5 Mitos tentang John Calvin

5 Mitos tentang John Calvin

Pendahuluan

John Calvin (1509–1564) adalah salah satu tokoh Reformasi Protestan yang paling berpengaruh. Teolog asal Prancis ini memainkan peran besar dalam mengembangkan teologi Reformed, yang kemudian membentuk dasar bagi berbagai denominasi Kristen, seperti Presbyterian dan Reformed Churches. Namun, banyak kesalahpahaman yang berkembang tentang dirinya, baik dari kalangan yang menentangnya maupun dari mereka yang kurang memahami ajarannya secara menyeluruh.

Dalam artikel ini, kita akan membahas lima mitos umum tentang John Calvin dan mengklarifikasinya berdasarkan fakta sejarah serta perspektif beberapa teolog Reformed terkemuka, seperti R.C. Sproul, J.I. Packer, dan John Piper.

Mitos #1: John Calvin Menciptakan Predestinasi

Eksposisi Teologi Reformed

Salah satu anggapan yang paling sering muncul tentang Calvin adalah bahwa ia menciptakan doktrin predestinasi, yaitu gagasan bahwa Allah telah menetapkan siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang tidak. Namun, konsep ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum Calvin.

Dalam Institutes of the Christian Religion, Calvin tidak mengklaim menemukan doktrin ini, tetapi menguraikannya secara sistematis berdasarkan ajaran Alkitab. Ia merujuk kepada tulisan Agustinus, seorang Bapa Gereja dari abad ke-4, yang juga menegaskan predestinasi berdasarkan ayat-ayat seperti Efesus 1:4-5 dan Roma 8:29-30.

J.I. Packer menulis, "Calvin hanya melanjutkan warisan Augustinian yang telah ada selama berabad-abad. Pandangannya tentang predestinasi bukanlah sesuatu yang baru, tetapi bagian dari teologi historis Gereja."

Bahkan Martin Luther, yang lebih dulu memulai Reformasi Protestan, juga menegaskan doktrin ini dalam bukunya The Bondage of the Will. Dengan demikian, Calvin bukan pencipta predestinasi, tetapi seorang yang menyusun dan mengajarkannya dengan lebih jelas dalam sistem teologi Reformed.

Mitos #2: Calvin Menguasai Jenewa dengan Kediktatoran

Fakta Sejarah

Beberapa kritik menyebut Calvin sebagai "diktator Jenewa" yang memerintah kota dengan tangan besi. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa Calvin tidak pernah menjadi penguasa politik di Jenewa.

Ketika Calvin pertama kali tiba di Jenewa pada tahun 1536, ia hanyalah seorang pengungsi Prancis yang diundang oleh pendeta Guillaume Farel untuk membantu reformasi gereja di kota itu. Pada tahun 1538, ia bahkan diusir dari Jenewa karena otoritas kota menolak beberapa kebijakan gerejanya.

Calvin baru kembali pada tahun 1541 setelah diminta kembali oleh pemerintah kota, tetapi ia tetap seorang teolog dan pendeta, bukan seorang politisi. Dewan kota yang beranggotakan warga Jenewa tetap memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan.

R.C. Sproul menyatakan, "Calvin tidak pernah memiliki kekuasaan absolut di Jenewa. Ia adalah seorang pelayan gereja yang berupaya menegakkan disiplin spiritual, tetapi keputusan hukum tetap berada di tangan pemerintah sipil."

Mitos ini mungkin muncul karena Calvin berpengaruh dalam pembentukan tata gereja dan etika masyarakat Jenewa, tetapi itu dilakukan dalam kerangka kerja sama dengan otoritas sipil, bukan sebagai penguasa tunggal.

Mitos #3: Calvin Bertanggung Jawab atas Eksekusi Servetus

Latar Belakang Kasus Michael Servetus

Michael Servetus adalah seorang dokter dan teolog anti-Trinitarian yang ditangkap di Jenewa pada tahun 1553. Servetus mengajarkan bahwa doktrin Tritunggal adalah ajaran yang salah, sesuatu yang dianggap bid’ah oleh hampir semua kelompok Kristen pada saat itu, termasuk Katolik dan Protestan.

Banyak orang menuduh Calvin sebagai penyebab utama eksekusi Servetus, tetapi fakta sejarah menunjukkan bahwa hukuman mati Servetus bukan keputusan pribadi Calvin.

  1. Servetus ditangkap bukan hanya karena ajarannya, tetapi juga karena melarikan diri dari pengadilan Katolik di Prancis, yang sebelumnya telah menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
  2. Calvin memang berselisih teologis dengan Servetus dan mendukung pengadilannya, tetapi ia tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman mati.
  3. Keputusan akhir diambil oleh Dewan Kota Jenewa, yang memutuskan untuk menghukum mati Servetus dengan cara dibakar.
  4. Calvin bahkan pernah menyarankan eksekusi yang lebih "manusiawi" seperti pemenggalan, tetapi saran itu ditolak.

