi sebuah perintah yang datang langsung dari Allah sendiri. Petrus mengutip kitab Imamat (Imamat 11:44, 19:2) untuk menegaskan bahwa umat Allah dipanggil untuk menjadi kudus seperti Allah adalah kudus.

Namun, apa sebenarnya makna dari "kudus"? Dalam bahasa aslinya, kata "kudus" (bahasa Yunani: hagios) berarti "dipisahkan" atau "dikhususkan" untuk tujuan yang suci. Kekudusan tidak hanya berbicara tentang moralitas yang tinggi, tetapi juga tentang status dan tujuan yang berbeda dari dunia ini. Kita dipanggil untuk menjadi umat yang berbeda, yang tidak terpengaruh oleh standar dunia yang penuh dosa, tetapi hidup sesuai dengan standar Allah yang sempurna.

Panggilan untuk menjadi kudus ini mencakup "seluruh hidup" kita, bukan hanya aspek tertentu dari kehidupan kita. Hidup dalam kekudusan berarti bahwa segala tindakan, pikiran, motivasi, dan tujuan kita harus sesuai dengan kehendak Allah. Kita tidak bisa membagi hidup kita menjadi bagian-bagian yang "kudus" dan yang "duniawi." Kekudusan harus melingkupi setiap area kehidupan kita, baik itu dalam hubungan pribadi, pekerjaan, pelayanan, maupun bagaimana kita memperlakukan orang lain.

Kekudusan adalah cerminan dari karakter Allah. Ketika kita dipanggil untuk menjadi kudus, kita dipanggil untuk meniru karakter Allah, yang tidak pernah bercela dan sempurna dalam setiap jalan-Nya. Meskipun kita tidak akan pernah bisa mencapai kesempurnaan di dunia ini, panggilan untuk hidup dalam kekudusan tetaplah merupakan tujuan utama dalam perjalanan iman kita.

3. Menjalani Hidup dengan Takut Akan Tuhan (1 Petrus 1:17)

Petrus kemudian berbicara tentang sikap yang harus kita miliki dalam menjalani kehidupan kudus dalam ayat 17:

"Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini." (AYT)

Kekudusan bukan hanya tentang menjaga hidup kita dari dosa, tetapi juga bagaimana kita memandang Allah dan hubungan kita dengan-Nya. Petrus mengingatkan kita bahwa Allah adalah Bapa yang adil, yang menghakimi setiap orang berdasarkan perbuatannya. Ini berarti bahwa setiap tindakan kita di dunia ini akan diperhitungkan di hadapan Allah.

Namun, sikap yang diajarkan di sini bukanlah ketakutan yang membuat kita lari dari Allah, melainkan rasa takut yang disertai rasa hormat yang mendalam terhadap kekudusan dan keadilan-Nya. Takut akan Tuhan dalam konteks ini berarti memiliki sikap hormat yang sungguh-sungguh terhadap Allah, memahami kebesaran-Nya, dan menyadari konsekuensi dari tindakan kita.

Selama kita "menumpang" di dunia ini, artinya selama kita hidup di bumi sebagai warga Kerajaan Allah, kita harus selalu hidup dengan penuh kesadaran bahwa Allah yang kudus mengawasi dan akan menghakimi setiap perbuatan kita. Hidup dengan takut akan Tuhan berarti hidup dengan kesadaran yang penuh bahwa kita akan mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang kita buat di hadapan Allah.

4. Penebusan yang Berharga (1 Petrus 1:18-19)

Ayat 18-19 memberikan dasar kuat mengapa kita harus hidup dalam kekudusan:

"Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus, yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat." (AYT)

Petrus mengingatkan kita bahwa hidup dalam kekudusan adalah tanggapan kita terhadap penebusan yang sudah kita terima melalui darah Kristus. Penebusan ini bukan dilakukan dengan sesuatu yang fana, seperti emas atau perak, tetapi dengan sesuatu yang jauh lebih berharga—darah Kristus yang tak ternilai.

Sebelum kita diselamatkan, kita hidup dalam cara hidup yang sia-sia, mengikuti kebiasaan dan nilai-nilai dunia yang diwariskan dari nenek moyang kita. Ini adalah gaya hidup yang penuh dengan dosa, kebodohan, dan tanpa tujuan kekal. Namun, Kristus menebus kita dari cara hidup yang sia-sia itu dengan darah-Nya sendiri, mengorbankan diri-Nya sebagai anak domba yang tak bercela.

