Pemikiran John Calvin tentang Kerja dan Panggilan
Pendahuluan:
Pemikiran teologis John Calvin tentang kerja dan vokasi memiliki nilai yang mendalam dalam pemahaman bagaimana pekerjaan manusia berhubungan dengan panggilan dan pelayanan kepada Allah serta sesama. Dalam pemikirannya, Calvin tidak hanya menghubungkan konsep vokasi dengan kehidupan rohani dan pelayanan gerejawi, tetapi juga dengan pekerjaan sehari-hari, seperti pertanian, perdagangan, dan profesi lainnya.
Pemikiran teologis John Calvin tentang kerja dan vokasi memiliki nilai yang mendalam dalam pemahaman bagaimana pekerjaan manusia berhubungan dengan panggilan dan pelayanan kepada Allah serta sesama. Dalam pemikirannya, Calvin tidak hanya menghubungkan konsep vokasi dengan kehidupan rohani dan pelayanan gerejawi, tetapi juga dengan pekerjaan sehari-hari, seperti pertanian, perdagangan, dan profesi lainnya.
Bagi Calvin, pekerjaan adalah panggilan yang diberikan oleh Allah kepada setiap individu. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi pemikiran Calvin tentang kerja sebagai panggilan, hubungannya dengan doktrin predestinasi, dan bagaimana pekerjaan juga menjadi sarana pelayanan kepada sesama. Selain itu, kita akan melihat bagaimana Calvin mendorong tanggung jawab sosial dalam pekerjaan dan pengertian tentang kebaikan bersama. Semua konsep ini membentuk dasar pemikiran teologi kerja Calvin yang relevan hingga saat ini.
Kerja sebagai Vokasi/ Panggilan
Di dalam pemikiran Calvin, kerja dan vokasi sangat erat kaitannya. Ia tidak melekatkan konsep vokasi hanya pada kehidupan meditasi dan pelayanan gerejawi. Akan tetapi, ia juga melekatkan konsep vokasi pada pekerjaan manusia biasa seperti bercocok tanam, berjualan barang, menjadi hakim, dan sebagainya. Calvin menandaskan alasan manusia bekerja dikarenakan Allah telah memanggil mereka untuk bekerja. Oleh karena itu, bagi Calvin, kerja tidak perlu dijauhi untuk suatu praktik yang dianggap lebih tinggi, seperti kehidupan monoteisme dan meditasi yang umumnya dipraktikkan oleh gereja-gereja Katolik Roma di era Pertengahan.
Menurut Calvin, kata vokasi di sini sinonim dengan kata panggilan, seperti Allah mengacungkan jari-Nya dan berkata kepada setiap orang dan menghendaki mereka untuk hidup dengan cara begini atau begitu. Itulah sebabnya, konsep vokasi Calvin terkait dengan doktrin predestinasi serta doktrin kedaulatan Allah.
Akar dari konsep Calvin tentang vokasi dapat ditemukan pada doktrinnya tentang Allah yang berdaulat atas ciptaan-Nya di mana Allah menciptakan, menentukan, serta memelihara segala sesuatu termasuk kehidupan manusia sehari-hari (Roma 9, 11; kisah Esau dan Yakub). Dengan mengutip Matius 10: 30, Calvin berpendapat bahwa setelah seseorang—yang dengan imannya—mengetahui ada Pencipta maka ia harus segera menyimpulkan bahwa Pencipta itu juga adalah Pemimpin dan Pemelihara yang memelihara, menghargai, dan mengawasi segala sesuatu yang telah Dia ciptakan, bahkan yang terkecil sekalipun.
Pemeliharaan dan pengontrolan Allah, bagi Calvin, mencakup penempatan Allah secara khusus atas individu-individu dalam jenis pekerjaan tertentu yang Allah tugaskan kepada mereka (1 Korintus 7: 17, 20, 24). Dengan kata lain, Calvin memandang bahwa ketika Allah memanggil seseorang untuk suatu pekerjaan tertentu, Dia juga dengan sengaja menempatkan orang itu dalam ruang dan waktu tertentu sehingga ia mampu melakukan pekerjaan-panggilan yang harus ia lakukan.
Menariknya, Calvin menafsirkan kata Yunani dipanggil (κλῆσις) dalam 1 Korintus 7: 20 bukan sebagai panggilan untuk pertobatan dan pemuridan di dalam Kristus, melainkan sebagai panggilan terhadap peran sosial dan pekerjaan sehari-hari. Lebih jauh, sebagaimana yang dikatakan Scott Waalkes, panggilan Allah di dalam 1 Korintus 7: 20 juga ditafsirkan oleh Calvin sebagai suatu cara hidup yang sesuai menurut hukum.
Calvin berkomentar bahwa Paulus menasihati setiap orang untuk tetap berpegang teguh pada pekerjaan mereka, tetapi dalam batas-batas hukum perdagangan yang telah ditetapkan Allah sebelumnya melalui pemerintah setempat. Dengan kata lain, seorang murid Kristus tidak harus meninggalkan pekerjaan sebelumnya selama itu sah menurut hukum.
