YOHANES 11: 1-45: YESUS MEMBANGKITKAN LAZARUS (2)

MUJIZAT YESUS KRISTUS : YOHANES 11: 1-45: YESUS MEMBANGKITKAN LAZARUS (2)

[ IV ]. BERTEKAD UNTUK PERGI.

“Demikianlah perkataan-Nya, dan sesudah itu Ia berkata kepada mereka: "Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya. Maka kata murid-murid itu kepada-Nya: "Tuhan, jikalau ia tertidur, ia akan sembuh." Tetapi maksud Yesus ialah tertidur dalam arti mati, sedangkan sangka mereka Yesus berkata tentang tertidur dalam arti biasa. Karena itu Yesus berkata dengan terus terang: "Lazarus sudah mati; tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya. Marilah kita pergi sekarang kepadanya." Lalu Tomas, yang disebut Didimus, berkata kepada teman-temannya, yaitu murid-murid yang lain: "Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia." (Yohanes 11:11-16)
YOHANES 11: 1-45: YESUS MEMBANGKITKAN LAZARUS (2)
Di sini Yohanes menggunakan cara yang biasa dalam menceritakan tentang percakapan Yesus. Dalam Injil Ke-empat, percakapan Yesus selalu mengikuti pola yang sama. Yesus mengatakan sesuatu yang terdengar sangat sederhana. Ucapannya disalah-pahami, dan dia melanjutkan dengan menjelaskan lebih lengkap dan tidak salah lagi apa yang Dia maksud. Demikian pula dengan percakapan-Nya dengan Nikodemus mengenai Kelahiran kembali (Yohanes 3:3-8); dan percakapan-Nya dengan wanita di sumur mengenai air kehidupan (Yohanes 4:10-15).

Yesus memulai dengan mengatakan bahwa Lazarus sedang tidur. Bagi para murid itu terdengar kabar baik, karena tidak ada obat yang lebih baik daripada tidur. Tetapi kata “tidur” selalu memiliki makna yang lebih dalam dan lebih serius. Yesus berkata tentang anak perempuan Yairus bahwa dia sedang “tidur” (Matius 9:24); pada akhir kemartiran Stefanus kita diberitahu bahwa dia tertidur (Kisah Para Rasul 7:60). 

Paulus berbicara tentang mereka yang tidur di dalam Yesus (1 Tesalonika 4:13); dan saksi-saksi Kebangkitan yang sekarang tertidur (1 Korintus 15:6). Jadi Yesus harus memberitahu mereka dengan jelas bahwa Lazarus sudah mati; dan kemudian dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa demi kebaikan mereka, inilah hal yang baik, karena hal ini akan mencetuskan suatu kejadian yang akan menopang mereka lebih kuat lagi dalam iman mereka.

Bukti yang terakhir dalam Kekristenan adalah melihat apa yang Yesus Kristus dapat lakukan. Kata-kata mungkin gagal meyakinkan, tetapi tidak ada argumen yang menentang Allah dalam tindakan-tindakan-Nya. Ini adalah fakta sederhana bahwa kuasa Yesus Kristus telah membuat pengecut menjadi pahlawan, seorang peragu menjadi orang yang yakin, orang yang hanya mementingkan diri sendiri menjadi hamba semua orang. Di atas segalanya, adalah fakta sejarah jelas membuktikan bahwa kuasa Kristus telah membuat orang jahat menjadi baik.

Itulah yang memberi tanggung-jawab yang begitu besar kepada tiap orang Kristen. Dalam rencana Tuhan tiap orang di antara kita harus merupakan bukti yang hidup dari kuasa Kristus. Tugas kita bukanlah untuk memuji Kristus dalam kata-kata, tetapi untuk menunjukkan dalam hidup kita apa yang telah Kristus lakukan untuk kita. Kematian Lazarus membawa krisis bagi Yesus, dan dia senang, karena itu memberinya kesempatan untuk menunjukkan dengan cara yang paling menakjubkan apa yang dapat Tuhan lakukan. Bagi kita tiap krisis haruslah demikian itu.

