Apa Itu Kitab-Kitab Apokrifa?
Pengantar:
Salah satu isu yang sering diperdebatkan dalam sejarah Kekristenan adalah status kitab-kitab Apokrifa, yang mencakup sejumlah tulisan Yahudi dan Kristen yang berada di luar kanon Alkitab Protestan. Gereja Katolik Roma menerima beberapa kitab Apokrifa sebagai bagian dari kanon Alkitab, yang mereka sebut sebagai Deuterokanonika. Namun, teologi Reformed secara tegas menolak kitab-kitab Apokrifa sebagai firman Allah. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi alasan-alasan teologi Reformed tidak mengakui Apokrifa sebagai firman Allah dengan mengacu pada sejarah kanon, isi kitab-kitab Apokrifa, dan doktrin otoritas Alkitab.
1. Apa Itu Kitab-Kitab Apokrifa?
a. Pengertian Apokrifa
Istilah "Apokrifa" berasal dari bahasa Yunani apokryphos, yang berarti "tersembunyi" atau "dirahasiakan." Dalam konteks Alkitab, istilah ini digunakan untuk merujuk pada sejumlah kitab yang tidak termasuk dalam kanon Ibrani (Perjanjian Lama) tetapi ditemukan dalam Septuaginta (terjemahan Yunani dari Alkitab Ibrani).
Kitab-kitab ini meliputi tulisan-tulisan seperti Tobit, Yudit, 1 dan 2 Makabe, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh (Ecclesiasticus), Barukh, dan beberapa tambahan pada kitab Ester dan Daniel.
Herman Bavinck mencatat bahwa kitab-kitab Apokrifa sering kali ditulis dalam periode antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang dikenal sebagai periode intertestamental (kira-kira 400 SM hingga 1 M).
b. Apokrifa dalam Sejarah Kanon
Kitab-kitab Apokrifa tidak diakui sebagai bagian dari kanon Alkitab Ibrani oleh komunitas Yahudi. Mereka juga tidak dimasukkan dalam kanon Alkitab Kristen oleh gereja-gereja awal, hingga Konsili Trente (1546) Gereja Katolik Roma secara resmi menerima kitab-kitab Apokrifa sebagai bagian dari kanon Katolik.
John Calvin menegaskan bahwa kitab-kitab Apokrifa tidak diilhami oleh Roh Kudus, sehingga tidak dapat dianggap sebagai firman Allah. Penolakan terhadap Apokrifa oleh para reformator seperti Calvin dan Martin Luther didasarkan pada doktrin sola Scriptura (hanya Kitab Suci yang berotoritas).
2. Mengapa Teologi Reformed Tidak Mengakui Apokrifa sebagai Firman Allah?
a. Kitab Apokrifa Tidak Diilhami oleh Allah
Teologi Reformed menegaskan bahwa firman Allah adalah tulisan-tulisan yang diilhami oleh Roh Kudus (2 Timotius 3:16). Kitab-kitab Apokrifa, meskipun memiliki nilai historis atau moral, tidak menunjukkan tanda-tanda pengilhaman ilahi.
Herman Bavinck mencatat bahwa kitab-kitab Apokrifa tidak pernah mengklaim bahwa mereka diilhami oleh Allah. Tidak seperti kitab-kitab kanonik, kitab-kitab Apokrifa sering kali menunjukkan ciri-ciri tulisan manusia yang tidak memiliki otoritas ilahi.
b. Penolakan oleh Komunitas Yahudi
Kitab-kitab Apokrifa tidak termasuk dalam kanon Alkitab Ibrani, yang merupakan kanon resmi komunitas Yahudi. Yesus dan para rasul mengakui kanon Yahudi sebagai firman Allah, tetapi mereka tidak pernah mengutip atau merujuk pada kitab-kitab Apokrifa sebagai bagian dari Kitab Suci.
John Calvin menjelaskan bahwa kanon Perjanjian Lama yang diakui Yesus adalah kanon Ibrani, yang terdiri dari 39 kitab seperti yang ditemukan dalam Alkitab Protestan saat ini. Dengan demikian, kitab-kitab Apokrifa tidak dapat dianggap sebagai firman Allah.
c. Tidak Dikutip dalam Perjanjian Baru
Tidak ada satu pun kitab Apokrifa yang dikutip dalam Perjanjian Baru. Sebaliknya, Perjanjian Baru mengutip secara ekstensif dari kitab-kitab Perjanjian Lama kanonik.
R. C. Sproul mencatat bahwa jika kitab-kitab Apokrifa adalah firman Allah, kita seharusnya menemukan pengakuan atau kutipan dari kitab-kitab tersebut dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru. Fakta bahwa hal ini tidak terjadi menunjukkan bahwa kitab-kitab Apokrifa tidak memiliki otoritas kanonik.
d. Isinya Bertentangan dengan Doktrin Alkitab
Beberapa bagian dari kitab-kitab Apokrifa mengandung ajaran yang bertentangan dengan doktrin Alkitab. Sebagai contoh:
- Doa bagi orang mati: 2 Makabe 12:45-46 mendorong doa bagi orang mati untuk menghapus dosa mereka, yang bertentangan dengan ajaran keselamatan melalui iman dalam Kristus saja (Efesus 2:8-9).