Jadi, berbasis pada doktrin kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya, Calvin berpendapat bahwa Allah sudah menetapkan tugas setiap manusia yang dikonfirmasi oleh panggilan-Nya kepada mereka secara partikular. Calvin mengatakannya dengan apik:
The Lord bids each one of us in all life’s actions to look to his calling. For he knows with what great restlessness human nature flames, with what fickleness it is borne hither and thither, how its ambition longs to embrace various things at once therefore, lest through our stupidity and rashness everything be turned topsy-turvy, he has appointed duties for every man in his particular way of life. And that no one may thoughtlessly transgress his limits, he has named these various kinds of living “callings.” Therefore each individual has his own kind of living assigned to him by the Lord as a sort of sentry post so that he may not heedlessly wander about throughout life.
Dengan juga menandaskan panggilan Allah, Calvin berpendapat bahwa tugas setiap orang ialah menemukan pekerjaan seperti apa yang Allah ingin dia kerjakan. Itulah sebabnya, Calvin memandang penting bagi seseorang untuk mengetahui panggilan Allah di dalam hidupnya sehingga ia dapat melakukan pekerjaannya dengan setia dan tulus.
Selain itu, Calvin memandang panggilan Allah adalah obat yang manjur untuk kegelisahan yang membara, keragu-raguan, dan ambisi manusia yang berdosa dalam bekerja. Calvin menjelaskannya sebagai berikut:
The magistrate will discharge his functions more willingly; the head of the household will confine himself to his duty; each man will bear and swallow the discomforts, vexations, weariness, and anxieties in his way of life, when he has been persuaded that the burden was laid upon him by God. From this will arise also a singular consolation: that no task will be so sordid and base, provided you obey your calling in it, that it will not shine and be reckoned very precious in God’s sight.
Lagi pula, berbasis pada narasi penciptaan, Calvin memandang bahwa Allah telah menjadikan dan memperlengkapi manusia yang segambar Allah dengan kuasa dan kapasitas intelektual untuk mengerjakan dan mengembangkan apa yang telah Allah ciptakan (Kejadian 1–2) demi memuliakan-Nya. Dengan kata lain, manusia sebagai gambar Allah juga merupakan makhluk pekerja—meskipun tidak terbatas pada itu—sebab Calvin merujuk juga pada gagasan antropologinya yang utama tentang manusia sebagai gambar Allah. Ia memaksudkan dan mengharapkannya untuk menjadi seperti Kristus oleh kuasa Roh Kudus dalam segala aspek kehidupan manusia.
Meskipun manusia dijadikan dan diperlengkapi untuk bekerja, penting juga untuk diketahui bahwa bagi Calvin, Allah tidak menetapkan dan memanggil manusia untuk melakukan pekerjaan jahat apa pun. Kejahatan di dalam pekerjaan manusia ialah karena dosa pemberontakan yang mana manusia menolak untuk melakukan apa yang Allah ingin mereka kerjakan.
Mengenai narasi kejatuhan, Calvin berpendapat bahwa pekerjaan yang seharusnya menyenangkan manusia menjadi beban setelah manusia jatuh dalam dosa (Kejadian 3: 17–19). Namun, kutukan pada pekerjaan ini bersifat pedagogis atau pengajaran sebab kutukan pada pekerjaan dapat membantu manusia untuk menyadari kondisi yang sebenarnya dan menuntunnya ke arah pertobatan. Tentu saja, sifat pedagogis dari kutukan di sini, bagi Calvin, bersifat potensial. Hal itu bukan berarti manusia dapat bertobat tanpa anugerah Allah di dalam Kristus.
Lebih lanjut, Calvin berpendapat bahwa penghukuman manusia bukanlah titik akhir sebab kutukan atas pekerjaan sudah terangkat sebagian melalui Kristus. Ketika menafsirkan Mazmur 128: 2, Calvin berkomentar bahwa Allah sudah mengampuni sebagian dari kutukan atas pekerjaan manusia oleh kasih karunia Kristus, khususnya kepada umat-Nya supaya mereka tidak sampai menyerah di bawah beban kerja yang berat. Sebagai hasilnya, hukuman dalam pekerjaan telah dilunakkan dan terdapat kesenangan pada pekerjaan manusia karena penyelamatan Kristus.
Namun, sekali lagi, kesenangan itu hanya ditemukan jika manusia mengerjakan apa yang Tuhan panggil untuk mereka kerjakan, bukan ketika manusia melakukan pekerjaan yang melanggar hukum. Terkait mengerjakan panggilan Tuhan, Calvin berbeda dengan Luther. Bagi Luther, kewajiban untuk memenuhi panggilan itu lebih merupakan beban, sedangkan, bagi Calvin, kewajiban itu lebih sebagai anugerah dari Tuhan.