Pada saat itu para murid mungkin menolak untuk mengikuti Yesus; kemudian terdengarlah satu suara yang pelan berbicara. Mereka semua merasa bahwa pergi ke Yerusalem berarti menuju kematian mereka, dan mereka enggan untuk ikut pergi. Kemudian terdengar suara Tomas: "Marilah kita semua pergi agar kita mati bersama-sama dengan Dia.”

Pada saat itu Thomas menunjukkan sikap keberanian yang tertinggi. Tidak berarti bahwa ia tidak mengenal rasa takut. Jika kita tidak mempunyai rasa takut adalah hal yang paling mudah di dalam dunia untuk melakukan suatu perkara. Keberanian yang sejati berarti sungguh-sungguh berani untuk menghadapi hal yang terburuk yang mungkin terjadi, walaupun merasa amat takut dan pusing, namun ia melakukan juga hal yang tepat. Semacam itulah yang dilakukan oleh Tomas hari itu. Tidak usah orang merasa malu kalau merasa takut; akan tetapi dia boleh merasa malu jika rasa takutnya itu mencegahnya untuk melakukan apa yang sebenarnya dia tahu dalam hatinya, seharusnya dilakukan.

[ V ]. RUMAH PERKABUNGAN.

“Maka ketika Yesus tiba, didapati-Nya Lazarus telah empat hari berbaring di dalam kubur. Betania terletak dekat Yerusalem, kira-kira dua mil jauhnya. Di situ banyak orang Yahudi telah datang kepada Marta dan Maria untuk menghibur mereka berhubung dengan kematian saudaranya.” (Yohanes 11:17-19)

Agar kita bisa membayangkan secara lebih hidup kejadian ini, kita harus terlebih dahulu melihat bagaimanakah keadaan rumah perkabungan orang Yahudi. Biasanya di Palestina, karena iklimnya, penguburan dilakukan selekas mungkin setelah kematian. Terkadang penguburan amat banyak menelan biaya. Rempah-rempah yang terbaik dan minyak digunakan untuk mengurapi mayat itu. Jenazah itu sendiri di bungkus dengan kain yang indah dan mahal. Segala macam barang berharga pun ikut dikubur di dalam makam.

Pada pertengahan abad pertama semua ini telah menjadi pengeluaran yang amat berat dan menyulitkan. Wajarlah pada kejadian semacam itu tidak ada seorang yang ingin kalah dengan tetangganya, dan kain bungkus dan kain jubah untuk menutupi mayat, dan barang-barang berharga yang diikutsertakan di dalam makam, semuanya ini membuat lebih mahal lagi. Soal ini menjadi suatu beban yang amat berat di mana tiada orang mau mengubahnya – sampai datanglah seorang rabi yang terkenal bernama Gamaliel Kedua. Ia memberi instruksi agar orang dikubur dengan menggunakan kain lenan yang paling sederhana, dan dengan demikian dia merombak adat kebiasaan penguburan yang berkelebihan itu.

Sampai hari ini pada upacara penguburan Yahudi, sebuah cawan diminum bagi rabi Gamaliel yang telah melepaskan orang-orang Yahudi dari pemborosan yang dipamerkan itu. Sejak waktu itu mayat dibungkus dengan kain lenan biasa yang terkadang disebut dengan nama yang indah, yaitu “pakaian untuk bepergian” (travelling dress).

Sebanyak mungkin orang menghadiri pemakaman. Setiap orang yang berkesempatan diharapkan, demi penghormatan, mengikuti iringan menuju ke tempat penguburan. Satu kebiasaan yang aneh ialah bahwa orang-orang wanita berjalan di depan, karena wanita dipandang yang pertama kali membawa masuk dosa ke dalam dunia, maka kini mereka wajib memimpin orang-orang yang berduka-cita ke tempat penguburan. 

