Yohanes 15:20 Hamba Tidak Lebih dari Tuannya

Pendahuluan: Murid yang Tidak Lebih dari Gurunya
Setiap orang percaya menginginkan kehidupan Kristen yang diberkati, penuh sukacita, dan damai. Namun sering kali kita lupa bahwa salah satu tanda sejati menjadi pengikut Kristus adalah mengalami penderitaan karena nama-Nya. Firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa kesetiaan kepada Kristus sering kali membawa penolakan dari dunia.
Yesus berkata dalam Yohanes 15:20:
“Ingatlah apa yang telah Kukatakan kepadamu: Seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya. Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu; jikalau mereka telah menuruti firman-Ku, mereka juga akan menuruti perkataanmu.”
Perkataan ini adalah bagian dari Amanat Perpisahan Yesus kepada murid-murid-Nya (Yohanes 13–17). Dalam jam-jam terakhir sebelum penyaliban, Ia mempersiapkan hati mereka menghadapi dunia yang akan membenci mereka sebagaimana dunia membenci Dia.
Kata pertama yang Yesus gunakan adalah “ingatlah” — sebuah panggilan untuk selalu menanamkan kebenaran ini di dalam hati: bahwa penderitaan karena Kristus bukanlah suatu keganjilan, melainkan sebuah kepastian bagi mereka yang setia mengikuti-Nya.
I. Konteks dan Makna Kata Yesus (Yohanes 15:20a)
“Ingatlah apa yang telah Kukatakan kepadamu: Seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya.”
Yesus mengingatkan kembali perkataan yang sebelumnya Ia sampaikan dalam Yohanes 13:16, sesudah Ia membasuh kaki murid-murid-Nya. Di sana, konteksnya adalah tentang kerendahan hati dan pelayanan. Namun di Yohanes 15:20, konteksnya berubah menjadi penderitaan dan penganiayaan. Prinsip yang sama digunakan untuk menegaskan dua sisi kehidupan Kristen: kerendahan hati dalam pelayanan dan kesetiaan dalam penderitaan.
1. Hubungan Hamba dan Tuan
Yesus menggunakan gambaran “hamba” (Yunani: doulos) dan “tuan” (Yunani: kurios) untuk menunjukkan hubungan antara diri-Nya dan murid-murid. Seorang hamba tidak lebih tinggi dari tuannya — artinya, ia tidak bisa berharap mengalami perlakuan yang lebih baik daripada yang diterima tuannya. Bila sang Tuan, yaitu Kristus, ditolak, dihina, dan dianiaya, maka wajar bila para hambanya juga mengalami hal yang sama.
John Calvin dalam Commentary on John menulis:
“Kristus tidak menutupi penderitaan dari para pengikut-Nya, tetapi dengan lembut mempersiapkan mereka untuk memikul salib. Dengan menyebut mereka ‘hamba’, Ia mengingatkan bahwa tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak nasib yang sama dengan Tuan mereka.”
Dengan demikian, Yesus meneguhkan prinsip kesetiaan: kesetiaan kepada Kristus berarti kesediaan untuk berjalan di jalan yang sama dengan Dia, termasuk jalan penderitaan.
2. Panggilan untuk Mengingat
Kata “ingatlah” (mnemoneuete) menegaskan bahwa penderitaan bukanlah sesuatu yang seharusnya membuat murid terkejut atau gentar. Sebaliknya, itu adalah bagian yang telah dinubuatkan dan dijanjikan. Dengan mengingat perkataan Kristus, orang percaya memiliki kekuatan untuk bertahan dalam iman.
R.C. Sproul menulis dalam The Gospel of John:
“Ingat adalah kata yang penting dalam kehidupan iman. Mengingat janji-janji Kristus memberi kita daya tahan ketika dunia menganggap kita musuhnya.”
Oleh sebab itu, iman Kristen bukanlah jalan kenyamanan, melainkan jalan kesetiaan. Mengingat perkataan Yesus adalah benteng rohani yang menjaga kita agar tidak goyah di tengah tekanan dunia.
II. Dunia yang Menganiaya: Sikap Dunia terhadap Kristus dan Murid-Nya (Yohanes 15:20b)
“Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu…”
1. Realitas Penganiayaan
Yesus berbicara dengan kepastian: “mereka akan menganiaya kamu.” Tidak ada kemungkinan lain. Dunia yang telah menolak Kristus pasti akan menolak pengikut-Nya.
