5 Mitos tentang Komplementarianisme

Pendahuluan:
(Membongkar Kesalahpahaman tentang Peran Pria dan Wanita dalam Alkitab)
Komplementarianisme adalah pandangan dalam teologi Kristen yang menyatakan bahwa pria dan wanita memiliki nilai yang sama di hadapan Allah tetapi diberikan peran yang berbeda dalam keluarga dan gereja. Pandangan ini bertentangan dengan egalitarianisme, yang menganggap bahwa pria dan wanita tidak hanya setara dalam nilai tetapi juga dalam semua peran.
Teologi Reformed secara historis mendukung komplementarianisme, dengan menekankan bahwa perbedaan peran antara pria dan wanita adalah bagian dari desain Allah yang baik, bukan bentuk penindasan atau ketidakadilan. Namun, banyak kesalahpahaman yang muncul mengenai ajaran ini, terutama di era modern yang menekankan kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan.
Para teolog Reformed seperti John Piper, Wayne Grudem, John Calvin, R.C. Sproul, dan Timothy Keller telah membahas secara luas konsep ini dan membantah banyak mitos yang salah mengenai komplementarianisme.
Dalam artikel ini, kita akan membahas 5 mitos terbesar tentang komplementarianisme, serta bagaimana teologi Reformed menjawabnya dengan dasar Alkitab.
Mitos 1: Komplementarianisme Menganggap Wanita Lebih Rendah dari Pria
Salah satu mitos paling umum adalah bahwa komplementarianisme mengajarkan bahwa wanita lebih rendah dari pria. Namun, ini adalah kesalahpahaman besar.
a. Pria dan Wanita Diciptakan dalam Kesetaraan Nilai
Alkitab jelas mengajarkan bahwa pria dan wanita memiliki martabat yang sama karena diciptakan menurut gambar Allah:
“Maka Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kejadian 1:27, AYT)
Wayne Grudem dalam Biblical Manhood and Womanhood menegaskan bahwa kesetaraan dalam nilai tidak berarti kesetaraan dalam peran. Pria dan wanita diciptakan untuk melengkapi satu sama lain, bukan untuk bersaing.
b. Yesus dan Rasul Paulus Menghormati Wanita
Dalam Perjanjian Baru, kita melihat bagaimana Yesus menghormati dan meninggikan wanita dalam budaya yang patriarkal:
- Yesus pertama kali menampakkan diri setelah kebangkitan-Nya kepada wanita (Matius 28:1-10).
- Paulus menyebut banyak wanita sebagai rekan pelayanan, termasuk Priskila dan Febe (Roma 16:1-7).
John Piper dalam Recovering Biblical Manhood and Womanhood menekankan bahwa komplementarianisme tidak pernah mengajarkan superioritas pria, tetapi perbedaan peran yang dirancang oleh Allah untuk kebaikan bersama.
Mitos 2: Komplementarianisme Menindas Wanita dan Membatasi Hak Mereka
Banyak orang berpikir bahwa komplementarianisme adalah sistem yang menindas wanita, membatasi kebebasan mereka, dan menjadikan mereka sekadar pelayan bagi pria. Namun, ini bukan ajaran yang benar.
a. Peran yang Berbeda Tidak Sama dengan Penindasan
Dalam keluarga Kristen, pria dipanggil untuk memimpin dengan kasih, bukan dengan otoritas yang menindas:
“Hai suami, kasihilah istrimu, sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan menyerahkan diri-Nya baginya.” (Efesus 5:25, AYT)
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion menekankan bahwa kepemimpinan suami bukan berarti dominasi, tetapi tanggung jawab untuk mengasihi, melayani, dan mengorbankan diri demi istrinya.
b. Wanita dalam Komplementarianisme Diberikan Peran yang Bernilai Tinggi
- Wanita memiliki peran penting dalam mendidik generasi berikutnya (Titus 2:3-5).
- Wanita berperan dalam pelayanan dan penginjilan (Filipi 4:3).