Di tempat penguburan terkadang diucapkan pidato-pidato untuk memperingati orang yang mati. Tiap orang diharapkan menyatakan ikut berduka-cita, dan waktu mereka meninggalkan pekuburan itu, mereka berdiri dalam dua deretan panjang dan sementara itu mereka yang amat berkabung berjalan di antara mereka. Akan tetapi, ada peraturan yang bijaksana yaitu mereka yang berkabung tidak boleh diganggu dengan omongan kosong. Mereka, sementara harus disendirikan dengan kesedihan mereka.

Di rumah duka ada beberapa adat kebiasaan tertentu. Selama jenazah berada di dalam rumah, orang tidak boleh makan daging atau minum anggur, atau memakai tabung kecil yang berisi hukum Taurat, atau terlihat dalam suatu bentuk studi. Tidak boleh ada makanan yang boleh diolah di dalam rumah, dan makanan yang dimakan tidak boleh dimakan di hadapan jenazah. Begitu jenazah tersebut telah diangkut pergi, maka semua meja kursi harus dibalikkan dan mereka yang berkabung duduk di lantai atau bangku rendah.

Dukacita yang mendalam berlangsung selama tujuh hari, di mana tiga hari pertama adalah hari-hari tangisan. Selama tujuh hari ini dilarang untuk mengurapi diri sendiri, memakai sepatu, terlihat dalam segala bentuk studi, atau pekerjaan, dan bahkan untuk mandi. melakukan studi atau bisnis apa pun, dan bahkan mencuci. Minggu perkabungan yang berat itu dilanjutkan dengan dukacita yang lebih ringan selama tiga puluh hari. Maka pada waktu Yesus menjumpai banyak orang di rumah itu di Betania, Dia menjumpai suasana seperti yang dapat diharapkan dalam sebuah rumah duka orang Yahudi.

Jadi, ketika Yesus menemukan kerumunan orang di rumah di Betania, Ia menemukan apa yang diharapkan setiap orang di rumah duka orang Yahudi. Merupakan tugas suci untuk datang dan untuk mengungkapkan simpati penuh kasih kepada teman-teman dan kerabat yang berduka dari orang yang telah meninggal.

Penghormatan terhadap jenazah dan rasa simpati terhadap orang yang berkabung merupakan bagian yang azasi dari kewajiban orang Yahudi. Jika orang yang berkabung itu meninggalkan makam, mereka berpaling dan berkata: “Berangkatlah dengan damai”, dan mereka tidak pernah menyebut nama orang yang telah mati itu tanpa mengucapkan berkat atasnya. Ada sesuatu yang indah sekali di dalam cara orang Yahudi menekankan kewajiban untuk menunjukkan simpati terhadap orang-orang yang berkabung. Adalah sebuah rumah tangga yang penuh dengan para simpatisan yang Yesus datangi pada hari itu.

[ VI ]. KEBANGKITAN DAN HIDUP (1).

“Ketika Marta mendengar, bahwa Yesus datang, ia pergi mendapatkan-Nya. Tetapi Maria tinggal di rumah. Maka kata Marta kepada Yesus: "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati. Tetapi sekarang pun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepada-Mu segala sesuatu yang Engkau minta kepada-Nya." Kata Yesus kepada Marta: "Saudaramu akan bangkit." Kata Marta kepada-Nya: "Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman." Jawab Yesus: "Akulah kebangkitan dan hidup; barang siapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" Jawab Marta: "Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia." (Yohanes 11:20-27)

Di dalam cerita ini juga, Marta tampak cocok sekali dengan wataknya. Ketika Lukas menceritakan kepada kita tentang Marta dan Maria (Lukas 10:38-42), dia menunjukkan kepada kita Marta sebagai orang yang menyukai tindakan (action), dan Maria sebagai orang yang nalurinya adalah untuk duduk diam. Demikianlah juga di sini. Segera setelah diumumkan bahwa Yesus sudah dekat, Marta bangun untuk menemuinya, karena dia tidak bisa duduk diam, tetapi Maria tetap berada di belakang.

