Allah Tidak Membedakan Orang: Galatia 2:6

Allah Tidak Membedakan Orang:  Galatia 2:6

Pendahuluan

Dalam dunia yang sangat menghargai status, jabatan, dan pengaruh, pesan dari Galatia 2:6 menjadi sangat kontras dan menantang. Rasul Paulus, dalam pembelaannya terhadap Injil yang murni, menyatakan bahwa bahkan orang-orang yang dianggap sebagai pemimpin penting di Yerusalem tidak memiliki kuasa untuk menambahkan apa pun terhadap Injil yang telah ia terima dari Kristus. Inilah bunyi ayat tersebut:

“Namun, dari orang-orang yang berpengaruh itu, yang kedudukannya tidaklah penting bagiku karena Allah tidak membeda-bedakan, mereka tidak menambahkan apa-apa bagiku.” (Galatia 2:6, AYT)

Ayat ini sarat dengan makna teologis, eklesiologis, dan praktis. Artikel ini akan mengupas Galatia 2:6 dalam konteks konflik antara Injil anugerah dan legalisme, serta menunjukkan bagaimana ayat ini menegaskan supremasi Kristus, keotentikan pewahyuan Injil, dan kesetaraan semua orang percaya di hadapan Allah.

1. Latar Belakang Surat Galatia

Situasi Historis

Surat kepada jemaat di Galatia ditulis oleh Paulus sebagai respons terhadap ajaran sesat dari para Yudais — orang-orang yang mengajarkan bahwa keselamatan bukan hanya melalui iman kepada Kristus, tetapi juga harus ditambah dengan hukum Taurat, khususnya sunat.

Paulus menulis surat ini dengan nada yang sangat tajam karena ia melihat inti Injil sedang dipertaruhkan. Dalam pasal 2, ia menceritakan kunjungannya ke Yerusalem untuk bertemu dengan para pemimpin gereja di sana (Petrus, Yakobus, Yohanes) dan membela Injil yang telah ia terima secara langsung dari Kristus.

2. Eksposisi Ayat: Galatia 2:6

“Namun, dari orang-orang yang berpengaruh itu, yang kedudukannya tidaklah penting bagiku karena Allah tidak membeda-bedakan, mereka tidak menambahkan apa-apa bagiku.”

Ayat ini mengandung tiga poin utama yang akan kita bedah secara sistematis:

a. “Orang-orang yang berpengaruh itu…”

Frasa ini merujuk pada para rasul dan pemimpin gereja di Yerusalem, seperti Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Mereka dihormati oleh jemaat karena kedekatan mereka dengan Yesus semasa pelayanan-Nya di bumi.

Namun, penting untuk dicatat bahwa Paulus tidak menolak otoritas mereka, melainkan menunjukkan bahwa otoritas mereka tidak lebih tinggi daripada Injil Kristus itu sendiri.

Menurut John Stott, walaupun bukan teolog Reformed secara teknis namun sering dirujuk, mengatakan:

“Their position made no difference to the gospel itself. Authority in the church lies not in position but in faithfulness to the truth of the gospel.” “Kedudukan mereka tidak membuat perbedaan terhadap Injil itu sendiri. Otoritas dalam gereja tidak terletak pada jabatan, melainkan pada kesetiaan terhadap kebenaran Injil.”

b. “...kedudukannya tidaklah penting bagiku karena Allah tidak membeda-bedakan”

Ini adalah pernyataan teologis yang sangat dalam. Paulus menekankan bahwa kedudukan manusia tidak memberi keistimewaan di hadapan Allah. Allah tidak memandang rupa (lihat juga Kis. 10:34), dan tidak membeda-bedakan berdasarkan status, ras, posisi sosial, atau prestasi pelayanan.

John Calvin menjelaskan dalam komentarnya:

“Though the apostles were eminent, yet in the cause of truth their rank was of no consequence; for God does not regard persons.”

Terjemahan: “Meskipun para rasul itu terkemuka, namun dalam hal kebenaran, pangkat mereka tidak ada artinya; sebab Allah tidak memandang muka.”

