Yakobus 5:9: Jangan Bersungut-Sungut

Teks Ayat (AYT):
“Saudara-saudaraku, janganlah kamu bersungut-sungut satu dengan yang lain supaya kamu tidak dihukum. Lihatlah, Sang Hakim telah berdiri di depan pintu.”— Yakobus 5:9
1. Pendahuluan: Dalam Ketegangan Penantian
Yakobus 5:9 muncul di bagian akhir surat Yakobus, dalam konteks ajakan untuk bersabar dalam penderitaan sambil menantikan kedatangan Tuhan. Ayat ini tampaknya sederhana—larangan bersungut-sungut—namun menyimpan kedalaman spiritual yang luar biasa. Ini berbicara tentang disiplin diri, pengendalian lidah, penantian eskatologis, dan kesadaran akan penghakiman.
Melalui lensa teologi Reformed, ayat ini memperlihatkan kehidupan Kristen yang menantikan Tuhan bukan dengan keluhan, melainkan dengan ketekunan yang kudus dan kasih satu sama lain.
2. Konteks Surat Yakobus
a. Penulis dan Penerima
Yakobus, saudara tiri Yesus dan pemimpin gereja di Yerusalem, menulis kepada “dua belas suku di perantauan” (Yak. 1:1)—umat Kristen Yahudi yang tersebar, yang mengalami penderitaan dan ketidakadilan.
b. Tema Umum
Surat Yakobus banyak menekankan kehidupan praktis orang Kristen: iman yang disertai perbuatan, pengendalian lidah, kesabaran dalam penderitaan, dan keadilan sosial.
Yakobus 5:7–11 membahas kesabaran dalam penderitaan, dan ayat 9 adalah bagian penting dari seruan ini—mengajak umat untuk tidak bersungut-sungut, terutama terhadap sesama orang percaya.
3. Penjelasan Kata dan Struktur
a. “Janganlah kamu bersungut-sungut satu dengan yang lain”
Kata Yunani yang digunakan untuk “bersungut-sungut” adalah stenazō (στενάζω), yang bisa berarti “mengeluh,” “merintih,” atau “menggerutu”. Ini mencerminkan sikap hati yang tidak puas, yang sering diekspresikan lewat perkataan.
Dalam konteks komunitas Kristen yang menderita, Yakobus memperingatkan terhadap saling menyalahkan, mendendam, atau menjadikan sesama sebagai pelampiasan emosi.
b. “Supaya kamu tidak dihukum”
Yakobus mengingatkan bahwa perkataan dan sikap hati memiliki konsekuensi rohani. Penghakiman tidak hanya untuk tindakan terbuka, tetapi juga untuk kata-kata dan sikap hati yang tersembunyi (lih. Mat. 12:36-37).
c. “Sang Hakim telah berdiri di depan pintu”
Ini adalah bahasa eskatologis yang menggambarkan kedatangan Tuhan yang sangat dekat. Sang Hakim (Kristus) sudah siap untuk menghakimi. Ini menambahkan ketegangan serius dalam panggilan untuk hidup benar di tengah kesulitan.
4. Pandangan Teolog Reformed
a. John Calvin: “Perkataan kita di bawah pengawasan Sang Hakim”
Dalam komentarnya terhadap Yakobus, Calvin menulis:
“Jika kita sungguh menyadari bahwa Tuhan mengawasi lidah kita, kita akan berhenti menuduh dan saling mengeluh, dan lebih memilih kasih dan kerendahan hati.”
Bagi Calvin, ayat ini menunjukkan kedekatan Allah yang mengawasi, dan bahwa perkataan bukan hal remeh dalam iman Kristen.
b. R.C. Sproul: “Kekudusan dalam Lidah”
Sproul dalam berbagai tulisan dan kotbahnya menekankan bahwa lidah adalah indikator kondisi hati. Dalam terang eskatologi Reformed, Yakobus 5:9 menyoroti pentingnya hidup dengan takut akan Tuhan.
