1 Yohanes 4:7: Kasih sebagai Identitas dan Tanda Anak-anak Allah

Pendahuluan:

1 Yohanes 4:7 berbunyi: “Saudara-saudaraku yang kukasihi, marilah kita saling mengasihi karena kasih berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Allah” (1 Yohanes 4:7 AYT). Ayat ini menekankan pentingnya kasih sebagai identitas utama orang percaya, serta bukti nyata dari hubungan mereka dengan Allah. Dalam seluruh suratnya, Yohanes berulang kali menekankan bahwa kasih adalah inti dari kehidupan Kristen, dan ayat ini secara khusus mengaitkan tindakan kasih dengan pengenalan akan Allah.
1 Yohanes 4:7: Kasih sebagai Identitas dan Tanda Anak-anak Allah
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi pandangan dari beberapa teolog ternama seperti Augustine, John Calvin, dan N.T. Wright tentang 1 Yohanes 4:7. Selain itu, kita akan melihat makna kasih dalam konteks Alkitab dan penerapannya dalam kehidupan orang percaya sebagai ekspresi nyata dari iman mereka.

1. Kasih: Sifat Allah yang Dinyatakan

Salah satu poin penting dalam 1 Yohanes 4:7 adalah bahwa kasih berasal dari Allah. Kasih bukan hanya sebuah konsep atau emosi manusia, tetapi merupakan esensi dari siapa Allah itu. Kasih ilahi merupakan sifat hakiki Allah, dan Dia menyatakan kasih-Nya kepada dunia melalui ciptaan, pemeliharaan, dan yang paling utama, melalui Yesus Kristus. Kasih bukan sekadar perintah moral, tetapi berasal langsung dari natur Allah.

John Calvin, dalam komentarnya tentang 1 Yohanes, menekankan bahwa kasih yang dimaksud Yohanes di sini bukan kasih yang bersifat manusiawi, melainkan kasih yang ilahi dan kekal. Calvin menulis, “Kasih yang sejati tidak bisa ditemukan di luar Allah, karena Dia adalah sumber dari segala kasih yang sejati. Kasih yang datang dari manusia, tanpa pengenalan akan Allah, hanyalah bayangan yang lemah dari kasih yang sesungguhnya.” Bagi Calvin, kasih sejati hanya bisa dipahami dan dihayati ketika seseorang mengenal Allah yang adalah kasih.

Teolog gereja awal, Augustine, dalam karyanya The City of God, menjelaskan bahwa kasih Allah adalah kasih yang memberi tanpa pamrih. Augustine berkata, “Kasih Allah adalah kasih yang memancar dari kebesaran dan kebaikan-Nya, bukan karena kebutuhan atau kekurangan, tetapi karena kehendak bebas-Nya untuk mengasihi.” Menurut Augustine, kasih manusia adalah pantulan dari kasih Allah, dan tindakan kasih sejati adalah bagian dari kehendak Allah yang dinyatakan dalam hubungan kita dengan sesama.

2. Mengasihi Sesama: Bukti Lahir Baru

Bagian kedua dari ayat ini menyatakan bahwa “setiap orang yang mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Allah.” Di sini, Yohanes mengaitkan tindakan mengasihi dengan tanda kelahiran baru dan pengenalan akan Allah. Seseorang yang mengasihi sesamanya menunjukkan bahwa ia telah dilahirkan dari Allah dan telah mengalami transformasi rohani yang mendalam. Mengasihi sesama adalah bukti nyata dari pekerjaan Allah dalam hidup seseorang.

N.T. Wright, dalam bukunya Simply Christian, menekankan bahwa kasih adalah bukti otentik dari iman seseorang. Wright menulis, “Mengasihi sesama adalah cerminan dari iman yang sejati, karena iman sejati tidak hanya terlihat dalam keyakinan intelektual, tetapi dalam tindakan yang nyata. Kasih adalah tanda dari hidup baru yang diberikan oleh Allah melalui Roh-Nya.” Wright mengaitkan tindakan kasih dengan misi Yesus yang memanggil murid-murid-Nya untuk hidup dalam kasih yang aktif.

Dalam pandangan John Stott, dalam bukunya The Epistles of John, kasih kepada sesama adalah manifestasi dari kasih Allah dalam hidup orang percaya. Stott menulis, “Mengasihi sesama bukan hanya sebuah kewajiban moral, tetapi cerminan dari pekerjaan Allah dalam hidup kita. Setiap tindakan kasih yang sejati menunjukkan bahwa kita telah mengalami kelahiran baru dan mengenal Allah.” Stott menggarisbawahi bahwa kasih kepada sesama bukan sekadar perintah eksternal, tetapi merupakan buah dari transformasi rohani yang dihasilkan oleh hubungan kita dengan Allah.