Sekalipun Calvin dan Luther memandang kerja sebagai vokasi, tetapi keduanya memang memiliki perbedaan dalam memahaminya. Bagi Luther, seseorang yang dipanggil untuk pekerjaan tertentu harus tetap di dalam pekerjaan itu seumur hidup, sedangkan Calvin tidak kaku seperti Luther. Calvin memberikan ruang bagi seseorang untuk mengeksplorasi pekerjaan lain dan mengubah pekerjaan mereka sesuai karunia alam (natural gift) yang bersifat di sini (here) dan saat ini (now). Bahkan, Calvin sendiri memperkenalkan pembuatan kain dan beludru kepada jemaatnya yang menganggur supaya mereka dapat bekerja ketika kota Jenewa menghadapi masalah pengangguran yang serius.
Jadi, yang penting bagi Calvin ialah jika pekerjaan itu sah menurut hukum maka pekerjaan itu juga sejalan dengan panggilan Allah.
Kerja sebagai Pelayanan
Selain memandang kerja sebagai vokasi atau panggilan, Calvin juga memandang kerja sebagai sarana pelayanan kepada sesama. Mengapa demikian? Calvin memandang tujuan kerja adalah untuk memenuhi kebutuhan sesama atau masyarakat guna mencapai kebaikan bersama. Di dalam gagasan ini, teologi kerja Calvin menandaskan aspek sosial yang menuntut manusia saling melayani satu sama lain di dalam dan melalui pekerjaannya. Namun, penulis mengakui bahwa ada ketegangan antara kerja sebagai vokasi dan kerja sebagai pelayanan, sebab tidak semua pekerjaan yang terlihat “melayani sesama” adalah panggilan Allah. Sebagai contoh, pelacuran, hakim yang korup, mafia, dan sejenisnya yang timbul bukan karena panggilan Allah, melainkan oleh kehendak manusia yang berdosa.
Selain itu, bagi Calvin, dosa juga mencapai dan mengambil bentuk secara struktural dan bukan hanya individual dengan cara menghasilkan sistem ekonomi dan ketenagakerjaan yang tidak adil, seperti seorang majikan menawarkan upah rendah yang tidak adil kepada karyawan yang sangat membutuhkan pekerjaan. Oleh karena itu, Calvin memandang penting anugerah Allah melalui karya Roh Kudus yang bekerja melalui karunia-karunia alami manusia, yang juga diiringi oleh panggilan Allah, untuk memampukan manusia bekerja sesuai panggilannya dan saling melayani satu sama lain.
Sekalipun terdapat ketegangan antara vokasi dan pelayanan, sebetulnya Calvin menyelaraskan dan memprakarsai kedua gagasan tersebut di dalam pemikiran teologi kerjanya dengan memandang bahwa panggilan Allah pasti berhubungan dengan sikap melayani serta peduli. terhadap sesama. Oleh sebab itu, Calvin berpendapat bahwa ketika mengerjakan pekerjaan sesuai panggilan, seseorang juga turut memelihara hukum-hukum ekonomi yang berguna bagi masyarakat serta kesiapan dalam menghadapi ancaman, kebingungan, kekacauan, dan korupsi. Pendek kata, bagi Calvin, mengerjakan panggilan sama dengan merefleksikan cara hidup yang saleh di ruang publik.
Di dalam pemikiran teologi kerja Calvin, tujuan setiap orang dipanggil untuk pekerjaan tertentu bukanlah agar manusia menjadi makhluk individualistis, melainkan agar setiap orang harus melayani sesamanya dan juga dilayani oleh yang lain. Oleh karena itu, sebagaimana yang dicatat Alister McGrath, Calvin memuji pembagian kerja karena manfaat ekonominya dan caranya yang menekankan ketergantungan manusia dan keberadaan sosial.
Jadi, bagi Calvin, terdapat hubungan ketergantungan dan pemenuhan kebutuhan antara seorang pekerja dengan pekerja yang lain. Jika seorang pekerja hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan tertentu maka adalah wajar membutuhkan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat ia lakukan sendiri. Hal ini sesuai dengan kehendak Allah.
Dengan demikian, Calvin mengangkat derajat pekerjaan biasa atau sehari-hari agar tidak kalah mulianya dengan kegiatan ibadah di gereja. Ia memandang pekerjaan adalah sebuah ikatan yang mempersatukan manusia dengan sesamanya sebab kerja menyediakan ruang untuk saling berkomunikasi. Demikian pula, pekerjaan biasa memiliki tujuan yang sama dengan karunia Roh lainnya dalam pelayanan gereja, yakni persekutuan untuk saling berkomunikasi antar manusia.
Lebih jauh, Calvin memandang bahwa pekerjaan seseorang yang sesuai dengan panggilannya dan melayani sesama niscaya akan memuliakan Allah. Artinya, kemuliaan Allah dinyatakan ketika seseorang melayani orang lain. Akan tetapi, manusia memerlukan karunia-karunia Roh untuk pekerjaan yang dilakukan dalam kasih dan keadilan.
Hal ini dikarenakan seluruh dunia—bahkan dalam pekerjaan biasa dan bukan hanya ibadah gerejawi—adalah teater kemuliaan Allah yang menampilkan sifat-sifat-Nya seperti kedaulatan, keagungan, kebijaksanaan, keadilan, dan belas kasihan-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya.