Darah Kristus adalah lambang dari pengorbanan-Nya yang sempurna dan kekal. Dalam tradisi Perjanjian Lama, anak domba yang tak bernoda dipersembahkan sebagai korban untuk menebus dosa-dosa umat. Namun, Kristus datang sebagai penggenapan dari semua korban tersebut. Dia adalah Anak Domba Allah yang sempurna, yang mempersembahkan diri-Nya satu kali untuk selama-lamanya demi menebus umat manusia dari perbudakan dosa.

Penebusan yang begitu berharga ini seharusnya menjadi motivasi yang kuat bagi kita untuk hidup dalam kekudusan. Jika Kristus sudah mengorbankan diri-Nya demi kita, maka sudah seharusnya kita merespons dengan memberikan hidup kita sepenuhnya kepada-Nya, hidup dalam ketaatan dan kekudusan sebagai ungkapan syukur atas penebusan yang begitu mulia.

5. Kekudusan sebagai Tujuan Utama Orang Percaya

Dari pembahasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hidup dalam kekudusan adalah panggilan yang tidak bisa ditawar-tawar bagi setiap orang percaya. Kekudusan bukan hanya sebuah pilihan tambahan dalam kehidupan Kristen, melainkan merupakan tujuan utama dari hidup kita. Kita dipanggil untuk hidup berbeda dari dunia, menunjukkan karakter Allah melalui kehidupan yang suci dan murni.

Namun, hidup dalam kekudusan bukanlah sesuatu yang dapat kita capai dengan kekuatan kita sendiri. Kita membutuhkan pertolongan Roh Kudus untuk membimbing, menguatkan, dan memampukan kita untuk hidup sesuai dengan panggilan Allah. Dalam Perjanjian Baru, Roh Kudus diberikan kepada setiap orang percaya sebagai penolong dan pembimbing dalam perjalanan kekudusan ini. Melalui kuasa Roh Kudus, kita dimampukan untuk meninggalkan dosa, mengalahkan godaan, dan bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus.

Selain itu, kekudusan adalah proses yang berkesinambungan. Itu bukan sesuatu yang kita capai sekali dan selesai, tetapi merupakan perjalanan seumur hidup. Setiap hari kita dipanggil untuk memeriksa hati dan tindakan kita, menghindari segala bentuk dosa, dan terus-menerus mencari kehendak Allah dalam setiap aspek kehidupan kita.

6. Kekudusan sebagai Kesaksian bagi Dunia

Hidup dalam kekudusan juga memiliki dampak yang signifikan bagi kesaksian kita di dunia. Ketika kita hidup dalam kekudusan, kita menjadi terang bagi dunia yang penuh dengan kegelapan moral dan spiritual. Dunia dapat melihat perbedaan dalam hidup kita dan tertarik kepada Kristus yang kita layani.

Dalam 1 Petrus 2:9, Petrus menegaskan bahwa kita adalah "bangsa yang kudus" yang dipilih oleh Allah untuk memberitakan kebajikan-Nya. Hidup dalam kekudusan adalah salah satu cara paling kuat untuk memberitakan kabar baik tentang Yesus kepada dunia. Ketika dunia melihat kehidupan kita yang berbeda—hidup yang dipenuhi kasih, kebaikan, keadilan, dan integritas—mereka akan melihat bukti nyata dari kuasa Allah yang bekerja di dalam kita.

Kekudusan bukanlah tentang isolasi diri dari dunia, tetapi tentang menjadi contoh hidup dari apa artinya hidup bagi Allah di tengah dunia yang penuh dosa. Dengan hidup dalam kekudusan, kita mengundang orang lain untuk mengenal Allah yang kudus dan berpartisipasi dalam karya keselamatan-Nya.

Kesimpulan

1 Petrus 1:14-19 memberikan arahan yang jelas tentang prinsip hidup dalam kekudusan. Sebagai anak-anak Allah yang taat, kita dipanggil untuk meninggalkan gaya hidup duniawi yang penuh dosa dan hidup sesuai dengan karakter Allah yang kudus. Kekudusan bukan hanya tuntutan moral, tetapi merupakan respons yang wajar atas penebusan yang telah Kristus berikan bagi kita melalui darah-Nya yang berharga.

Hidup dalam kekudusan juga berarti hidup dengan rasa hormat dan takut akan Tuhan, menyadari bahwa Dia adalah Bapa yang adil yang akan menghakimi setiap perbuatan kita. Penebusan yang kita terima bukanlah sesuatu yang fana, tetapi merupakan hasil dari pengorbanan Kristus yang tak ternilai. Oleh karena itu, hidup kita harus mencerminkan pengorbanan-Nya, dengan menjalani kehidupan yang dipisahkan dari dosa dan dipersembahkan sepenuhnya kepada Allah.

