Di Balik Ucapan Hawa: Kejadian 3:2–3

Di Balik Ucapan Hawa: Kejadian 3:2–3

I. Pendahuluan

Kejadian 3 adalah titik balik sejarah umat manusia. Jika pasal 1 dan 2 memancarkan keindahan ciptaan dan kesempurnaan relasi antara manusia dan Allah, maka pasal 3 menjadi gambaran kehancuran akibat ketidaktaatan manusia. Namun sebelum kejatuhan itu terjadi, ada dialog yang dramatis antara ular dan perempuan. Dua ayat sederhana dalam Kejadian 3:2–3 memuat bibit awal dari kejatuhan, yaitu ketika Hawa mulai menyimpang dalam memahami dan menyampaikan Firman Allah.

Dalam eksposisi ini, kita akan mendalami bagaimana dua ayat ini mengandung makna besar, dengan menelusuri pemikiran para teolog Reformed dan pelajaran penting yang dapat diterapkan dalam konteks iman hari ini.

II. Teks Kejadian 3:2–3 (AYT)

2 Perempuan itu berkata kepada ular, “Kami boleh makan buah dari pohon-pohon di taman ini.
3 Akan tetapi, tentang buah dari pohon yang ada di tengah taman, Allah telah berfirman: ‘Jangan kamu makan atau menyentuhnya, supaya kamu tidak mati.’”

III. Konteks Naratif: Ujian di Tengah Taman

Sebelum ayat ini, Kejadian 3:1 mencatat bahwa ular, yang sangat licik, mulai menyerang dasar otoritas Allah dengan menanyakan: “Apakah benar Allah berfirman…?” Ini bukan pertanyaan biasa, melainkan strategi jitu Iblis untuk menabur keraguan terhadap kebenaran Firman Tuhan.

John Calvin mencatat dalam komentarnya:

"Iblis tidak datang secara langsung untuk menyerang Allah, tetapi mulai dari mengubah cara manusia memandang perintah Allah — sebagai sesuatu yang keras, tidak adil, atau bisa ditafsirkan ulang."

Ayat 2 dan 3 adalah respons Hawa terhadap pertanyaan ular tersebut, dan di sinilah benih pertama dari penyimpangan mulai tampak.

IV. Eksposisi Kejadian 3:2: "Kami boleh makan..."

A. Pernyataan yang Benar — Namun Tidak Lengkap

Kalimat Hawa, “Kami boleh makan buah dari pohon-pohon di taman ini,” adalah ringkasan dari perintah Allah dalam Kejadian 2:16, di mana Tuhan berkata kepada Adam bahwa mereka boleh makan dengan bebas dari semua pohon, kecuali satu.

Namun perhatikan bahwa dalam kalimat Hawa, frasa "dengan bebas" atau "freely" (Ibrani: akol tokel) hilang. Dalam Kejadian 2:16, Tuhan memberi secara limpah (“boleh makan dengan bebas”), tetapi dalam jawaban Hawa, nuansa kemurahan itu telah dikurangi.

R.C. Sproul menyebut ini sebagai distorsi kecil yang berakibat fatal:

“Penyimpangan dimulai bukan dari penolakan langsung, tetapi dengan memudarkan kasih dan kemurahan Allah.”

Dalam teologi Reformed, ini merupakan akar dari total depravity: kejatuhan bukan hanya soal tindakan, tetapi dimulai dari cara manusia memandang dan menafsirkan Firman Tuhan secara salah.

V. Eksposisi Kejadian 3:3: "Jangan kamu makan atau menyentuhnya..."

A. Menambahkan pada Firman Allah

Dalam Kejadian 2:17, Tuhan berfirman: “Tetapi tentang pohon pengetahuan yang baik dan jahat itu, janganlah engkau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”

Perhatikan bahwa Tuhan tidak pernah mengatakan "jangan menyentuh". Namun dalam respons Hawa, kalimat itu ditambahkan: “...jangan kamu makan atau menyentuhnya...”