Alih-alih menghilangkan tanggung jawab manusia di dalam bekerja, Calvin justru memandang bahwa terdapat hubungan intrinsik antara pekerjaan manusia dan pekerjaan Allah. Bahkan, Allah dapat bekerja melalui pekerjaan-pekerjaan manusia. Pemeliharaan Allah atas ciptaan-Nya, bagi Calvin, menyediakan fondasi untuk pekerjaan manusia dan bukannya menekan aktivitas bebas atau tanggung jawab manusia.
Dengan kata lain, Calvin mendorong agar setiap pekerjaan manusia harus turut serta melayani pekerjaan Allah dalam mewujudkan kebaikan Allah kepada setiap ciptaan Allah. Di dalam pemikiran Calvin tentang dunia yang merefleksikan kemuliaan Allah, Allah menempatkan dan memanggil manusia, khususnya gereja, untuk bertanggung jawab atas pekerjaannya dengan bekerja menurut hukum-hukum Allah yang juga menampilkan sifat-sifat-Nya, seperti kasih dan keadilan kepada sesamanya.
Dalam menafsirkan Kejadian 2: 15, Calvin pun menyebutkan bahwa, “Moreover, that this economy, and this diligence, with respect to those good things which God has given us to enjoy, may flourish among us; let everyone regard himself as the steward of God in all things which he possesses.”
Mengenai bagian ini, Calvin mengindikasikan kebaikan bersama sebagai tanggung jawab sekaligus tujuan pekerjaan setiap individu sebagai penatalayan untuk saling melayani satu sama lain.
Jadi, Calvin dengan tegas menolak bahwa tujuan seseorang bekerja ialah untuk meraup keuntungan bagi dirinya sendiri (kapitalisme) dan juga dengan cara bekerja yang melanggar hukum-hukum Allah tanpa mementingkan kesejahteraan dan kebaikan bersama. Dalam hal ini, kebaikan bersama menunjukkan kondisi sosial yang memungkinkan manusia mencapai pemenuhan hidupnya secara lebih penuh dan utuh.
Dalam khotbahnya tentang Efesus 4: 26–28, Calvin juga mengatakan bahwa alasan tercapainya kebaikan bersama ialah karena “surely God will only approve of occupations which are profitable and serviceable to the whole community.” Dengan demikian, di dalam bidang pekerjaan atau market pun, Calvin memandang bahwa kehendak Allah perlu untuk diutamakan dan bukan ketamakan serta keegoisan manusia.
Pada kenyataannya, Calvin, yang sepanjang hidupnya sebagai pendeta di Jenewa, juga menunjukkan pentingnya pekerjaan sebagai pelayanan kepada sesama dalam kasih dan keadilan demi mencapai kebaikan bersama. Menurut catatan sejarah, ia menghadapi perubahan ekonomi yang signifikan saat Calvin melayani gereja di kota Jenewa.
Kerja sebagai Vokasi/ Panggilan
Di dalam pemikiran Calvin, kerja dan vokasi sangat erat kaitannya. Ia tidak melekatkan konsep vokasi hanya pada kehidupan meditasi dan pelayanan gerejawi. Akan tetapi, ia juga melekatkan konsep vokasi pada pekerjaan manusia biasa seperti bercocok tanam, berjualan barang, menjadi hakim, dan sebagainya. Calvin menandaskan alasan manusia bekerja dikarenakan Allah telah memanggil mereka untuk bekerja. Oleh karena itu, bagi Calvin, kerja tidak perlu dijauhi untuk suatu praktik yang dianggap lebih tinggi, seperti kehidupan monoteisme dan meditasi yang umumnya dipraktikkan oleh gereja-gereja Katolik Roma di era Pertengahan.
Menurut Calvin, kata vokasi di sini sinonim dengan kata panggilan, seperti Allah mengacungkan jari-Nya dan berkata kepada setiap orang dan menghendaki mereka untuk hidup dengan cara begini atau begitu. Itulah sebabnya, konsep vokasi Calvin terkait dengan doktrin predestinasi serta doktrin kedaulatan Allah.
Akar dari konsep Calvin tentang vokasi dapat ditemukan pada doktrinnya tentang Allah yang berdaulat atas ciptaan-Nya di mana Allah menciptakan, menentukan, serta memelihara segala sesuatu termasuk kehidupan manusia sehari-hari (Roma 9, 11; kisah Esau dan Yakub). Dengan mengutip Matius 10: 30, Calvin berpendapat bahwa setelah seseorang—yang dengan imannya—mengetahui ada Pencipta maka ia harus segera menyimpulkan bahwa Pencipta itu juga adalah Pemimpin dan Pemelihara yang memelihara, menghargai, dan mengawasi segala sesuatu yang telah Dia ciptakan, bahkan yang terkecil sekalipun.
Pemeliharaan dan pengontrolan Allah, bagi Calvin, mencakup penempatan Allah secara khusus atas individu-individu dalam jenis pekerjaan tertentu yang Allah tugaskan kepada mereka (1 Korintus 7: 17, 20, 24). Dengan kata lain, Calvin memandang bahwa ketika Allah memanggil seseorang untuk suatu pekerjaan tertentu, Dia juga dengan sengaja menempatkan orang itu dalam ruang dan waktu tertentu sehingga ia mampu melakukan pekerjaan-panggilan yang harus ia lakukan.