Akhirnya, hidup dalam kekudusan adalah panggilan untuk menjadi saksi bagi dunia. Ketika kita hidup sesuai dengan panggilan ini, kita menjadi terang di tengah kegelapan dunia dan menunjukkan kepada dunia kebajikan Allah. Kekudusan adalah tujuan kita sebagai orang percaya dan harus menjadi fokus utama dalam perjalanan iman kita setiap hari.

-------------
Herman Yeremia.
HIDUP DALAM KEKUDUSAN (1 PETRUS 1:14-19)
gadget, bisnis

 Jemaat memahami bahwa Allah menghendaki umat-Nya hidup dalam kekudusan

 Jemaat bertekad untuk hidup dalam kekudusan

 Jemaat menerapkan kehidupan kudus dalam keluarga, pernikahan, pekerjaan, dll

Pendahuluan

Banyak di antara kita sudah mengetahui bahwa surat ini ditulis oleh salah seorang murid Tuhan Yesus yang paling populer, yaitu Petrus. Namun, yang paling penting dari surat ini adalah kepada siapa surat ini dialamatkan, yaitu kepada orang-orang Yahudi yang baru saja menjadi Kristen, yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil, dan Bitinia, di mana mereka menjadi pendatang (sojourner) dan orang-orang asing (strangers or aliens). Pada waktu itu, tempat-tempat tersebut merupakan wilayah dari kekuasaan kekaisaran Romawi.

Petrus menulis surat ini untuk memberi dorongan dan penghiburan kepada orang-orang Kristen baru itu, oleh karena mereka sedang menderita yang disebabkan oleh diskriminasi dan penganiayaan karena iman Kristen yang baru saja dipeluknya. Kaisar Nero telah membunuh orang-orang Kristen dengan sadis.

Satu hal yang menarik, Petrus menulis surat dorongan ini bukan dari istana gading, tetapi ketika ia sendiri berada di Kota Roma, di jantung penganiayaan itu sendiri. Menurut tradisi, ia sendiri pada akhirnya mati sebagai martir, disalibkan dengan kepala berada di bawah. Dan tentu saja, Petrus yang menulis surat ini adalah rasul yang telah benar-benar memahami makna penderitaan karena Kristus.

Apakah yang diperintahkan Petrus kepada orang-orang Kristen yang sedang menderita tersebut? Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.

But as He who called you is holy, you also be holy in all your conduct, because it is written, “Be Holy, for I am holy.” (tetapi sebagaimana Dia yang memanggilmu adalah kudus, hendaklah kamu juga menjadi kudus dalam seluruh tingkah lakumu, sebab ada tertulis, “Jadilah kudus, sebab Aku kudus”).

“BE HOLY, FOR I AM HOLY”

Because God is Holy, we must be Holy

Apa yang secara langsung dapat kita lihat dari perintah yang dikatakan Petrus ini?

1. Allah Menghendaki Anak-anak-Nya Hidup Kudus

Karakter Allah adalah kudus. Konsep kekudusan berhubungan dengan kesucian hati. Kekudusan Allah mencakup kesucian-Nya, tetapi dimensi kesucian adalah arti sekunder dari istilah kudus. Makna yang utama dan pertama dari istilah kudus menunjuk pada kemuliaan Allah yang luar biasa, ke berbedaan-Nya dari segala sesuatu yang telah diciptakan. 

Istilah "kudus" di dalam Perjanjian Lama digunakan ketika Allah menguduskan seseorang atau suatu tempat atau suatu waktu, sehingga hal itu menjadi berbeda. Gagasan yang Petrus gunakan dalam surat ini adalah dasar bagi panggilan kepada penolakan untuk menyesuaikan diri dengan dunia.

Hal itu disebabkan karena kita harus menjadi imitator-imitator Allah di dalam ke berbedaan-Nya. Sama seperti Allah berbeda dari dunia, demikian juga kita sebagai anak-anak-Nya berbeda dari dunia. Ke berbedaan hidup seorang Kristen dengan orang-orang lain ditunjukkan dalam 1 Petrus 1:14, "Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu". Ketaatan yang dimaksud, paralel dengan apa yang dikatakan Yesus sendiri, "Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku..." (Yohanes 14:23). Ketaatan ini diperbandingkan kehidupan yang dikuasai oleh hawa nafsu sebagai cara hidup orang-orang duniawi.

