Hidup Dalam Kasih Karunia dan Belas Kasihan Allah

Hidup Dalam Kasih Karunia dan Belas Kasihan Allah

Pendahuluan: Hidup di Tengah Dunia yang Kekurangan Belas Kasihan

Dunia kita hari ini dipenuhi oleh ketegangan, persaingan, dan keegoisan. Manusia modern hidup dengan cepat, berpikir dengan keras, namun sering kehilangan kelembutan hati. Kita melihat dunia yang haus akan kasih, tetapi miskin belas kasihan. Dalam suasana seperti ini, panggilan Allah bagi umat-Nya adalah untuk hidup dalam belas kasihan — bukan hanya menerima kasih karunia Allah, tetapi juga menyalurkannya kepada sesama.

Yesus berkata dalam Matius 5:7, “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” Dalam kalimat singkat ini, Tuhan Yesus menyingkapkan inti dari kehidupan Kristen: hidup yang telah menerima kasih karunia Allah akan mencerminkan kasih itu kepada dunia.

Namun, apa arti sejati dari “hidup dalam belas kasihan”? Bagaimana teologi Reformed menjelaskan relasi antara anugerah, belas kasihan, dan kehidupan Kristen sehari-hari? Itulah yang akan kita renungkan dalam Artikel ini.

I. Asal Usul Belas Kasihan: Dari Hati Allah yang Penuh Kasih

1. Belas Kasihan Adalah Sifat Hakiki Allah

Dalam seluruh Alkitab, Allah menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang penuh kasih setia dan rahmat. Dalam Keluaran 34:6 Tuhan memperkenalkan diri kepada Musa:

“TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih setia dan setia.”

John Calvin menafsirkan ayat ini sebagai “pengungkapan karakter Allah yang paling intim.” Ia menulis dalam Institutes of the Christian Religion:

“Dalam diri Allah, kasih dan keadilan tidak pernah bertentangan, tetapi kasih karunia-Nya menjadi sarana untuk menegakkan keadilan dalam penebusan Kristus.”

Artinya, belas kasihan bukanlah kelemahan Allah, melainkan kekuatan moral yang memampukan-Nya untuk mengampuni tanpa mengorbankan kekudusan-Nya.
Belas kasihan adalah manifestasi dari kasih Allah yang aktif terhadap manusia berdosa.

2. Belas Kasihan Memuncak di Dalam Yesus Kristus

Di salib Golgota, kita melihat puncak belas kasihan Allah. Yesus Kristus, Anak Allah yang kudus, menanggung murka yang seharusnya menimpa kita agar kita menerima kasih karunia yang tidak layak kita dapatkan.
Rasul Paulus menulis dalam Titus 3:5:

“Dia menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus.”

Jonathan Edwards dalam khotbahnya “The Excellency of Christ” menyatakan:

“Dalam Kristus, kita melihat keindahan yang tak tertandingi: kemuliaan ilahi bersatu dengan kelemahlembutan belas kasihan manusia. Dialah singa dan anak domba, keadilan dan kasih karunia berpadu dalam pribadi-Nya.”

Dengan demikian, orang yang hidup dalam belas kasihan adalah mereka yang hidup di bawah salib Kristus — menyadari betapa besar rahmat yang telah diterimanya dan membiarkan rahmat itu mengalir keluar kepada sesama.

II. Arti Hidup Dalam Belas Kasihan

1. Hidup Dalam Kesadaran Akan Anugerah

Hidup dalam belas kasihan berarti pertama-tama hidup dalam kesadaran bahwa segala sesuatu berasal dari anugerah Allah.
Rasul Paulus berkata, “Sebab siapa yang membedakan engkau dari orang lain? Dan apakah yang engkau miliki yang tidak engkau terima?” (1 Korintus 4:7).

Thomas Watson, seorang teolog Puritan, menulis:

“Kasih karunia membuat orang kaya menjadi rendah hati, dan orang miskin menjadi bersyukur.”