Ketika Marta bertemu Yesus, hatinya berbicara melalui bibirnya. Ini adalah salah satu pidato yang paling manusiawi di seluruh Alkitab, karena Marta berbicara, setengah dengan celaan yang tidak dapat ditahannya, dan setengah dengan iman yang tidak dapat digoyahkan. “Sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.” Melalui kata-kata itu kita bisa membaca pikiran Marta, seolah ia berkata, “Pada waktu Engkau menerima berita kami, mengapa Engkau tidak segera datang ke sini? Dan sekarang, Kau sudah terlambat.” Akan tetapi, segera sesudah kata-kata itu diucapkan, menyusullah kata-kata iman, iman yang menegaskan kenyataan dan pengalaman. “Walaupun demikian, “ katanya dengan nada putus asa,” walaupun demikian, aku toh tahu bahwa Allah akan memberikan kepada-Mu apa saja yang Kau minta.”

Yesus berkata "Saudaramu akan bangkit kembali." Marta menjawab: “Aku tahu bahwa dia akan bangkit kembali pada kebangkitan umum pada akhir zaman.”

Nah, inilah suatu ucapan yang penting. Salah satu perkara yang aneh di dalam Alkitab ialah adanya kenyataan bahwa para orang suci di dalam Perjanjian Lama praktis tidak percaya adanya kehidupan yang sungguh sesudah mati. Pada zaman yang lebih kuno orang-orang Ibrani percaya bahwa jiwa tiap orang, baik atau jahat, masuk ke Sheol. Sheol ini kurang tepat jika diterjemahkan dengan Neraka. Itu karena bukan merupakan tempat penyiksaan, melainkan merupakan negeri keteduhan.

Semuanya masuk ke sana dan mengalami kehidupan yang samar-samar, seperti bayangan, tanpa kekuatan atau kesukaan, semacam kehidupan roh halus. Inilah kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar Perjanjian Lama. “Sebab di dalam maut tidaklah orang ingat kepada-Mu; siapakah yang akan bersyukur kepada-Mu di dalam dunia orang mati?” (Mazmur 6:6). “Apakah untungnya, kalau aku turun ke dalam lubang kubur? Dapatkah debu bersyukur kepada-Mu dan memberitakan kesetiaan-Mu?” (Mazmur 30:10).

Pemazmur berkata tentang “orang yang mati dibunuh, terbang dalam kubur, yang tidak Kauingat lagi, sebab mereka putus dari kuasa-Mu.” (Mazmur 88:6). ”Dapatkah kasih-Mu diberitakan di dalam kubur, dan kesetiaan-Mu di tempat kebinasaan? Diketahui orangkah keajaiban-keajaiban dalam kegelapan, dan keadilan-Mu di negeri segala lupa?” (Mazmur 88:12, 13). “Bukan orang-orang mati akan memuji Tuhan, dan bukan semua orang yang turun ke tempat sunyi.” (Mazmur115:17).

Pengkhotbah menyatakan dengan seramnya, “Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.” (Pengkhotbah 9:10).

Adalah kepercayaan, raja Hizkia, bahwa, “Sebab dunia orang mati tidak dapat mengucap syukur kepada-Mu, dan maut tidak dapat memuji-muji Engkau; orang-orang yang turun le liang kubur tidak menanti-nanti akan kesetiaan-Mu.” (Yesaya 38:18). Sesudah kematian datanglah negeri kesunyian dan tanpa ingat, di mana bayang-bayang orang dipisahkan dari manusia dan dari Tuhan.

Hanya terkadang sekali seseorang di dalam Perjanjian Lama berani mengambil suatu loncatan iman. Sang Pemazmur berseru: “...tubuhku akan diam dengan tenteram; sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan orang kudis-Mu melihat kebinasaan. Engkau memerintahkan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada sukacita senantiasa.” (Mazmur 16:9-11). “Tapi aku tetap di Dekat-Mu. Engkau memegang tangan kananku. Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan.” (Mazmur 73:23-24).