Menariknya, Calvin menafsirkan kata Yunani dipanggil (κλῆσις) dalam 1 Korintus 7: 20 bukan sebagai panggilan untuk pertobatan dan pemuridan di dalam Kristus, melainkan sebagai panggilan terhadap peran sosial dan pekerjaan sehari-hari. Lebih jauh, sebagaimana yang dikatakan Scott Waalkes, panggilan Allah di dalam 1 Korintus 7: 20 juga ditafsirkan oleh Calvin sebagai suatu cara hidup yang sesuai menurut hukum.
Calvin berkomentar bahwa Paulus menasihati setiap orang untuk tetap berpegang teguh pada pekerjaan mereka, tetapi dalam batas-batas hukum perdagangan yang telah ditetapkan Allah sebelumnya melalui pemerintah setempat. Dengan kata lain, seorang murid Kristus tidak harus meninggalkan pekerjaan sebelumnya selama itu sah menurut hukum.
Jadi, berbasis pada doktrin kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya, Calvin berpendapat bahwa Allah sudah menetapkan tugas setiap manusia yang dikonfirmasi oleh panggilan-Nya kepada mereka secara partikular. Calvin mengatakannya dengan apik:
The Lord bids each one of us in all life’s actions to look to his calling. For he knows with what great restlessness human nature flames, with what fickleness it is borne hither and thither, how its ambition longs to embrace various things at once therefore, lest through our stupidity and rashness everything be turned topsy-turvy, he has appointed duties for every man in his particular way of life. And that no one may thoughtlessly transgress his limits, he has named these various kinds of living “callings.” Therefore each individual has his own kind of living assigned to him by the Lord as a sort of sentry post so that he may not heedlessly wander about throughout life.
Dengan juga menandaskan panggilan Allah, Calvin berpendapat bahwa tugas setiap orang ialah menemukan pekerjaan seperti apa yang Allah ingin dia kerjakan. Itulah sebabnya, Calvin memandang penting bagi seseorang untuk mengetahui panggilan Allah di dalam hidupnya sehingga ia dapat melakukan pekerjaannya dengan setia dan tulus.
Selain itu, Calvin memandang panggilan Allah adalah obat yang manjur untuk kegelisahan yang membara, keragu-raguan, dan ambisi manusia yang berdosa dalam bekerja. Calvin menjelaskannya sebagai berikut:
The magistrate will discharge his functions more willingly; the head of the household will confine himself to his duty; each man will bear and swallow the discomforts, vexations, weariness, and anxieties in his way of life, when he has been persuaded that the burden was laid upon him by God. From this will arise also a singular consolation: that no task will be so sordid and base, provided you obey your calling in it, that it will not shine and be reckoned very precious in God’s sight.
Lagi pula, berbasis pada narasi penciptaan, Calvin memandang bahwa Allah telah menjadikan dan memperlengkapi manusia yang segambar Allah dengan kuasa dan kapasitas intelektual untuk mengerjakan dan mengembangkan apa yang telah Allah ciptakan (Kejadian 1–2) demi memuliakan-Nya. Dengan kata lain, manusia sebagai gambar Allah juga merupakan makhluk pekerja—meskipun tidak terbatas pada itu—sebab Calvin merujuk juga pada gagasan antropologinya yang utama tentang manusia sebagai gambar Allah. Ia memaksudkan dan mengharapkannya untuk menjadi seperti Kristus oleh kuasa Roh Kudus dalam segala aspek kehidupan manusia.
Meskipun manusia dijadikan dan diperlengkapi untuk bekerja, penting juga untuk diketahui bahwa bagi Calvin, Allah tidak menetapkan dan memanggil manusia untuk melakukan pekerjaan jahat apa pun. Kejahatan di dalam pekerjaan manusia ialah karena dosa pemberontakan yang mana manusia menolak untuk melakukan apa yang Allah ingin mereka kerjakan.
Mengenai narasi kejatuhan, Calvin berpendapat bahwa pekerjaan yang seharusnya menyenangkan manusia menjadi beban setelah manusia jatuh dalam dosa (Kejadian 3: 17–19). Namun, kutukan pada pekerjaan ini bersifat pedagogis atau pengajaran sebab kutukan pada pekerjaan dapat membantu manusia untuk menyadari kondisi yang sebenarnya dan menuntunnya ke arah pertobatan. Tentu saja, sifat pedagogis dari kutukan di sini, bagi Calvin, bersifat potensial. Hal itu bukan berarti manusia dapat bertobat tanpa anugerah Allah di dalam Kristus.