Philip Schaff, seorang sejarawan Gereja, menulis: "Calvin tidak memiliki kekuasaan untuk menghukum mati siapa pun. Eksekusi Servetus adalah keputusan hukum yang melibatkan seluruh otoritas sipil Jenewa."

Dengan demikian, meskipun Calvin mendukung pengadilan terhadap Servetus, ia bukanlah dalang utama eksekusi tersebut.

Mitos #4: Calvin Tidak Percaya pada Kebebasan Manusia

Pemahaman Teologi Reformed

Banyak orang berpikir bahwa ajaran Calvin tentang kehendak bebas (free will) berarti manusia tidak memiliki kebebasan sama sekali dalam memilih atau bertindak. Ini adalah kesalahpahaman.

Calvin mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak, tetapi kehendak itu terikat oleh natur dosa. Dalam keadaan alami, manusia tidak mampu memilih Allah tanpa pertolongan anugerah-Nya. Doktrin ini disebut "Total Depravity" (Kerusakan Total) dalam lima poin Calvinisme (TULIP).

John Piper menjelaskan: "Kebebasan dalam perspektif Calvinisme bukan berarti manusia tidak dapat memilih, tetapi bahwa manusia selalu memilih sesuai dengan natur mereka. Dan natur manusia yang jatuh selalu cenderung kepada dosa kecuali diubahkan oleh Roh Kudus."

Ini sesuai dengan Roma 3:10-11:

"Tidak ada seorang pun yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah."

Jadi, Calvin tidak menolak kebebasan manusia, tetapi mengajarkan bahwa manusia, dalam keadaannya yang berdosa, tidak dapat memilih Allah kecuali melalui anugerah-Nya.

Mitos #5: Calvinisme Mengajarkan Bahwa Evangelisme Tidak Perlu

Evangelisme dalam Teologi Reformed

Beberapa orang menuduh Calvinisme sebagai ajaran yang membuat orang pasif dalam penginjilan. Logikanya, jika Allah telah menetapkan siapa yang diselamatkan, maka evangelisme tidak perlu.

Namun, ini adalah penyimpangan dari ajaran Calvin. Calvin sendiri sangat mendukung penginjilan dan mengirim banyak misionaris ke Prancis untuk menyebarkan Injil.

Dalam sistem teologi Reformed, evangelisme adalah alat yang ditetapkan Allah untuk membawa orang-orang pilihan kepada keselamatan. Allah telah memilih orang-orang untuk diselamatkan, tetapi Ia juga menetapkan sarana keselamatan, yaitu pemberitaan Injil.

R.C. Sproul menegaskan: "Pemilihan ilahi tidak meniadakan penginjilan. Sebaliknya, itu memastikan keberhasilannya. Kita mengabarkan Injil karena kita tahu bahwa Allah akan menyelamatkan umat-Nya."

Paulus juga berkata dalam Roma 10:14-15 bahwa Injil harus diberitakan agar orang dapat percaya:

"Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada Dia yang tidak mereka percayai? Dan bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia yang belum mereka dengar? Dan bagaimana mereka dapat mendengar tanpa seorang pemberita?"

Jadi, Calvinisme bukanlah sistem teologi yang pasif, tetapi justru memberi dorongan kuat untuk evangelisme karena yakin bahwa Allah akan menggunakan penginjilan untuk menyelamatkan umat-Nya.

Kesimpulan

John Calvin adalah tokoh yang sering disalahpahami, baik oleh para penentangnya maupun oleh mereka yang tidak memahami teologi Reformed dengan baik. Mitos-mitos seperti "Calvin menciptakan predestinasi" atau "Calvinisme menolak evangelisme" seringkali berakar pada pemahaman yang tidak akurat terhadap ajarannya.

Melalui artikel ini, kita melihat bahwa:
✅ Predestinasi bukan ciptaan Calvin, tetapi ajaran Alkitab yang telah lama ada.
✅ Calvin tidak pernah menjadi diktator Jenewa.
✅ Eksekusi Servetus bukan tanggung jawab Calvin secara pribadi.
✅ Calvin tidak menolak kebebasan manusia, tetapi menjelaskan keterikatannya oleh dosa.
✅ Calvinisme justru mendorong evangelisme sebagai sarana keselamatan.

Dengan memahami fakta-fakta ini, kita bisa lebih menghargai kontribusi John Calvin dalam sejarah Kekristenan dan pengaruhnya dalam teologi Reformed.

Next Post Previous Post