Pemazmur yakin bahwa jika orang mempunyai hubungan yang sungguh-sungguh dengan Tuhan, maka kematian pun tidak bisa merusakkannya. Akan tetapi pada taraf itu, itu lebih merupakan suatu loncatan iman dalam keadaan putus asa, daripada keyakinan yang mantap.

Akhirnya di dalam Perjanjian Lama kita menjumpai juga adanya harapan kekekalan dalam Kitab Ayub. Dalam menghadapi semua malapetaka yang menimpanya, Ayub berseru:

“Karena bagi pohon masih ada harapan: apabila ditebang, ia bertunas kembali, dan tunasnya tidak berhenti tumbuh. Apabila akarnya menjadi tua di dalam tanah, dan tunggulnya mati di dalam debu, maka bersemilah ia, setelah diciumnya air, dan dikeluarkannyalah ranting seperti semai. Tetapi bila manusia mati, maka tidak berdayalah ia, bila orang binasa, di manakah ia? Seperti air menguap dari dalam tasik, dan sungai surut dan menjadi kering, demikian juga manusia berbaring dan tidak bangkit lagi, sampai langit hilang lenyap, mereka tidak terjaga, dan tidak bangun dari tidurnya. Ah, kiranya Engkau menyembunyikan aku di dalam dunia orang mati, melindungi aku, sampai murka-Mu surut; dan menetapkan waktu bagiku, kemudian mengingat aku pula! Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi? Maka aku akan menaruh harap selama hari-hari pergumulanku, sampai tiba giliranku; maka Engkau akan memanggil, dan aku pun akan menyahut; Engkau akan rindu kepada buatan tangan-Mu.” (Ayub 14:7-15)

Di sini, dalam Kitab Ayub, kita mempunyai benih sejati dari kepercayaan orang Yahudi mengenai kehidupan kekal. Sejarah Yahudi adalah sejarah musibah-musibah, penawanan, perbudakan dan kekalahan. Namun orang-orang Yahudi memiliki keyakinan yang kokoh kuat tak tergoyahkan bahwa mereka adalah umat Tuhan sendiri.


Dunia ini tidak pernah dan tidak akan menunjukkan hal itu; maka karena itu tidak bisa dihindarkan bahwa mereka memanggil dunia yang baru, untuk menyusun kembali segala kekurangan dari dunia yang lama. Mereka melihat bahwa jika rencana Tuhan akan dilaksanakan sepenuhnya, jika keadilan-Nya akan benar-benar terpenuhi, jika kasih-Nya akhirnya akan dipuaskan, perlulah ada dunia yang lain dan kehidupan yang lain.

Bumi ini tidak pernah menunjukkannya dan tidak akan pernah; mau tidak mau, oleh karena itu, mereka memanggil dunia baru untuk memperbaiki kekurangan yang lama. Mereka datang untuk melihat bahwa jika rancangan Tuhan benar-benar harus dilaksanakan, jika keadilan-Nya benar-benar harus dipenuhi, jika cinta-Nya akhirnya dipuaskan, dunia lain dan kehidupan lain diperlukan. Perasaan itulah yang menuntun orang Ibrani pada keyakinan bahwa ada kehidupan yang akan datang.

Adalah benar bahwa pada zaman Yesus orang Saduki masih menolak kepercayaan tentang kehidupan sesudah kematian. Akan tetapi, orang-orang Farisi dan kebanyakan orang-orang Yahudi percaya. Mereka mengatakan bahwa pada saat kematian, d8ua dunia itu yaitu dunia yang dikuasai oleh waktu dan yang kekal akan bertemu dan berciuman. Mereka mengatakan bahwa mereka yang mati melihat Tuhan dan mereka menolak untuk menyebut mereka orang mati, melainkan orang hidup. Pada waktu Marta menjawab Yesus dengan jawabannya itu, dia hanya menyaksikan kepada apa yang paling tinggi dapat dicapai dalam iman bangsanya.
(Bersambung)
Next Post Previous Post