Matius 5:44: Mengasihi Musuh

Pendahuluan
Matius 5:44 berbunyi:
“Namun, Aku berkata kepadamu, kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi orang-orang yang menganiaya kamu.” (AYT)
Ayat ini merupakan bagian dari Khotbah di Bukit yang disampaikan oleh Yesus. Perintah ini tampaknya radikal karena bertentangan dengan kecenderungan alami manusia yang lebih suka membalas dendam daripada mengasihi musuhnya.
Bagaimana kita memahami ajaran Yesus ini dalam terang teologi Reformed? Apakah ini hanya sekadar etika moral yang tinggi, atau memiliki makna teologis yang lebih dalam? Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi makna Matius 5:44 dari perspektif beberapa teolog Reformed serta menggali implikasinya dalam kehidupan Kristen.
1. Konteks Matius 5:44 dalam Khotbah di Bukit
Khotbah di Bukit (Matius 5-7) adalah pengajaran Yesus yang menekankan standar kehidupan kerajaan Allah. Dalam pasal 5, Yesus berulang kali berkata, “Kamu telah mendengar… tetapi Aku berkata kepadamu”, yang menunjukkan bahwa Dia sedang memperbaiki pemahaman yang salah mengenai hukum Taurat yang diajarkan oleh para ahli Taurat dan orang Farisi.
Dalam Matius 5:43, Yesus mengutip ajaran yang umum dalam masyarakat Yahudi:
“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.”
Bagian "kasihilah sesamamu manusia" berasal dari Imamat 19:18, tetapi bagian "bencilah musuhmu" bukanlah perintah dari hukum Taurat, melainkan interpretasi keliru yang berkembang di antara orang Yahudi.
Yesus kemudian mengoreksi ajaran ini dengan mengatakan bahwa murid-murid-Nya harus mengasihi musuh mereka dan berdoa bagi orang yang menganiaya mereka. Ini adalah standar kasih yang jauh lebih tinggi daripada yang diajarkan sebelumnya.
2. Eksposisi Matius 5:44
a. "Kasihilah musuh-musuhmu"
Kata "kasihilah" dalam bahasa Yunani adalah agapao (ἀγαπάω), yang berarti kasih yang tidak bersyarat, tidak berdasarkan emosi atau balasan dari pihak lain. Ini adalah kasih yang aktif, yang memilih untuk berbuat baik bahkan kepada mereka yang tidak layak menerimanya.
John Calvin dalam komentarnya terhadap ayat ini menekankan bahwa kasih Kristen berbeda dari kasih duniawi. Ia menulis:
“Kasih duniawi terbatas pada mereka yang mencintai kita terlebih dahulu. Tetapi kasih yang diajarkan Kristus tidak mengenal batas, bahkan mencakup mereka yang membenci kita.”
R.C. Sproul dalam The Holiness of God menambahkan bahwa mengasihi musuh bukan berarti kita harus menyukai mereka atau menyetujui tindakan mereka, tetapi kita harus menginginkan kebaikan mereka, bahkan jika mereka menyakiti kita.
b. "Dan berdoalah bagi orang-orang yang menganiaya kamu"
Berdoa bagi musuh adalah tindakan yang sangat sulit, tetapi Yesus sendiri telah memberikan teladan ketika Dia berdoa di kayu salib:
“Ya Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” (Lukas 23:34)
John Stott dalam bukunya The Message of the Sermon on the Mount menjelaskan bahwa berdoa bagi musuh bukan hanya meminta Allah mengubah mereka, tetapi juga mengubah hati kita sendiri. Dengan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita, kita belajar untuk melepaskan kebencian dan membiarkan Allah bekerja sesuai dengan kehendak-Nya.
3. Perspektif Teologi Reformed tentang Mengasihi Musuh
a. John Calvin: Kasih sebagai Tanda Anak Allah
Calvin menekankan bahwa mengasihi musuh bukan hanya tindakan moral, tetapi tanda nyata dari seorang anak Allah. Dalam Institutes of the Christian Religion, ia menulis:
“Allah menunjukkan kasih-Nya bahkan kepada orang fasik dengan memberi mereka hujan dan matahari. Jika kita adalah anak-anak Allah, kita juga harus mencerminkan karakter Bapa kita.”