“Penghakiman yang akan datang harus membuat kita berhati-hati bahkan dalam kata-kata sehari-hari, karena Allah melihat dan akan menghakimi.”
c. Joel Beeke: “Komunitas Kudus Menjelang Kedatangan Kristus”
Joel Beeke, dalam bukunya Living for God's Glory, menekankan bahwa komunitas Kristen adalah tempat pemurnian, dan konflik atau keluhan satu sama lain harus diatasi dengan kasih yang mendalam dan kesabaran eskatologis.
5. Dimensi Eskatologis: Hakim di Depan Pintu
a. Kedatangan Tuhan yang Imminen
Ungkapan “Hakim berdiri di depan pintu” memberi kesan bahwa kedatangan Kristus sudah dekat. Dalam teologi Reformed, ini dikenal dengan istilah imminence — bahwa Kristus bisa datang kapan saja, dan kita harus hidup dalam kesiapan suci.
b. Hidup dalam Bayang-bayang Penghakiman
Dalam pemikiran Reformed, eskatologi bukan sekadar menantikan “tanda-tanda zaman,” tetapi hidup setiap hari dengan integritas, pengendalian diri, dan kasih.
6. Disiplin Lidah: Masalah Lama yang Selalu Relevan
Yakobus secara konsisten menekankan bahaya lidah:
-
Yakobus 1:26 – Orang yang tidak dapat mengekang lidah, imannya sia-sia.
-
Yakobus 3 – Lidah digambarkan sebagai api yang bisa membakar seluruh hidup.
-
Yakobus 4:11 – Larangan menghakimi saudara seiman.
Maka Yakobus 5:9 adalah lanjutan dari tema besar: bahwa iman yang sejati harus tercermin dalam kata-kata kita.
7. Aplikasi Rohani: Bertumbuh dalam Kesabaran dan Kasih
a. Berhenti Menyalahkan Sesama
Dalam tekanan dan penderitaan, kita cenderung menyalahkan orang lain. Ayat ini menegaskan bahwa kita dipanggil untuk mengasihi, mengampuni, dan membangun satu sama lain, bukan saling menjatuhkan.
b. Mengembangkan Disiplin Diri
Disiplin rohani mencakup pengendalian lidah. Ini bukan hanya soal “tidak mengeluh,” tetapi belajar mengubah keluhan menjadi doa dan pujian.
c. Menantikan Tuhan dengan Hati yang Murni
Kehadiran Hakim berarti kita harus siap — bukan hanya secara teologis, tetapi secara etis dan spiritual. Penghakiman akan memperlihatkan apa yang tersembunyi, termasuk sikap hati dan keluhan yang tidak diucapkan.
8. Implikasi Praktis dalam Kehidupan Jemaat
a. Konflik Jemaat
Yakobus 5:9 sangat relevan dalam konteks jemaat yang mengalami konflik. Daripada saling menyalahkan atau mengeluh, jemaat dipanggil untuk membangun, menasihati, dan saling mengasihi.
b. Kepemimpinan Gereja
Pemimpin rohani juga harus menjadi teladan dalam hal kesabaran dan tutur kata, terutama di masa sulit atau ketika menghadapi tekanan pelayanan.
9. Aplikasi dalam Dunia Modern
Dalam budaya digital, keluhan bisa menyebar melalui media sosial dengan cepat. Yakobus 5:9 mengajarkan kepada kita:
-
Untuk menahan diri dalam berbicara — baik offline maupun online.
-
Untuk tidak menuduh atau mempermalukan orang lain di ruang publik.
-
Untuk tetap hidup dalam kesadaran bahwa Tuhan melihat setiap kata kita, bahkan yang ditulis atau diketik.
Kesimpulan: Hidup dalam Ketekunan dan Kesiapan
Yakobus 5:9 adalah seruan untuk hidup dalam:
-
Disiplin rohani: mengendalikan keluhan dan menjaganya di hadapan Tuhan.
-
Ketakutan akan Tuhan: menyadari bahwa penghakiman itu nyata dan dekat.
-
Kasih persaudaraan: membangun komunitas yang kuat di tengah tekanan, bukan menghancurkannya dengan keluhan.
-
Kesiapan eskatologis: menjalani setiap hari dalam terang bahwa Hakim sudah di ambang pintu.