Orang yang sadar bahwa hidupnya adalah hasil belas kasihan Allah tidak akan sombong dalam keberhasilan, dan tidak akan putus asa dalam penderitaan. Ia tahu bahwa baik hidup maupun mati, semuanya adalah kasih karunia Allah yang menopangnya.

2. Hidup Dalam Pertobatan yang Berkelanjutan

Belas kasihan Allah bukan alasan untuk berbuat dosa, melainkan dorongan untuk hidup kudus.
Calvin menegaskan bahwa “kasih karunia bukanlah lisensi untuk berbuat dosa, melainkan kekuatan untuk menolak dosa.”

Orang yang hidup dalam belas kasihan akan memiliki hati yang lembut terhadap dosa — bukan karena takut hukuman, tetapi karena kasih yang begitu besar telah diterimanya. Ia menyesali dosa bukan karena takut neraka, tetapi karena tidak mau melukai kasih Allah yang telah menyelamatkannya.

Seperti yang dikatakan oleh John Owen:

“Orang yang paling mengerti tentang dosa adalah orang yang paling mengerti tentang kasih karunia.”

Hidup dalam belas kasihan berarti hidup dalam pertobatan yang terus menerus — hati yang setiap hari dibentuk ulang oleh kasih Allah.

3. Hidup Dalam Kasih Aktif Kepada Sesama

Belas kasihan sejati tidak berhenti pada perasaan, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata.
Yesus menggambarkan hal ini dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:25-37). Belas kasihan bukanlah teori, tetapi tindakan kasih terhadap orang yang membutuhkan, tanpa memandang latar belakang.

Martyn Lloyd-Jones berkata:

“Belas kasihan sejati muncul ketika kita melihat orang lain sebagaimana Allah melihat kita — sebagai orang yang rusak dan tak berdaya tanpa kasih karunia.”

Dalam dunia yang keras dan egois, orang Kristen dipanggil menjadi cermin kasih Allah yang murah hati. Hidup dalam belas kasihan berarti menjadi saluran anugerah Allah bagi orang lain.

III. Sumber Kekuatan untuk Hidup Dalam Belas Kasihan

1. Roh Kudus Sebagai Sumber Kehidupan Kasih

Tidak seorang pun dapat hidup dalam belas kasihan sejati tanpa karya Roh Kudus. Belas kasihan sejati adalah buah Roh (Galatia 5:22).
Roh Kudus mengubah hati yang keras menjadi lembut, mengubah kebencian menjadi kasih, dan menjadikan kita serupa dengan Kristus.

Calvin menulis:

“Roh Kuduslah yang menuliskan kasih Allah dalam hati kita, sehingga apa yang dulu mustahil kini menjadi sukacita.”

Karena itu, setiap orang percaya harus terus bergantung pada Roh Kudus, berdoa agar kasih Allah dicurahkan dalam hatinya (Roma 5:5).

2. Firman Allah Sebagai Cermin Kasih-Nya

Belas kasihan Allah bukanlah perasaan samar, tetapi kebenaran yang dinyatakan melalui Firman. Semakin kita merenungkan Alkitab, semakin kita mengenal hati Allah.
Mazmur 103:8 berkata, “TUHAN penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia.”

Spurgeon menafsirkan ayat ini demikian:

“Firman Tuhan adalah cermin di mana kita melihat wajah belas kasihan-Nya. Semakin lama kita memandang, semakin kita diubah menjadi serupa dengan-Nya.”

Oleh karena itu, kehidupan doa dan pembacaan Alkitab yang mendalam bukanlah kewajiban kaku, tetapi sarana untuk memperdalam rasa syukur dan kerendahan hati dalam kasih karunia Allah.