Tetapi, sebaliknya, Petrus mendorong orang-orang percaya untuk hidup kudus di dalam seluruh aspek hidup. Inilah yang dimaksud dengan hidup yang berbeda itu.

Mari kita sejenak merenungkan: Apakah kehadiran atau ketidakhadiran kita membuat perbedaan: baik di tengah-tengah keluarga, di dalam gereja, di dalam pekerjaan, di dalam studi? Perbedaan yang seperti apa?

Jadi, yang terutama dan pertama yang harus kita pahami dengan “hendaklah kamu menjadi kudus” (hagios) di dalam surat 1 Petrus ini ialah: jadilah berbeda dari dunia! Sejalan dengan Petrus, Paulus juga berkata, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2). Istilah “kudus” yang dimaksudkan oleh Petrus, adalah: keunikan, ke berbedaan, dan keterpisahan.

Allah sepenuhnya kudus, berbeda dari segala sesuatu, dan terpisah sama sekali dari dosa. Panggilan Allah kepada orang-orang pilihan-Nya pun adalah panggilan untuk hidup kudus, dalam arti berbeda dari dunia (tidak menyesuaikan diri dengan dunia; berbeda dari cara hidup yang dijalani oleh orang-orang yang tidak percaya), kehidupan yang menolak dan melawan dosa.

Jadi, “menjadi kudus” menunjuk kepada karakter Allah (majesty and the glory of God). Konsekuensi ini mutlak, tidak dapat dihindari oleh setiap orang percaya, karena orang-orang percaya disebut sebagai: anak-anak Allah. Seorang anak mencerminkan Bapaknya. Jika kita adalah anak Allah, maka kita mencerminkan Bapa kita. Jika Bapa kita kudus, maka hidup kita juga kudus; Because God is holy, we must Be Holy. Allah memanggil kita untuk seperti Dia; menjadi imitasi Allah.

2. Kekudusan Allah sendiri adalah Dasar dari Seluruh Pengajaran Alkitab tentang Kekudusan dan Proses Pengudusan atas Diri Orang-orang Percaya

Oleh karena Allah sepenuhnya kudus, berbeda dari segala sesuatu, dan terpisah dari dosa, maka kekudusan menjadi syarat mutlak bagi terjadinya relasi dengan Dia, sebagaimana dikatakan, “tanpa kekudusan, tidak seorang pun dapat melihat Allah” (Ibrani 12:14). Menarik sekali, Petrus mengutip dari Perjanjian Lama, ketika ia berkata: “sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Ia mengutip dari kitab Imamat:

 11:44-45, “Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang mengeriap dan merayap di atas bumi. Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus.”

 19:2, “Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.”

 20:7, “Maka kamu harus menguduskan dirimu, dan kuduslah kamu, sebab Akulah TUHAN, Allahmu.”

 20:26, “Kuduslah kamu bagiku, sebab Aku ini, TUHAN, kudus dan Aku telah memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain, supaya kamu menjadi milik-Ku.”

Dari pernyataan-pernyataan Tuhan di Kitab Imamat ini, Tuhan menegaskan kepada umat-Nya bahwa:

 Diri-Nya kudus, dan Ia menghendaki umat-Nya kudus seperti diri-Nya.

 Allah menunjukkan kepada umat-Nya bahwa Ia sungguh-sungguh berbeda dengan ilah-ilah lain yang disembah oleh bangsa-bangsa yang ada di sekitar bangsa Israel. Ia sangat menekankan kekudusan-Nya, maka umat-Nya juga harus kudus, dan menguduskan dirinya.

 Dan yang penting juga adalah: bahwa Allahlah yang telah bertindak menguduskan umat-Nya. Bagi kita, Allah telah menguduskan kita oleh Roh Kudus ketika kita percaya kepada Kristus. Ini adalah kekudusan secara status. Itulah sebabnya, Paulus dalam hampir semua suratnya menyapa orang-orang percaya sebagai “orang-orang kudus” atau orang-orang yang telah dikuduskan (Kolose 3:12).

 Kita juga mendapati di sana bahwa sebagai anak-anak-Nya (atau milik-Nya), pengudusan merupakan sebuah proses yang terus menerus berlangsung sepanjang hidup kita di dunia ini.

Pengajaran Perjanjian Baru mengenai kekudusan hidup dibangun dari pemahaman Perjanjian Lama ini. Maka kekudusan berarti dua hal: Being (keberadaan atau status) dan Becoming (menjadi): Allah berinisiatif dan bertindak menguduskan kita, dan melalui respons kita (proses pengudusan), Roh Kudus menyertakan kepatuhan kita kepada firman Allah sebagai bagian dari proses pengudusan.