Timothy Keller dalam The Meaning of Marriage menegaskan bahwa peran wanita dalam Alkitab sama berharganya dengan pria, tetapi diberikan tanggung jawab yang berbeda.
Mitos 3: Komplementarianisme Melarang Wanita untuk Melayani dalam Gereja
Beberapa orang menganggap bahwa komplementarianisme melarang wanita untuk melayani dalam gereja, seolah-olah wanita tidak boleh memiliki peran apa pun. Namun, ini bukan yang diajarkan Alkitab.
a. Wanita Dapat Melayani dalam Berbagai Kapasitas
Perjanjian Baru memberikan banyak contoh wanita yang melayani dalam gereja:
- Febe adalah diaken yang melayani jemaat di Kengkrea (Roma 16:1).
- Priskila mengajar Apolos bersama suaminya (Kisah Para Rasul 18:26).
John Piper dan Wayne Grudem dalam Recovering Biblical Manhood and Womanhood menegaskan bahwa komplementarianisme tidak melarang wanita untuk melayani dalam gereja, tetapi hanya membatasi mereka dalam peran kepemimpinan pastoral dan pengajaran otoritatif bagi jemaat laki-laki (1 Timotius 2:12).
Mitos 4: Komplementarianisme Tidak Relevan di Zaman Modern
Banyak orang berpikir bahwa komplementarianisme adalah konsep kuno yang tidak lagi relevan di dunia modern. Mereka berpendapat bahwa kesetaraan gender harus mencakup peran yang sama dalam segala aspek kehidupan.
a. Firman Tuhan Tidak Berubah
Meskipun budaya berubah, prinsip Alkitab tetap relevan:
“Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya.” (Yesaya 40:8, AYT)
R.C. Sproul menegaskan bahwa ajaran Alkitab tentang peran pria dan wanita tidak didasarkan pada budaya, tetapi pada rancangan kekal Allah sejak penciptaan (Kejadian 2:18).
b. Komplementarianisme Menjawab Kekacauan Gender Modern
Dalam dunia yang semakin bingung tentang peran gender, komplementarianisme memberikan struktur yang jelas dan sehat bagi hubungan pria dan wanita dalam keluarga dan gereja.
Timothy Keller menegaskan bahwa ketika pria dan wanita menjalani peran mereka sesuai dengan desain Allah, keluarga dan gereja akan berkembang dalam harmoni.
Mitos 5: Komplementarianisme Membuat Wanita Tidak Bahagia
Banyak orang beranggapan bahwa wanita yang hidup dalam komplementarianisme akan merasa tertekan, tidak bahagia, dan tidak bisa berkembang. Namun, studi dan pengalaman menunjukkan bahwa wanita yang menjalani peran alkitabiah justru mengalami kepuasan yang lebih besar.
a. Kebahagiaan Sejati Datang dari Ketaatan kepada Tuhan
Yesus berkata:
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.” (Matius 5:6, AYT)
John Piper dalam Desiring God menegaskan bahwa kepuasan sejati tidak datang dari kebebasan duniawi, tetapi dari hidup dalam kehendak Tuhan.
Kesimpulan: Komplementarianisme adalah Desain Allah yang Indah
- Komplementarianisme tidak menganggap wanita lebih rendah, tetapi menegaskan perbedaan peran dalam kesetaraan nilai.
- Komplementarianisme tidak menindas wanita, tetapi memberikan peran yang berharga dan bermakna.
- Komplementarianisme tidak melarang wanita untuk melayani, tetapi menetapkan batasan tertentu dalam kepemimpinan gereja.
- Komplementarianisme tetap relevan di zaman modern karena didasarkan pada firman Tuhan yang kekal.
- Komplementarianisme membawa sukacita sejati bagi pria dan wanita yang hidup dalam kehendak Tuhan.
Sebagaimana John Piper berkata:
“Peran pria dan wanita yang dirancang oleh Tuhan bukan untuk perbudakan, tetapi untuk kebebasan dalam kasih dan harmoni.”
Semoga kita semua memahami keindahan rancangan Allah bagi pria dan wanita, dan hidup dalam panggilan-Nya dengan setia.