- Kepercayaan akan sihir: Tobit 6:5-7 menganjurkan penggunaan hati ikan untuk mengusir roh jahat, yang bertentangan dengan ajaran tentang kekudusan dan otoritas Allah.
John Calvin menekankan bahwa firman Allah tidak mungkin mengandung ajaran yang bertentangan dengan karakter Allah yang kudus dan benar. Fakta bahwa kitab-kitab Apokrifa mengandung kesalahan teologis adalah bukti bahwa mereka bukan firman Allah.
e. Otoritas Gereja Tidak Lebih Tinggi dari Kitab Suci
Gereja Katolik Roma menerima kitab-kitab Apokrifa sebagai kanonik berdasarkan otoritas gereja. Namun, teologi Reformed menolak gagasan bahwa gereja memiliki otoritas untuk menentukan kanon. Sebaliknya, gereja hanya mengakui kanon yang telah ditetapkan oleh Allah.
Herman Bavinck menegaskan bahwa kanon Kitab Suci ditentukan oleh Allah, bukan oleh manusia atau institusi gereja. Gereja tidak menciptakan kanon, tetapi hanya mengakui apa yang telah diilhamkan oleh Allah.
3. Pandangan Teologi Reformed tentang Kanon Alkitab
a. Kanon sebagai Karya Allah
Dalam teologi Reformed, kanon Alkitab adalah kumpulan tulisan-tulisan yang diilhami oleh Allah dan diterima oleh umat-Nya sebagai firman Allah. Kanon tidak ditentukan oleh konsili gereja atau keputusan manusia, tetapi oleh karya Roh Kudus yang memberikan pengakuan kepada gereja akan otoritas tulisan-tulisan tersebut.
b. Prinsip Otoritas dan Kecukupan Kitab Suci
Teologi Reformed memegang prinsip sola Scriptura, yang berarti bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya otoritas tertinggi dalam kehidupan dan doktrin Kristen. Penambahan kitab-kitab Apokrifa akan melanggar prinsip ini dan menambahkan beban pada otoritas yang sempurna dari Alkitab.
John Calvin menegaskan bahwa Kitab Suci adalah firman Allah yang sempurna dan cukup untuk memimpin umat Allah kepada keselamatan dan hidup yang kudus (2 Timotius 3:16-17).
4. Nilai Apokrifa bagi Orang Kristen
a. Nilai Sejarah dan Sastra
Meskipun tidak diakui sebagai firman Allah, kitab-kitab Apokrifa memiliki nilai sejarah dan sastra. Mereka memberikan wawasan tentang latar belakang sejarah, budaya, dan agama pada periode antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
R. C. Sproul mencatat bahwa kitab-kitab seperti 1 dan 2 Makabe dapat membantu orang percaya memahami perjuangan bangsa Yahudi melawan penjajahan Yunani dan kebangkitan pemikiran Yudaisme pada masa itu.
b. Perhatian terhadap Pengajaran yang Bertentangan
Namun, orang Kristen harus berhati-hati dalam membaca kitab-kitab Apokrifa, karena beberapa ajaran di dalamnya dapat menyesatkan. Herman Bavinck menekankan bahwa kitab-kitab ini tidak boleh dijadikan dasar doktrin atau praktik iman, karena tidak memiliki otoritas ilahi.
5. Implikasi Penolakan Apokrifa bagi Kehidupan Kristen
a. Fokus pada Firman Allah yang Diilhami
Penolakan terhadap Apokrifa mengingatkan orang percaya untuk fokus pada firman Allah yang diilhami, yaitu Alkitab Protestan yang terdiri dari 66 kitab.
John Calvin menegaskan bahwa umat Allah harus mempelajari Kitab Suci dengan sungguh-sungguh, karena di dalamnya terkandung segala sesuatu yang diperlukan untuk keselamatan dan kehidupan rohani.
b. Ketaatan kepada Prinsip Sola Scriptura
Penolakan terhadap Apokrifa juga menunjukkan komitmen teologi Reformed kepada prinsip sola Scriptura, di mana Kitab Suci dipandang sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan dan iman Kristen.
c. Menghormati Karya Allah dalam Kanon Alkitab
Orang percaya dipanggil untuk menghormati karya Allah dalam menyusun dan memelihara kanon Alkitab. Fakta bahwa gereja-gereja mula-mula dengan bimbingan Roh Kudus menolak kitab-kitab Apokrifa adalah bukti dari pemeliharaan Allah atas firman-Nya.
Kesimpulan: Mengapa Apokrifa Bukan Firman Allah?
Kitab-kitab Apokrifa, meskipun memiliki nilai sejarah dan sastra, tidak diakui sebagai firman Allah oleh teologi Reformed karena beberapa alasan utama: mereka tidak diilhami oleh Allah, tidak termasuk dalam kanon Yahudi, tidak dikutip dalam Perjanjian Baru, mengandung ajaran yang bertentangan dengan Alkitab, dan diterima sebagai kanonik berdasarkan otoritas gereja, bukan karya Roh Kudus.
Sebagaimana Mazmur 119:105 berkata:"Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku."
"Segala kemuliaan bagi Allah yang telah memberikan firman-Nya yang sempurna, cukup, dan berkuasa untuk memimpin umat-Nya dalam kebenaran dan keselamatan."