Kata “menganiaya” (Yunani: diōkō) berarti mengejar dengan maksud jahat, menekan, atau menyiksa. Ini bukan hanya penderitaan fisik, tetapi juga penolakan sosial, fitnah, dan kebencian terhadap iman.
William Hendriksen menafsirkan ayat ini sebagai sebuah pola rohani:
“Kristus adalah cermin yang memantulkan reaksi dunia terhadap kebenaran. Dunia membenci Dia karena Ia menyingkapkan kejahatan mereka; demikian juga, dunia akan membenci murid-murid yang hidup dalam terang-Nya.”
Yesus menyingkapkan realitas bahwa dunia tidak netral terhadap kebenaran. Dunia yang dikuasai dosa akan selalu menentang terang.
2. Sebab Dunia Membenci
Sebab utama dunia membenci Kristus adalah karena Ia menyatakan dosa dan menuntut pertobatan. Dalam Yohanes 3:19 dikatakan:
“Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat.”
Herman Bavinck dalam Reformed Dogmatics menjelaskan:
“Kebencian dunia terhadap gereja bukanlah sesuatu yang irasional, melainkan akibat langsung dari permusuhan moral antara terang dan kegelapan.”
Bagi orang berdosa, Injil terasa mengancam karena ia menyingkapkan kebenaran yang tidak ingin mereka dengar. Ketika orang Kristen hidup dalam ketaatan dan kesucian, keberadaan mereka saja bisa menjadi kesaksian yang menegur hati nurani dunia.
3. Penganiayaan sebagai Ujian Iman
Namun bagi orang percaya, penganiayaan bukanlah tanda kutuk, melainkan tanda kesatuan dengan Kristus. Dalam Matius 5:10–12, Yesus berkata bahwa orang yang dianiaya karena kebenaran adalah “berbahagia” karena upah mereka besar di sorga.
John Calvin menegaskan:
“Ketika dunia menolak kita karena kita mengikut Kristus, itu adalah bukti bahwa kita sedang berjalan di jalan yang benar. Dunia tidak bisa menoleransi terang Injil.”
III. Dua Respons Dunia terhadap Firman (Yohanes 15:20c)
“…jikalau mereka telah menuruti firman-Ku, mereka juga akan menuruti perkataanmu.”
Bagian kedua dari ayat ini menunjukkan kontras: dunia bukan hanya menganiaya, tetapi juga ada sebagian yang akan menuruti. Dengan kata lain, pemberitaan Injil akan menghasilkan dua reaksi: penolakan dan penerimaan.
1. Prinsip Dua Sisi dari Pemberitaan Firman
Yesus tidak berkata bahwa semua orang akan menolak murid-murid-Nya. Sebagian akan mendengarkan dan menaati, sebagaimana sebagian mendengarkan Kristus. Ini adalah misteri kedaulatan Allah dalam pemilihan dan panggilan.
Herman Bavinck menulis:
“Di bawah pemerintahan ilahi, Firman yang sama yang menegur dunia juga melahirkan iman dalam hati umat pilihan. Keduanya berjalan bersamaan dalam rencana kekal Allah.”
Artinya, tugas kita bukan memastikan hasil, tetapi setia memberitakan Firman. Allah yang berdaulat menentukan siapa yang akan menerima.
2. Kesetiaan dalam Pemberitaan
Murid-murid Kristus harus siap menghadapi kedua reaksi tersebut: penolakan dan penerimaan. Firman yang diucapkan dalam kebenaran akan menimbulkan perpecahan antara mereka yang percaya dan mereka yang menolak. Tetapi bagi yang percaya, Firman itu menjadi “kekuatan Allah yang menyelamatkan” (Roma 1:16).
D.A. Carson dalam komentarnya menulis:
“Yesus tidak menjanjikan keberhasilan dalam arti duniawi. Ia menjanjikan kesetiaan dan keberhasilan rohani bagi mereka yang taat kepada kebenaran.”
IV. Teologi Reformed tentang Penderitaan karena Kristus
Tradisi Reformed memahami penderitaan bukan sebagai kebetulan, melainkan sebagai bagian dari rencana providensia Allah untuk membentuk umat-Nya dalam keserupaan dengan Kristus.
1. Penderitaan sebagai Sarana Pengudusan
Dalam Roma 8:29, Paulus berkata bahwa kita ditentukan untuk menjadi serupa dengan gambar Anak-Nya. Salah satu cara Allah membentuk kita adalah melalui penderitaan.
