Kejadian 2:25: Ketelanjangan dan Keintiman Kudus

Kejadian 2:25: Ketelanjangan dan Keintiman Kudus

Pendahuluan

Kejadian 2:25 berbunyi:“Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” (TB)

Ayat ini tampak sederhana namun sarat makna. Ini adalah bagian terakhir dari narasi penciptaan manusia dan pernikahan pertama dalam Alkitab. Namun lebih dari sekadar keterangan tentang keadaan tubuh Adam dan Hawa, ayat ini membuka wawasan mendalam tentang keintiman yang suci, martabat manusia sebelum dosa, dan relasi yang dirancang oleh Allah.

Dalam artikel ini, kita akan mengupas Kejadian 2:25 melalui lensa teologi Reformed. Kita akan mengeksplorasi maknanya secara teologis, antropologis, dan moral, serta bagaimana ayat ini menjadi fondasi penting untuk memahami seksualitas, pernikahan, dan kejatuhan manusia di pasal berikutnya.

Bagian I: Eksposisi Ayat demi Ayat

1. “Mereka keduanya telanjang...”

Kata “telanjang” dalam bahasa Ibrani adalah ‘ārôm – kata ini netral secara moral. Menurut Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics, ini menegaskan bahwa telanjang bukanlah hal memalukan dalam ciptaan yang belum jatuh dalam dosa.

R.C. Sproul menjelaskan bahwa pada titik ini, tidak ada dosa, tidak ada ketidaksopanan, dan tidak ada manipulasi. Tubuh manusia adalah bagian dari ciptaan yang “sungguh amat baik” (Kej. 1:31), dan karenanya ketelanjangan tidak identik dengan keburukan.

2. “...manusia dan isterinya itu...”

Frasa ini menegaskan relasi pernikahan pertama. Ini meneguhkan bahwa relasi pria-wanita dalam pernikahan adalah desain ilahi. Dalam teologi Reformed, pernikahan bukan sekadar kontrak sosial, tetapi kovenan kudus.

John Calvin dalam tafsirannya menyebut bahwa ayat ini menunjukkan keadaan “kemurnian ilahi” dan bahwa hanya dalam ikatan pernikahanlah keintiman dapat dinikmati tanpa rasa bersalah.

3. “...tetapi mereka tidak merasa malu.”

Inilah puncak makna dari ayat ini. Ketelanjangan mereka tidak menimbulkan rasa malu, karena:

  • Tidak ada dosa

  • Tidak ada motif tersembunyi

  • Tidak ada objektifikasi tubuh

Cornelius Van Til menggarisbawahi bahwa ketidakhadiran rasa malu adalah tanda bahwa manusia berada dalam relasi harmonis dengan Allah dan sesamanya. Rasa malu adalah indikator adanya kerusakan moral — yang belum hadir dalam pasal ini.

Bagian II: Teologi Reformed tentang Ciptaan dan Martabat Manusia

1. Martabat Sebelum Dosa: Imago Dei yang Murni

Dalam Kejadian 1:27, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei). Kejadian 2:25 memperlihatkan Imago Dei dalam dimensi relasional dan jasmani. Menurut Bavinck, manusia diciptakan bukan hanya untuk Allah, tetapi juga untuk sesama, dalam persekutuan kudus.

Ketelanjangan tanpa rasa malu adalah ekspresi dari ketelanjangan rohani yang murni: tak ada dosa untuk disembunyikan, tak ada luka untuk ditutup.

2. Seksualitas dan Tubuh dalam Teologi Reformed

Reformed Theology tidak menolak tubuh dan seksualitas, melainkan mengembalikannya pada tempatnya yang benar. Seksualitas bukan hal tabu, melainkan bagian dari rancangan penciptaan yang baik.

Tim Keller, dalam bukunya Meaning of Marriage, menulis bahwa:

“Di dalam pernikahan, ketelanjangan menjadi simbol keterbukaan total—tanpa rasa takut akan penolakan, karena ada kasih yang menyeluruh.”

Bagian III: Kontras dengan Kejatuhan (Kejadian 3)

1. Dari Keintiman ke Ketakutan

Setelah jatuh dalam dosa (Kejadian 3:7), Adam dan Hawa segera sadar bahwa mereka telanjang dan merasa malu. Mereka menutupi diri dengan daun ara, menyembunyikan diri dari Allah. Ini menunjukkan bahwa:

  • Dosa mencemari keintiman

  • Tubuh menjadi objek rasa takut dan malu

  • Relasi rusak

R.C. Sproul menyatakan bahwa perbedaan antara Kejadian 2:25 dan Kejadian 3:7 adalah “perbedaan antara dunia tanpa dosa dan dunia penuh dosa.”