Ini adalah prinsip kesetaraan spiritual dalam tubuh Kristus yang menjadi dasar teologi Reformed: semua orang percaya setara di hadapan Allah karena dibenarkan oleh iman.

c. “...mereka tidak menambahkan apa-apa bagiku.”

Ini adalah klimaks dari ayat ini. Paulus menyatakan bahwa otoritas para rasul tidak menambah atau mengurangi Injil yang telah ia terima dari Kristus.

Dalam teologi Reformed, ini dikenal sebagai prinsip sufficiency of Scripture (kecukupan Kitab Suci). Jika pewahyuan dari Kristus sudah sempurna, maka tidak ada otoritas manusia — sekalipun rasul — yang dapat mengubahnya.

Louis Berkhof dalam Systematic Theology menyatakan:

“The gospel is the full and final revelation of God in Christ. Nothing can be added or taken from it.” Injil adalah penyataan Allah yang penuh dan final di dalam Kristus. Tidak ada yang dapat ditambahkan atau dikurangi darinya.

3. Pandangan Teolog Reformed

a. John Calvin

Calvin melihat Galatia 2 sebagai pembelaan terhadap Injil murni. Mengenai Galatia 2:6, ia menulis:

“Paul does not despise the apostles, but asserts that the truth of the gospel does not depend on the estimation of men, but on the authority of God.”

Terjemahan: “Paulus tidak merendahkan para rasul, tetapi menegaskan bahwa kebenaran Injil tidak bergantung pada penilaian manusia, melainkan pada otoritas Allah.”

b. Herman Bavinck

Dalam Reformed Dogmatics, Bavinck menekankan prinsip bahwa semua otoritas manusia tunduk pada otoritas pewahyuan Allah.

“Revelation is not dependent on historical transmission by men, but rooted in the divine initiative.”

Terjemahan: “Pewahyuan tidak tergantung pada penyampaian historis oleh manusia, tetapi berakar pada inisiatif ilahi.”

c. R.C. Sproul

Sproul, dalam pengajarannya tentang otoritas Kitab Suci, sering mengutip Galatia untuk menunjukkan bahwa tidak ada otoritas yang dapat berdiri di atas Injil.

“Paul is not anti-authority. He is anti-human authority that claims power over divine revelation.”

Terjemahan: “Paulus bukan anti-otoritas. Ia menolak otoritas manusia yang mengklaim kuasa atas pewahyuan ilahi.”

4. Aplikasi Praktis

a. Kesetaraan dalam Tubuh Kristus

Ayat ini menegaskan bahwa semua orang percaya memiliki nilai yang sama di hadapan Allah. Jabatan, gelar, atau pengalaman rohani tidak membuat seseorang lebih penting dalam hal keselamatan.

b. Keberanian dalam Membela Injil

Paulus memberi contoh bahwa bahkan ketika berhadapan dengan “para pemimpin besar”, kebenaran Injil tidak boleh dikompromikan. Kita dipanggil untuk berani menyatakan Injil yang murni, bahkan jika itu berarti berbeda dengan suara mayoritas.

c. Kebergantungan pada Pewahyuan, Bukan Tradisi

Injil yang sejati tidak ditentukan oleh konsensus teologis, melainkan oleh pewahyuan Kristus. Ini adalah dasar penting bagi gerakan Reformasi, dan tetap relevan saat ini.

5. Relevansi dalam Konteks Modern

Di zaman di mana otoritas rohani sering disalahgunakan, dan di mana popularitas atau pengaruh gerejawi dianggap sebagai validasi kebenaran, Galatia 2:6 mengingatkan kita bahwa Allah tidak membeda-bedakan. Otoritas yang sejati bukanlah soal gelar, jumlah pengikut, atau sejarah pelayanan, tetapi kesetiaan kepada Injil Kristus.

Kesimpulan

Galatia 2:6 adalah pernyataan iman yang kuat dan sangat Reformed dalam esensinya:

  • Allah tidak memandang muka.

  • Otoritas rohani tunduk pada otoritas Firman.

  • Injil tidak dapat diubah oleh siapa pun, bahkan oleh pemimpin gereja yang paling dihormati.

  • Keselamatan dan kebenaran ditentukan oleh Kristus saja, anugerah saja, iman saja, dan Firman saja.

Next Post Previous Post