Calvin mengaitkan ajaran ini dengan Matius 5:45, di mana Yesus berkata bahwa dengan mengasihi musuh, kita menjadi serupa dengan Allah yang "menyuruh matahari terbit bagi orang jahat dan orang baik".
b. Charles Hodge: Kasih Ilahi dan Kasih Kristen
Hodge dalam Systematic Theology menekankan bahwa kasih Kristen adalah refleksi dari kasih Allah dalam keselamatan. Allah mengasihi kita ketika kita masih musuh-Nya (Roma 5:8), sehingga kita juga harus mengasihi mereka yang menjadi musuh kita.
Hodge juga menegaskan bahwa kasih ini bukan berarti kita harus membiarkan kejahatan merajalela. Ada perbedaan antara mengasihi seseorang dan menyetujui dosa mereka. Mengasihi musuh tidak berarti mengabaikan keadilan, tetapi menyerahkan pembalasan kepada Allah (Roma 12:19).
c. R.C. Sproul: Mengasihi Musuh dalam Terang Kasih Karunia
Sproul menyoroti bagaimana kasih kepada musuh adalah cerminan dari kasih karunia Allah. Dalam The Holiness of God, ia menulis bahwa kita semua pada dasarnya adalah musuh Allah karena dosa kita. Namun, Allah dalam kasih-Nya mengutus Kristus untuk menyelamatkan kita.
Jika kita telah menerima kasih yang begitu besar dari Allah, bagaimana mungkin kita menolak untuk mengasihi mereka yang menyakiti kita?
4. Implikasi Praktis dalam Kehidupan Kristen
a. Mengampuni Mereka yang Menyakiti Kita
Kasih kepada musuh diwujudkan dalam pengampunan. Jika kita tidak bisa mengampuni, bagaimana kita bisa mengasihi? Efesus 4:32 mengatakan:
“Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”
Mengampuni bukan berarti membenarkan tindakan mereka, tetapi membebaskan hati kita dari kepahitan.
b. Tidak Membalas Kejahatan dengan Kejahatan
Roma 12:17-18 mengajarkan:
“Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang.”
Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk membalas kejahatan dengan kasih, bukan dengan kebencian.
c. Berdoa bagi Mereka yang Menganiaya Kita
Ketika kita sulit mengasihi musuh, langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah berdoa bagi mereka. Dengan berdoa, kita menyerahkan rasa sakit kita kepada Allah dan membiarkan Dia bekerja dalam hidup kita serta hidup orang lain.
d. Hidup sebagai Garam dan Terang
Mengasihi musuh adalah salah satu cara terbaik untuk menjadi saksi Kristus di dunia ini. Ketika kita mengasihi dengan cara yang tidak biasa bagi dunia, kita menunjukkan karakter Allah kepada orang lain.
Yesus berkata dalam Matius 5:16:
“Hendaklah terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.”
5. Tantangan dalam Mengasihi Musuh
Mengasihi musuh bukanlah hal yang mudah. Beberapa tantangan yang sering kita hadapi:
- Rasa sakit yang mendalam – Ketika seseorang telah menyakiti kita dengan sangat dalam, sulit untuk mengampuni dan mengasihi.
- Kecenderungan manusia untuk membalas dendam – Secara alami, kita ingin membalas mereka yang telah menyakiti kita.
- Kelemahan manusia – Tanpa pertolongan Roh Kudus, kita tidak mampu mengasihi dengan kasih yang sejati.
Solusinya? Kita harus selalu mendekat kepada Allah dan meminta kekuatan-Nya untuk mengasihi seperti Kristus.
Kesimpulan
Matius 5:44 bukan hanya perintah moral, tetapi refleksi dari kasih Allah yang sejati. Yesus tidak hanya mengajarkan kasih kepada musuh, tetapi juga memberikan teladan dengan mengampuni mereka yang menyalibkan-Nya.
Para teolog Reformed seperti Calvin, Hodge, dan Sproul menegaskan bahwa kasih kepada musuh adalah tanda dari anugerah Allah yang bekerja dalam hidup kita. Kasih ini tidak bersyarat, tidak bergantung pada emosi, tetapi adalah tindakan kehendak yang dilakukan oleh kuasa Roh Kudus.
Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk mengasihi musuh kita, mengampuni mereka yang menyakiti kita, dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita. Ini adalah cara kita mencerminkan karakter Kristus kepada dunia.