2. Dimensi Teologis dari Rasa Malu

Rasa malu adalah respons alami terhadap kesalahan moral. Dalam dunia yang berdosa, ketelanjangan menjadi sumber rasa malu karena telah terjadi pergeseran spiritual.

Francis Schaeffer menyebut ini sebagai “retakan di antara hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan sesama).” Ketika hubungan vertikal rusak, relasi antar manusia pun ikut terganggu.

Bagian IV: Aplikasi Teologis dan Etis

1. Seksualitas dalam Kebenaran

Ayat ini menjadi dasar penting bagi etika seksual Kristen. Teologi Reformed memandang seksualitas sebagai:

  • Pemberian Allah

  • Dirayakan dalam batas pernikahan

  • Mewakili keintiman, keterbukaan, dan perjanjian

John Piper menyebut bahwa seks adalah “ekspresi tubuh dari janji pernikahan”—dan Kejadian 2:25 menunjukkan bagaimana tubuh dapat dihormati tanpa rasa malu, jika berada dalam ketaatan kepada Allah.

2. Pernikahan sebagai Cerminan Injil

Dalam Efesus 5, Paulus mengaitkan pernikahan dengan hubungan Kristus dan jemaat. Maka, Kejadian 2:25 adalah gambaran awal dari perjanjian cinta yang kudus, yang nantinya akan disempurnakan dalam karya penebusan Kristus.

Sinclair Ferguson mengatakan bahwa pernikahan yang kudus dan terbuka adalah sakramen alami yang menunjuk pada kasih penebusan Kristus. Ketelanjangan tanpa rasa malu adalah metafora spiritual dari kepercayaan dan kasih tanpa syarat.

3. Pemulihan oleh Injil

Kita semua sekarang hidup dalam dunia pasca-Kejadian 3, tetapi Injil membawa harapan bahwa ketelanjangan batin kita dapat dipulihkan. Kristus datang untuk mengembalikan:

  • Martabat manusia

  • Keintiman relasional

  • Kesatuan antara tubuh dan roh

Herman Bavinck menulis bahwa penebusan dalam Kristus bukan hanya menyelamatkan jiwa, tapi juga memulihkan tubuh dan seksualitas sebagai bagian dari ciptaan yang ditebus.

Bagian V: Relevansi Kontekstual

1. Pornografi dan Objektifikasi Tubuh

Dalam dunia yang jatuh, tubuh manusia telah menjadi objek konsumsi, bukan cermin kemuliaan. Kejadian 2:25 menantang budaya ini, mengajarkan bahwa tubuh adalah anugerah Allah—untuk dihormati, bukan dieksploitasi.

2. Teologi Tubuh dalam Konseling Reformed

David Powlison dan konselor Reformed lainnya menggunakan prinsip ini untuk membantu pemulihan martabat diri. Banyak orang yang merasa “malu” secara batin karena dosa masa lalu. Namun Injil menyatakan bahwa:

“Mereka yang ada dalam Kristus tidak ada penghukuman lagi.” (Roma 8:1)

Kejadian 2:25 menunjukkan model ilahi tentang keterbukaan dan kasih tanpa rasa takut.

3. Pendidikan Seksual Kristen

Dalam pendidikan Kristen, Kejadian 2:25 bisa menjadi dasar untuk mengajarkan:

  • Seksualitas sebagai hal suci

  • Ketelanjangan bukanlah pornografi

  • Malu adalah indikator moral, bukan bentuk dosa itu sendiri

Kesimpulan: Menuju Ketelanjangan yang Ditebus

Kejadian 2:25 bukan sekadar ayat transisi. Ini adalah pernyataan teologis yang kuat tentang keadaan manusia dalam kesempurnaan: tanpa rasa takut, tanpa dosa, tanpa malu. Namun, dosa menghancurkan itu semua.

Dalam Kristus, kita dipanggil kembali pada keintiman sejati—di mana diri kita yang sejati diterima dan dikasihi. Di surga nanti, kita akan sepenuhnya terbuka di hadapan Allah dan sesama, dan “mereka tidak akan merasa malu” (bdk. Wahyu 21–22).

“Mereka keduanya telanjang... tetapi mereka tidak merasa malu.” – Kejadian 2:25

Next Post Previous Post