Lebih lanjut, Calvin berpendapat bahwa penghukuman manusia bukanlah titik akhir sebab kutukan atas pekerjaan sudah terangkat sebagian melalui Kristus. Ketika menafsirkan Mazmur 128: 2, Calvin berkomentar bahwa Allah sudah mengampuni sebagian dari kutukan atas pekerjaan manusia oleh kasih karunia Kristus, khususnya kepada umat-Nya supaya mereka tidak sampai menyerah di bawah beban kerja yang berat. Sebagai hasilnya, hukuman dalam pekerjaan telah dilunakkan dan terdapat kesenangan pada pekerjaan manusia karena penyelamatan Kristus.
Namun, sekali lagi, kesenangan itu hanya ditemukan jika manusia mengerjakan apa yang Tuhan panggil untuk mereka kerjakan, bukan ketika manusia melakukan pekerjaan yang melanggar hukum. Terkait mengerjakan panggilan Tuhan, Calvin berbeda dengan Luther. Bagi Luther, kewajiban untuk memenuhi panggilan itu lebih merupakan beban, sedangkan, bagi Calvin, kewajiban itu lebih sebagai anugerah dari Tuhan.
Sekalipun Calvin dan Luther memandang kerja sebagai vokasi, tetapi keduanya memang memiliki perbedaan dalam memahaminya. Bagi Luther, seseorang yang dipanggil untuk pekerjaan tertentu harus tetap di dalam pekerjaan itu seumur hidup, sedangkan Calvin tidak kaku seperti Luther. Calvin memberikan ruang bagi seseorang untuk mengeksplorasi pekerjaan lain dan mengubah pekerjaan mereka sesuai karunia alam (natural gift) yang bersifat di sini (here) dan saat ini (now). Bahkan, Calvin sendiri memperkenalkan pembuatan kain dan beludru kepada jemaatnya yang menganggur supaya mereka dapat bekerja ketika kota Jenewa menghadapi masalah pengangguran yang serius.
Jadi, yang penting bagi Calvin ialah jika pekerjaan itu sah menurut hukum maka pekerjaan itu juga sejalan dengan panggilan Allah.
Kerja sebagai Pelayanan
Selain memandang kerja sebagai vokasi atau panggilan, Calvin juga memandang kerja sebagai sarana pelayanan kepada sesama. Mengapa demikian? Calvin memandang tujuan kerja adalah untuk memenuhi kebutuhan sesama atau masyarakat guna mencapai kebaikan bersama. Di dalam gagasan ini, teologi kerja Calvin menandaskan aspek sosial yang menuntut manusia saling melayani satu sama lain di dalam dan melalui pekerjaannya. Namun, penulis mengakui bahwa ada ketegangan antara kerja sebagai vokasi dan kerja sebagai pelayanan, sebab tidak semua pekerjaan yang terlihat “melayani sesama” adalah panggilan Allah. Sebagai contoh, pelacuran, hakim yang korup, mafia, dan sejenisnya yang timbul bukan karena panggilan Allah, melainkan oleh kehendak manusia yang berdosa.
Selain itu, bagi Calvin, dosa juga mencapai dan mengambil bentuk secara struktural dan bukan hanya individual dengan cara menghasilkan sistem ekonomi dan ketenagakerjaan yang tidak adil, seperti seorang majikan menawarkan upah rendah yang tidak adil kepada karyawan yang sangat membutuhkan pekerjaan. Oleh karena itu, Calvin memandang penting anugerah Allah melalui karya Roh Kudus yang bekerja melalui karunia-karunia alami manusia, yang juga diiringi oleh panggilan Allah, untuk memampukan manusia bekerja sesuai panggilannya dan saling melayani satu sama lain.
Sekalipun terdapat ketegangan antara vokasi dan pelayanan, sebetulnya Calvin menyelaraskan dan memprakarsai kedua gagasan tersebut di dalam pemikiran teologi kerjanya dengan memandang bahwa panggilan Allah pasti berhubungan dengan sikap melayani serta peduli. terhadap sesama. Oleh sebab itu, Calvin berpendapat bahwa ketika mengerjakan pekerjaan sesuai panggilan, seseorang juga turut memelihara hukum-hukum ekonomi yang berguna bagi masyarakat serta kesiapan dalam menghadapi ancaman, kebingungan, kekacauan, dan korupsi. Pendek kata, bagi Calvin, mengerjakan panggilan sama dengan merefleksikan cara hidup yang saleh di ruang publik.
Di dalam pemikiran teologi kerja Calvin, tujuan setiap orang dipanggil untuk pekerjaan tertentu bukanlah agar manusia menjadi makhluk individualistis, melainkan agar setiap orang harus melayani sesamanya dan juga dilayani oleh yang lain. Oleh karena itu, sebagaimana yang dicatat Alister McGrath, Calvin memuji pembagian kerja karena manfaat ekonominya dan caranya yang menekankan ketergantungan manusia dan keberadaan sosial.
Jadi, bagi Calvin, terdapat hubungan ketergantungan dan pemenuhan kebutuhan antara seorang pekerja dengan pekerja yang lain. Jika seorang pekerja hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan tertentu maka adalah wajar membutuhkan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat ia lakukan sendiri. Hal ini sesuai dengan kehendak Allah.