3. Kasih sebagai Pengenalan akan Allah

Yohanes juga menekankan bahwa orang yang mengasihi telah mengenal Allah. Di sini, kasih bukan hanya tindakan moral, tetapi juga merupakan bukti bahwa seseorang benar-benar mengenal Allah. Dalam Alkitab, "mengenal" memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar pengetahuan intelektual; itu berarti memiliki hubungan yang mendalam, akrab, dan penuh kasih dengan Allah. Mengasihi sesama adalah tanda bahwa seseorang hidup dalam hubungan yang benar dengan Allah.

Augustine, dalam Confessions, mengajarkan bahwa pengenalan akan Allah selalu membawa seseorang kepada kasih yang sejati. “Mengenal Allah berarti mengenal kasih itu sendiri, karena Dia adalah kasih. Orang yang sungguh-sungguh mengenal Allah tidak bisa tidak mengasihi, karena kasih adalah manifestasi dari pengenalan yang sejati,” tulis Augustine. Dengan kata lain, mengasihi sesama adalah tanda bahwa seseorang telah mengenal Allah secara pribadi dan mendalam.

John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menjelaskan bahwa pengenalan akan Allah yang benar selalu menghasilkan kasih. Calvin menulis, “Mereka yang benar-benar mengenal Allah tidak hanya berteori tentang Dia, tetapi mengasihi-Nya dan, sebagai hasilnya, mereka mengasihi sesama mereka. Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama tidak dapat dipisahkan, karena mereka yang mengenal Allah akan mencerminkan kasih-Nya.” Bagi Calvin, pengenalan akan Allah adalah pengalaman transformatif yang membawa seseorang pada kehidupan yang penuh kasih.

4. Kasih yang Berasal dari Allah: Anugerah yang Memampukan

Dalam 1 Yohanes 4:7, Yohanes juga menegaskan bahwa kasih yang sejati berasal dari Allah. Hal ini berarti bahwa manusia tidak dapat menghasilkan kasih sejati dari dirinya sendiri. Kasih yang sejati adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada orang percaya melalui Roh Kudus, yang bekerja di dalam hati mereka untuk mengasihi dengan cara yang sesuai dengan kehendak Allah.

R.C. Sproul, dalam bukunya The Holiness of God, menekankan bahwa kasih Allah yang memampukan orang percaya untuk mengasihi sesama. Sproul menulis, “Manusia, dalam keadaan berdosa, tidak mampu mengasihi dengan cara yang Allah kehendaki. Tetapi melalui anugerah-Nya, Allah mencurahkan kasih-Nya ke dalam hati kita melalui Roh Kudus, yang memampukan kita untuk mengasihi sesama dengan kasih yang berasal dari-Nya.” Sproul menunjukkan bahwa kasih yang sejati tidak bisa dipisahkan dari pekerjaan Allah yang mengubah hati manusia.

Dalam bukunya Knowing God, J.I. Packer menjelaskan bahwa kasih Allah adalah sumber dari segala kasih yang kita miliki. “Kasih yang sejati hanya bisa datang dari Allah, karena hanya Dia yang memiliki kasih yang sempurna dan tanpa pamrih. Kasih yang kita berikan kepada sesama adalah cerminan dari kasih Allah yang telah kita terima,” tulis Packer. Kasih yang datang dari Allah adalah kasih yang tidak mencari keuntungan pribadi, tetapi berfokus pada memberi dan melayani.

5. Kasih sebagai Identitas Orang Percaya

Salah satu implikasi dari 1 Yohanes 4:7 adalah bahwa kasih adalah tanda identitas orang percaya. Kasih kepada sesama menunjukkan bahwa seseorang adalah murid Kristus dan telah dilahirkan kembali dalam keluarga Allah. Dalam Yohanes 13:35, Yesus berkata, “Dari buah kasihmu satu terhadap yang lain, orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-murid-Ku.” Kasih adalah ciri utama yang membedakan orang percaya dari dunia.

Teolog Inggris, John Stott, dalam The Letters of John, menekankan bahwa kasih kepada sesama adalah tanda otentik dari murid-murid Yesus. Stott menulis, “Kasih adalah bukti yang tak terbantahkan dari identitas kita sebagai pengikut Kristus. Tanpa kasih, iman kita hampa dan tidak berdaya untuk menyatakan siapa kita sebenarnya.” Bagi Stott, kasih adalah bukti nyata yang menunjukkan bahwa seseorang telah mengalami perubahan hati oleh pekerjaan Allah.

Dietrich Bonhoeffer, dalam bukunya The Cost of Discipleship, mengaitkan kasih dengan panggilan untuk mengikuti Kristus. “Mengasihi sesama adalah tanggapan atas panggilan Kristus. Orang percaya tidak hanya dipanggil untuk menerima kasih Allah, tetapi juga untuk menyebarkannya melalui tindakan mereka kepada dunia,” tulis Bonhoeffer. Dengan demikian, kasih menjadi identitas dan misi dari orang percaya yang hidup dalam kesetiaan kepada Kristus.