Matthew Henry menafsirkan ini sebagai:

“Dalam mencoba menjawab Iblis, Hawa jatuh dalam sikap legalistik — menambahkan larangan yang tidak dikatakan Tuhan — dan ini membuat Allah tampak lebih keras daripada yang sebenarnya.”

John Calvin bahkan menekankan bahwa ketika manusia menambahkan pada Firman Tuhan, itu bukan bentuk kehati-hatian, melainkan bentuk ketidakpercayaan. Tambahan itu memberi kesan bahwa perintah Tuhan tidak cukup jelas atau tidak cukup ketat, sehingga manusia merasa perlu melengkapinya.

B. Mengurangi Keseriusan Konsekuensi Dosa

Perhatikan perubahan kecil namun signifikan:

  • Perintah Tuhan (Kejadian 2:17): “...pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” (mot tamut)

  • Ucapan Hawa (Kejadian 3:3): “...supaya kamu tidak mati.”

R.C. Sproul mencatat bahwa ini bukan sekadar gaya bahasa berbeda, melainkan reduksi terhadap kepastian hukuman. Dalam teologi Reformed, penyimpangan semacam ini menjadi cikal bakal pemberontakan aktif terhadap otoritas Allah.

VI. Pandangan Reformed atas Kesalahan Hawa

1. Mengganti Firman dengan Interpretasi Pribadi

Hawa memulai dengan Firman, tapi menggantinya dengan parafrase pribadi yang tidak akurat. Ini mencerminkan bahaya ketika iman tidak ditopang oleh pengertian teologis yang mendalam.

Louis Berkhof menulis:

“Dosa pertama manusia dimulai dengan distorsi terhadap kebenaran Allah. Iman sejati hanya tumbuh di atas dasar Firman yang murni.”

2. Tidak Bergantung pada Otoritas Firman

Hawa tidak kembali memverifikasi kebenaran ucapan ular dengan perkataan Tuhan. Ia berdialog dengan musuh, bukan kembali ke sumber otoritas. Ini menunjukkan bahaya otonomi spiritual yang menjadi ciri dosa.

Cornelius Van Til, teolog apologetik Reformed, menekankan bahwa “segala upaya manusia untuk menilai Firman Allah dari standar di luar Firman itu sendiri adalah bentuk pemberontakan epistemologis.”

VII. Aplikasi Teologis dan Praktis

1. Pentingnya Ketaatan pada Firman Secara Murni

Dalam tradisi Reformed, hanya Firman Allah yang memiliki otoritas mutlak (sola Scriptura). Kesetiaan kepada Allah berarti kesetiaan pada Firman-Nya yang tidak dikurangi atau ditambahkan.

2. Bahaya Legalisme dan Liberalisme

  • Legalisme terlihat dalam penambahan kalimat "jangan menyentuh" — seolah Tuhan kurang ketat.

  • Liberalisme terlihat dalam penghilangan "pastilah mati" — seolah Tuhan terlalu keras.

Keduanya sama-sama mengaburkan karakter Allah yang adil dan penuh kasih.

3. Pendidikan Iman yang Teguh pada Kebenaran

Kejadian ini menggarisbawahi pentingnya katekesis dan pendidikan iman yang sehat, agar orang percaya tidak mudah dipengaruhi oleh penyimpangan halus terhadap Firman Tuhan.

VIII. Kesimpulan

Kejadian 3:2–3 adalah bagian awal dari tragedi manusia yang besar. Dalam dua ayat ini, kita melihat kehilangan ketepatan terhadap Firman, penambahan yang tidak perlu, dan pengurangan terhadap konsekuensi dosa — semuanya menjadi awal dari kejatuhan besar.

Para teolog Reformed mengingatkan bahwa penyimpangan besar seringkali dimulai dari ketidaktepatan kecil dalam memahami Firman Tuhan. Oleh karena itu, kesetiaan pada Alkitab bukanlah hal kecil, melainkan fondasi dari kehidupan yang benar di hadapan Allah.

Next Post Previous Post