John Calvin berkata dalam Institutes of the Christian Religion (III.8.1):
“Salib bukanlah hukuman, tetapi sekolah bagi anak-anak Allah. Di bawah tangan Bapa yang bijaksana, penderitaan menjadi alat untuk menundukkan kesombongan dan menajamkan iman.”
Penderitaan melatih kita untuk tidak mengandalkan kekuatan sendiri, tetapi bersandar sepenuhnya kepada kasih karunia Allah.
2. Penderitaan sebagai Bukti Kesatuan dengan Kristus
Dalam Filipi 1:29 dikatakan:
“Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia.”
R.C. Sproul menafsirkan ayat ini sebagai bentuk anugerah ganda: bukan hanya anugerah iman, tetapi juga anugerah penderitaan. Ia menulis:
“To suffer for Christ is not a curse, but a confirmation that we belong to Him.”
(Menderita bagi Kristus bukanlah kutuk, tetapi penegasan bahwa kita milik-Nya.)
3. Penderitaan Gereja dalam Sejarah
Sejak zaman para rasul, gereja selalu berjalan di bawah bayang-bayang salib. Para rasul dianiaya, para martir disiksa, dan banyak orang percaya kehilangan nyawa mereka demi mempertahankan Injil. Namun justru di bawah penganiayaan, gereja bertumbuh dengan kuat.
Seperti dikatakan oleh Tertullian, teolog gereja awal:
“Sanguis martyrum semen ecclesiae.”
(Darah para martir adalah benih bagi gereja.)
Dalam tradisi Reformed, hal ini terlihat nyata pada masa Reformasi. Para tokoh seperti John Hus, William Tyndale, dan John Knox menghadapi ancaman dan kematian, namun kesetiaan mereka menyalakan kembali terang Injil di seluruh Eropa.
V. Aplikasi Praktis bagi Gereja Masa Kini
1. Menyadari bahwa Penderitaan adalah Panggilan
Kita hidup di zaman yang lebih nyaman secara jasmani, namun justru berbahaya secara rohani. Banyak gereja takut berbicara kebenaran karena khawatir kehilangan simpati dunia. Namun Kristus mengingatkan bahwa dunia yang bersahabat dengan gereja yang kompromi bukanlah tanda berkat, melainkan tanda bahaya.
Gereja sejati harus berani berdiri bagi kebenaran, meskipun tidak populer.
John MacArthur, teolog Reformed kontemporer, berkata:
“Jika dunia tidak pernah menolak Anda, mungkin Anda belum cukup menyerupai Kristus.”
2. Menghadapi Penganiayaan dengan Kasih dan Pengharapan
Yesus tidak memanggil kita untuk membalas kebencian dengan kebencian, tetapi untuk mengasihi musuh kita dan berdoa bagi mereka. Inilah keindahan Injil: di tengah penganiayaan, kasih Kristus tetap bersinar.
Dalam 1 Petrus 4:13, Rasul Petrus berkata:
“Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya.”
Kita dipanggil bukan untuk takut, tetapi untuk bersukacita, karena penderitaan karena Kristus adalah tanda bahwa kita sedang berjalan menuju kemuliaan.
3. Menjaga Kesetiaan hingga Akhir
Kesetiaan adalah bukti sejati dari iman. Dunia mungkin menolak, tetapi Kristus akan mengaku kita di hadapan Bapa. Dalam Wahyu 2:10, Yesus berkata:
“Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.”
Kesetiaan bukanlah hasil kekuatan manusia, melainkan karya Roh Kudus yang memampukan kita bertahan.
VI. Penutup: Meneladani Sang Tuan yang Menderita
Yohanes 15:20 bukanlah perkataan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk meneguhkan. Yesus tidak berjanji bahwa jalan bersama-Nya akan mudah, tetapi Ia berjanji bahwa Ia akan menyertai kita sampai akhir.
Kita menderita bukan karena dunia tidak mengenal kita, tetapi karena dunia tidak mengenal Dia yang mengutus kita (Yohanes 15:21). Maka setiap kali kita dianiaya karena iman, kita boleh berkata bersama Paulus:
“Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Galatia 2:20)
Kiranya kita semua tetap berdiri teguh, setia, dan berani bersaksi di tengah dunia yang menolak Kristus — sebab kemuliaan yang akan datang jauh lebih besar daripada penderitaan sekarang (Roma 8:18).