6. Penerapan Praktis Kasih dalam Kehidupan Sehari-hari

Kasih yang Yohanes ajarkan dalam 1 Yohanes 4:7 bukan hanya teori teologis, tetapi juga memiliki penerapan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari orang percaya. Kasih ini harus diwujudkan dalam tindakan yang konkret dan nyata dalam relasi kita dengan sesama. Yohanes tidak berbicara tentang kasih yang abstrak, tetapi tentang kasih yang diwujudkan dalam tindakan memberi, melayani, dan memperhatikan kebutuhan orang lain.

John Piper, dalam bukunya Desiring God, menekankan bahwa kasih Kristen adalah kasih yang aktif, yang terwujud dalam pelayanan kepada orang lain. Piper menulis, “Kasih sejati bukan hanya tentang perasaan atau kata-kata, tetapi tentang tindakan nyata yang mencerminkan kasih Allah kepada dunia. Kita dipanggil untuk melayani sesama kita dengan kasih yang tulus dan tidak mementingkan diri sendiri.” Piper menekankan bahwa kasih Kristen harus terlihat dalam perbuatan sehari-hari, bukan hanya dalam pengakuan verbal.

Wayne Grudem, dalam Systematic Theology, juga menekankan pentingnya kasih yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Grudem menulis, “Kasih yang berasal dari Allah harus diungkapkan dalam tindakan yang nyata. Kasih Kristen tidak hanya bersifat emosional, tetapi harus diterjemahkan dalam tindakan yang nyata untuk membantu sesama kita, khususnya mereka yang membutuhkan.” Grudem menekankan bahwa kasih kepada sesama adalah cara kita mengekspresikan iman kita dalam kehidupan sehari-hari.

7. Tantangan Mengasihi di Tengah Dunia yang Egois

Meskipun kasih adalah inti dari kehidupan Kristen, mengasihi sesama bukanlah tugas yang mudah, terutama dalam dunia yang penuh dengan egoisme dan konflik. Banyak orang hidup dengan mentalitas “untuk diri sendiri,” yang menghalangi kasih yang tulus kepada sesama. Dalam konteks ini, panggilan untuk mengasihi sesama menjadi tantangan yang nyata bagi orang percaya.

Dietrich Bonhoeffer, dalam Letters and Papers from Prison, menekankan bahwa kasih Kristen sering kali berhadapan dengan budaya egoisme. “Mengasihi dalam dunia yang egois adalah panggilan untuk menanggung salib, karena kasih sering kali berarti memberi tanpa menerima kembali, mengampuni ketika disakiti, dan melayani meskipun tidak dihargai,” tulis Bonhoeffer. Mengasihi dalam konteks dunia yang penuh dosa membutuhkan kesabaran, pengorbanan, dan keteguhan hati yang datang dari Allah.

Dalam konteks modern, teolog kontemporer seperti N.T. Wright juga melihat tantangan serupa. Dalam bukunya Surprised by Hope, Wright menulis, “Mengasihi di tengah dunia yang penuh dengan egoisme dan ketidakadilan adalah tantangan yang sangat besar, tetapi itulah panggilan kita sebagai orang percaya. Kita dipanggil untuk menunjukkan kasih yang berbeda, kasih yang berasal dari Allah dan bukan dari dunia.” Mengasihi dalam konteks ini adalah panggilan untuk menjadi saksi bagi kasih Allah yang melampaui segala bentuk egoisme manusia.

Kesimpulan

1 Yohanes 4:7 memberikan pengajaran yang sangat penting tentang kasih sebagai identitas dan tanda dari orang percaya. Kasih yang sejati berasal dari Allah, dan mereka yang mengasihi sesamanya menunjukkan bahwa mereka telah dilahirkan dari Allah dan mengenal Allah secara pribadi. Kasih bukan hanya perintah moral, tetapi merupakan cerminan dari hubungan kita dengan Allah dan manifestasi dari pekerjaan Allah dalam hidup kita.

Pandangan teolog-teolog seperti Augustine, John Calvin, N.T. Wright, dan John Stott memperkaya pemahaman kita tentang makna kasih dalam konteks Alkitab dan menunjukkan bahwa kasih Kristen harus diwujudkan dalam tindakan yang nyata. Mengasihi sesama adalah panggilan yang datang dari pengalaman transformasi rohani yang mendalam dan merupakan bukti nyata dari kelahiran baru.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menghidupi kasih ini dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun tantangan untuk mengasihi di tengah dunia yang egois sangat nyata, kita dapat yakin bahwa kasih Allah yang bekerja dalam kita akan memampukan kita untuk mengasihi sesama dengan tulus dan tanpa pamrih. Kasih adalah bukti dari iman kita dan tanda bahwa kita adalah anak-anak Allah yang sejati.

Next Post Previous Post