Dengan demikian, Calvin mengangkat derajat pekerjaan biasa atau sehari-hari agar tidak kalah mulianya dengan kegiatan ibadah di gereja. Ia memandang pekerjaan adalah sebuah ikatan yang mempersatukan manusia dengan sesamanya sebab kerja menyediakan ruang untuk saling berkomunikasi. Demikian pula, pekerjaan biasa memiliki tujuan yang sama dengan karunia Roh lainnya dalam pelayanan gereja, yakni persekutuan untuk saling berkomunikasi antar manusia.
Lebih jauh, Calvin memandang bahwa pekerjaan seseorang yang sesuai dengan panggilannya dan melayani sesama niscaya akan memuliakan Allah. Artinya, kemuliaan Allah dinyatakan ketika seseorang melayani orang lain. Akan tetapi, manusia memerlukan karunia-karunia Roh untuk pekerjaan yang dilakukan dalam kasih dan keadilan.
Hal ini dikarenakan seluruh dunia—bahkan dalam pekerjaan biasa dan bukan hanya ibadah gerejawi—adalah teater kemuliaan Allah yang menampilkan sifat-sifat-Nya seperti kedaulatan, keagungan, kebijaksanaan, keadilan, dan belas kasihan-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya.
Alih-alih menghilangkan tanggung jawab manusia di dalam bekerja, Calvin justru memandang bahwa terdapat hubungan intrinsik antara pekerjaan manusia dan pekerjaan Allah. Bahkan, Allah dapat bekerja melalui pekerjaan-pekerjaan manusia. Pemeliharaan Allah atas ciptaan-Nya, bagi Calvin, menyediakan fondasi untuk pekerjaan manusia dan bukannya menekan aktivitas bebas atau tanggung jawab manusia.
Dengan kata lain, Calvin mendorong agar setiap pekerjaan manusia harus turut serta melayani pekerjaan Allah dalam mewujudkan kebaikan Allah kepada setiap ciptaan Allah. Di dalam pemikiran Calvin tentang dunia yang merefleksikan kemuliaan Allah, Allah menempatkan dan memanggil manusia, khususnya gereja, untuk bertanggung jawab atas pekerjaannya dengan bekerja menurut hukum-hukum Allah yang juga menampilkan sifat-sifat-Nya, seperti kasih dan keadilan kepada sesamanya.
Dalam menafsirkan Kejadian 2: 15, Calvin pun menyebutkan bahwa, “Moreover, that this economy, and this diligence, with respect to those good things which God has given us to enjoy, may flourish among us; let everyone regard himself as the steward of God in all things which he possesses.”
Mengenai bagian ini, Calvin mengindikasikan kebaikan bersama sebagai tanggung jawab sekaligus tujuan pekerjaan setiap individu sebagai penatalayan untuk saling melayani satu sama lain.
Jadi, Calvin dengan tegas menolak bahwa tujuan seseorang bekerja ialah untuk meraup keuntungan bagi dirinya sendiri (kapitalisme) dan juga dengan cara bekerja yang melanggar hukum-hukum Allah tanpa mementingkan kesejahteraan dan kebaikan bersama. Dalam hal ini, kebaikan bersama menunjukkan kondisi sosial yang memungkinkan manusia mencapai pemenuhan hidupnya secara lebih penuh dan utuh.
Dalam khotbahnya tentang Efesus 4: 26–28, Calvin juga mengatakan bahwa alasan tercapainya kebaikan bersama ialah karena “surely God will only approve of occupations which are profitable and serviceable to the whole community.” Dengan demikian, di dalam bidang pekerjaan atau market pun, Calvin memandang bahwa kehendak Allah perlu untuk diutamakan dan bukan ketamakan serta keegoisan manusia.
Pada kenyataannya, Calvin, yang sepanjang hidupnya sebagai pendeta di Jenewa, juga menunjukkan pentingnya pekerjaan sebagai pelayanan kepada sesama dalam kasih dan keadilan demi mencapai kebaikan bersama. Menurut catatan sejarah, ia menghadapi perubahan ekonomi yang signifikan saat Calvin melayani gereja di kota Jenewa.
Calvin berpendapat bahwa para pemimpin kota Jenewa harus bertugas mengatur perdagangan, terutama untuk mencegah orang-orang serakah yang mengambil keuntungan dari mereka yang miskin. Oleh sebab itu, ia mengusulkan biaya lima persen pada pinjaman dan perkembangan perbankan. Jadi, Calvin tidak serta merta menolak sistem peminjaman dana selama dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab.
Di samping itu, Calvin juga mengajarkan tentang perlunya memberikan upah yang adil, penetapan harga makanan yang terkendali, dan lingkungan kerja yang baik. Dalam khotbahnya tentang kitab Ulangan, Calvin berulang kali mengajak para pendengarnya untuk mengambil tindakan dan menerapkan keyakinan kristiani ketika membantu mereka yang membutuhkan. Ia bahkan mengumpulkan dana untuk rumah sakit Jenewa sebab dana yang terkumpul dari waktu ke waktu telah menipis. Melalui karya-karyanya, Calvin juga ikut terlibat dalam memajukan kesejahteraan masyarakat secara umum, tentunya dalam kebajikan kristiani seperti kasih dan keadilan.