Petrus berkata, "Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini" (1 Petrus 1:17).

3. Kekudusan Hidup Mencakup Keseluruhan Hidup Kita

“Hendaklah kamu juga menjadi kudus dalam seluruh tingkah lakumu” (ESV). Hal ini mencakup: perkataan, pikiran, pertimbangan-pertimbangan, keputusan-keputusan yang diambil, nasihat-nasihat, dan perilaku sehari-hari kita.

Hidup di dalam kekudusan berarti: Allah memanggil kita untuk menjadi saksi-saksi-Nya --- menyaksikan karakter-Nya di tengah dunia yang penuh kecemaran ini. Friedriech Nietzche dikenal sebagai seorang filsuf yang mencetuskan gagasan “kematian Allah”. Ia juga adalah seorang ateis tulen. Suatu hari, ada beberapa orang Kristen menginjili dia, dan menantangnya untuk menjadi pengikut Yesus. Nietzche berkata kepada orang-orang Kristen yang menginjilinya, demikian: “Jika kalian menunjukkan kehidupanmu seperti hidup Kristus, maka aku akan menjadi seorang Kristen.”

Dari perkataan Nietzche ini, jelas terlihat bahwa kesaksian hidup sedemikian penting. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus benar-benar sempurna, tanpa dosa, namun menunjukkan bahwa hidup kita berbeda dari standar hidup yang dijalankan dunia, kita tidak berusaha menyesuaikan diri dengan dunia, tetapi menunjukkan perjuangan kita melawan dosa, sekalipun mungkin kita sekali-kali dikalahkan oleh dosa, kita terus berjuang untuk menjalani kehidupan yang kudus.

Pertanyaannya adalah: mungkinkah kita bisa menjadi kudus sementara kita hidup di dunia yang penuh dengan kecemaran ini? Sekalipun sangat sulit di dalam realitasnya, namun Jawabannya adalah: sangat mungkin. 

Pertama, adalah karena Allah telah menguduskan kita oleh Roh Kudus-Nya yang tinggal di dalam kita sejak kita menerima Kristus sebagai Juru selamat kita. 

Dan kedua, Roh Kudus itulah yang menolong kita dalam proses pengudusan kita, yaitu: melalui ketaatan kita kepada firman Tuhan. Proses pengudusan kita tidak terpisah dari firman Allah. Kepatuhan kepada firman sama dengan hidup dipimpin oleh Roh Kudus.

BACA JUGA: KAJIAN DIPENUHI ROH KUDUS DALAM KISAH PARA RASUL 2:4

Pengakuan Iman Westminster mengatakan: bahwa di dalam diri mereka yang dipanggil dengan efektif dan dilahirkan kembali, diciptakan hati yang baru dan roh yang baru, dan mereka dikuduskan lebih jauh, sungguh-sungguh dan secara perseorangan, oleh kekuatan kematian dan kebangkitan Kristus:

 Melalui firman dan Roh-Nya yang diam dalam diri mereka

 Kuasa seluruh tubuh dosa dihancurkan

 Dan berbagai hawa nafsunya makin hari makin dimatikan

 Dan kita diperkuat dalam semua anugerah yang menyelamatkan

 Menuju ke praktik kekudusan yang sejati, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan

Kesimpulan

1. Allah memanggil kita, menguduskan kita, supaya setiap kita menjadi kudus seperti diri-Nya, dan Ia menghendaki kita hidup dalam kekudusan setiap hari.

2. Menghidupi kehidupan yang kudus dalam “seluruh hidup” di dunia yang penuh kecemaran, bukanlah persoalan yang mudah. Ada risiko-risiko di hadapan kita: kebencian dunia, juga daya tarik-daya tarik yang dunia perlihatkan kepada kita sebagai “ranjau-ranjau rohani” yang dapat menjebak kita. Bukan hanya pencobaan eksternal, tetapi juga yang bersifat internal, seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam Roma 7. Namun, Tuhan sudah memberikan Roh Kudus untuk menjadi Penolong kita dalam proses pengudusan yang berlangsung seumur hidup kita.

3. Mari kita bertekad untuk mematuhi Roh Kudus yang diwujudkan melalui kepatuhan kita kepada firman-Nya: menjadi pelaku-pelaku firman (Yakobus 1:22-23).

Next Post Previous Post