IV. Tantangan Hidup Dalam Belas Kasihan di Dunia Modern

1. Dunia yang Mengagungkan Diri Sendiri

Budaya modern menekankan kebebasan pribadi, ambisi, dan pencapaian diri. Di tengah dunia yang keras ini, belas kasihan sering dianggap kelemahan. Namun, justru dalam kelembutan itulah kekuatan Kristus dinyatakan.
Yesus berkata, “Belajarlah kepada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati” (Matius 11:29).

Bagi orang percaya, belas kasihan bukanlah pilihan, melainkan panggilan.
Watson berkata, “Belas kasihan adalah mahkota yang membedakan anak-anak Allah dari dunia.”

2. Godaan untuk Menghakimi

Hati manusia cenderung menghakimi lebih cepat daripada mengasihi. Namun, hidup dalam belas kasihan berarti menolak semangat penghakiman diri yang tinggi dan belajar melihat orang lain melalui lensa kasih karunia.
Lloyd-Jones menulis:

“Orang yang sadar bahwa dirinya telah diampuni tidak akan cepat menghukum orang lain.”

Sebaliknya, ia akan mengulurkan tangan seperti Kristus yang berkata kepada perempuan berdosa: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi” (Yohanes 8:11).

3. Panggilan untuk Menjadi Gereja yang Belas Kasihan

Gereja Reformed sejati tidak hanya dikenal karena doktrinnya yang murni, tetapi juga karena kasih dan belas kasihannya. Calvin di Jenewa membangun diakonia bagi orang miskin dan pengungsi — bukan karena sekadar belas kasihan sosial, tetapi karena ia melihat pelayanan itu sebagai cerminan kasih Kristus.

Diakonia bukanlah tambahan bagi Injil, melainkan buah dari Injil. Gereja yang benar bukan hanya berkhotbah tentang kasih karunia, tetapi juga hidup di dalamnya — memberi makan yang lapar, menolong yang menderita, dan mengasihi yang tersisih.

V. Hasil Hidup Dalam Belas Kasihan

1. Hati yang Damai dan Bersyukur

Orang yang hidup dalam belas kasihan tidak menyimpan dendam, tidak hidup dalam kepahitan, dan tidak terobsesi dengan keadilan diri. Ia hidup dalam damai karena telah menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah yang adil.

Rasul Paulus menulis dalam Kolose 3:12–13:

“Kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain.”

Belas kasihan menghasilkan kedamaian batin yang tidak dapat diberikan dunia, sebab ia lahir dari hati yang sudah berdamai dengan Allah.

2. Kesaksian yang Mengubah Dunia

Belas kasihan yang nyata adalah kesaksian yang paling kuat bagi Injil. Dunia tidak tertarik dengan teori teologi yang kering, tetapi mereka tertarik melihat kasih yang nyata dalam tindakan orang percaya.
Yesus berkata, “Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:35).

Jonathan Edwards dalam Charity and Its Fruits menulis:

“Kasih adalah tanda paling jelas dari pekerjaan Roh Kudus. Di mana kasih sejati ada, di sana kerajaan Allah hadir.”

Hidup dalam belas kasihan bukan sekadar kewajiban moral, tetapi cara hidup yang memuliakan Allah dan menarik orang lain kepada Kristus.

Penutup: Hidup di Bawah Cahaya Kasih Karunia

Belas kasihan bukan sekadar sifat baik; itu adalah napas kehidupan Kristen.
Kita diselamatkan oleh belas kasihan, hidup oleh belas kasihan, dan dipanggil untuk memancarkan belas kasihan itu kepada dunia yang haus akan kasih sejati.

Spurgeon pernah berkata:

“Orang yang hidup di bawah kasih karunia tidak bisa tidak berbelas kasihan; karena hatinya telah dihangatkan oleh kasih Kristus yang besar.”

Mari kita hidup setiap hari dengan kesadaran bahwa kita adalah penerima kasih karunia yang tak terukur. Dan dari hati yang penuh ucapan syukur itu, biarlah mengalir belas kasihan kepada orang lain — dalam perkataan, tindakan, dan doa.

Next Post Previous Post