Kesimpulan
Pemikiran John Calvin tentang kerja dan vokasi membawa pemahaman yang dalam tentang bagaimana pekerjaan manusia berkaitan erat dengan panggilan Allah, pelayanan kepada sesama, dan tanggung jawab sosial dalam masyarakat. Calvin memandang pekerjaan sebagai panggilan ilahi, di mana setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menemukan dan menjalankan pekerjaan yang sesuai dengan panggilan Allah. Ini bukan hanya berlaku untuk kehidupan rohani atau pelayanan gerejawi, tetapi juga mencakup pekerjaan sehari-hari, seperti pertanian, perdagangan, dan profesi lainnya.
Konsep vokasi dalam pemikiran Calvin bersinergi dengan doktrin predestinasi dan kedaulatan Allah dalam penciptaan. Ia meyakini bahwa Allah telah menetapkan tugas dan pekerjaan masing-masing individu, dan dengan sengaja menempatkan mereka dalam waktu dan tempat yang sesuai. Calvin menekankan bahwa pemahaman akan panggilan Allah dalam pekerjaan membawa manfaat besar dalam menjalankannya dengan setia dan tulus.
Selain itu, Calvin memandang pekerjaan sebagai sarana pelayanan kepada sesama dan mencapai kebaikan bersama. Ia mengajak individu untuk melayani sesama melalui pekerjaan mereka, menjunjung tinggi prinsip kasih, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Calvin sendiri aktif terlibat dalam upaya memajukan kesejahteraan masyarakat, mengusulkan regulasi keuangan dan lingkungan kerja yang adil, serta mendukung penyediaan bantuan bagi mereka yang membutuhkan.
Pemikiran Calvin memberikan landasan yang kuat untuk memahami bahwa pekerjaan bukan hanya sarana untuk mencari nafkah, tetapi juga panggilan ilahi yang memungkinkan kita memuliakan Allah dan melayani sesama. Dalam dunia yang terus berubah, konsep kerja dan vokasi menurut Calvin tetap relevan, mengingatkan kita akan tanggung jawab moral dalam pekerjaan dan pentingnya menciptakan kondisi sosial yang adil.
Di samping itu, Calvin juga mengajarkan tentang perlunya memberikan upah yang adil, penetapan harga makanan yang terkendali, dan lingkungan kerja yang baik. Dalam khotbahnya tentang kitab Ulangan, Calvin berulang kali mengajak para pendengarnya untuk mengambil tindakan dan menerapkan keyakinan kristiani ketika membantu mereka yang membutuhkan. Ia bahkan mengumpulkan dana untuk rumah sakit Jenewa sebab dana yang terkumpul dari waktu ke waktu telah menipis. Melalui karya-karyanya, Calvin juga ikut terlibat dalam memajukan kesejahteraan masyarakat secara umum, tentunya dalam kebajikan kristiani seperti kasih dan keadilan.
Kesimpulan
Pemikiran John Calvin tentang kerja dan vokasi membawa pemahaman yang dalam tentang bagaimana pekerjaan manusia berkaitan erat dengan panggilan Allah, pelayanan kepada sesama, dan tanggung jawab sosial dalam masyarakat. Calvin memandang pekerjaan sebagai panggilan ilahi, di mana setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menemukan dan menjalankan pekerjaan yang sesuai dengan panggilan Allah. Ini bukan hanya berlaku untuk kehidupan rohani atau pelayanan gerejawi, tetapi juga mencakup pekerjaan sehari-hari, seperti pertanian, perdagangan, dan profesi lainnya.
Konsep vokasi dalam pemikiran Calvin bersinergi dengan doktrin predestinasi dan kedaulatan Allah dalam penciptaan. Ia meyakini bahwa Allah telah menetapkan tugas dan pekerjaan masing-masing individu, dan dengan sengaja menempatkan mereka dalam waktu dan tempat yang sesuai. Calvin menekankan bahwa pemahaman akan panggilan Allah dalam pekerjaan membawa manfaat besar dalam menjalankannya dengan setia dan tulus.
Selain itu, Calvin memandang pekerjaan sebagai sarana pelayanan kepada sesama dan mencapai kebaikan bersama. Ia mengajak individu untuk melayani sesama melalui pekerjaan mereka, menjunjung tinggi prinsip kasih, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Calvin sendiri aktif terlibat dalam upaya memajukan kesejahteraan masyarakat, mengusulkan regulasi keuangan dan lingkungan kerja yang adil, serta mendukung penyediaan bantuan bagi mereka yang membutuhkan.
Pemikiran Calvin memberikan landasan yang kuat untuk memahami bahwa pekerjaan bukan hanya sarana untuk mencari nafkah, tetapi juga panggilan ilahi yang memungkinkan kita memuliakan Allah dan melayani sesama. Dalam dunia yang terus berubah, konsep kerja dan vokasi menurut Calvin tetap relevan, mengingatkan kita akan tanggung jawab moral dalam pekerjaan dan pentingnya menciptakan kondisi sosial yang adil.