Majelis Westminster dan Karya Allah Melalui Gereja-Nya

Pendahuluan
Setiap zaman dalam sejarah gereja memiliki tantangan dan peperangannya sendiri. Ada masa ketika gereja harus berjuang melawan penganiayaan fisik, ada masa ketika ia harus menghadapi korupsi doktrin dan penyimpangan moral dari dalam. Namun dalam semua itu, Allah senantiasa berdaulat memimpin gereja-Nya untuk berdiri teguh di atas fondasi kebenaran Firman. Salah satu momen besar yang menegaskan kesetiaan Allah itu terjadi pada abad ke-17, melalui Majelis Westminster — suatu sinode besar yang dipanggil di Inggris (1643–1653) untuk menegakkan kembali kemurnian ajaran dan kehidupan gereja.
Majelis Westminster bukan sekadar pertemuan teologis, tetapi sebuah karya pemeliharaan Allah yang menegaskan bahwa gereja milik Kristus akan selalu diperbaharui oleh Firman dan Roh-Nya. Di sinilah lahir Pengakuan Iman Westminster, Katekismus Besar dan Kecil, serta prinsip-prinsip teologi Reformed yang hingga kini menjadi dasar bagi gereja-gereja Presbiterian dan Reformed di seluruh dunia.
Kita akan belajar bahwa melalui karya Majelis Westminster, Allah meneguhkan tiga hal penting:
-
Gereja adalah milik Kristus dan harus ditata sesuai dengan Firman-Nya.
-
Gereja dipanggil untuk memelihara kemurnian ajaran dan penyembahan.
-
Gereja dipanggil untuk mengabarkan Injil dengan iman yang teguh di tengah zaman yang berubah.
I. Gereja Milik Kristus dan Polity yang Berdasarkan Firman
Majelis Westminster muncul di tengah konteks politik dan rohani yang genting. Gereja Inggris saat itu telah banyak menyimpang dari prinsip Alkitab, mengadopsi struktur episkopal (uskup) yang mirip dengan Gereja Katolik, dan menyatukan kekuasaan gereja dengan negara. Namun Allah menggerakkan para hamba-Nya — para pendeta, profesor, dan pengkhotbah saleh — untuk kembali kepada Alkitab sebagai satu-satunya otoritas tertinggi.
Seperti dikatakan oleh John Calvin, “Gereja hanya benar bila Kristus menjadi Kepala satu-satunya, dan bila pemerintahan-Nya dijalankan melalui Firman.” Prinsip inilah yang dihidupi oleh para teolog Westminster seperti Samuel Rutherford, George Gillespie, Thomas Goodwin, dan William Twisse.
Mereka percaya bahwa tata gereja (church polity) bukanlah hasil kreativitas manusia, melainkan pola ilahi yang harus tunduk di bawah otoritas Firman. Karena itu, gereja tidak boleh diperintah oleh seorang paus atau oleh penguasa duniawi, tetapi oleh Kristus melalui para penatua yang ditetapkan sesuai Alkitab.
Westminster Assembly menegaskan tiga prinsip penting mengenai tata gereja:
-
Kristus adalah satu-satunya Kepala Gereja.
Dalam Confession of Faith pasal 25, mereka menulis:“There is no other head of the Church but the Lord Jesus Christ.”
Tidak ada kepala lain selain Kristus. Gereja bukan milik raja, bukan milik paus, dan bukan milik sinode manusia. Ia adalah milik Kristus, dibeli dengan darah-Nya (Kisah Para Rasul 20:28). -
Firman Allah adalah dasar bagi segala bentuk pemerintahan gereja.
Segala aturan, pelayanan, dan ibadah gereja harus bersumber dari Kitab Suci. Bukan tradisi, bukan akal manusia, tetapi Firman Allah yang menuntun. Ini sejalan dengan prinsip Reformasi: Sola Scriptura — hanya Kitab Suci yang menjadi otoritas tertinggi. -
Penatua dan gembala adalah alat Kristus untuk menggembalakan kawanan-Nya.
Gereja Reformed menolak sistem hirarki keuskupan dan menggantinya dengan sistem presbiterial-sinodal, di mana penatua (presbyter) memimpin bersama dalam kedaulatan Kristus. Mereka mencontohkan model gereja mula-mula (Kisah Para Rasul 15), ketika keputusan dibuat oleh para penatua dan rasul secara kolegial.
Seperti dikatakan Charles Hodge, “Polity gereja yang Alkitabiah adalah cerminan dari kerajaan Kristus di bumi — pemerintahan yang kudus, di mana Kristus memerintah melalui Firman-Nya, bukan melalui kuasa manusia.”
II. Kemurnian Ajaran: Inti dari Karya Westminster
Majelis Westminster juga menghasilkan salah satu karya teologis terbesar sepanjang sejarah gereja: Pengakuan Iman Westminster (The Westminster Confession of Faith). Dokumen ini bukan hanya sistem doktrin, melainkan kesaksian iman tentang siapa Allah dan bagaimana manusia diselamatkan oleh kasih karunia-Nya.
Tujuan mereka bukan menciptakan teologi baru, tetapi mengembalikan gereja kepada kebenaran kekal yang telah diajarkan oleh Alkitab dan ditegaskan oleh Reformator seperti Luther, Calvin, dan Zwingli.
1. Allah yang Berdaulat dan Penuh Kasih Karunia
Pengakuan Iman Westminster dimulai dengan pasal yang luar biasa: “Of the Holy Scripture.” Di sana ditegaskan bahwa seluruh pengetahuan tentang Allah hanya dapat diperoleh melalui penyataan-Nya, bukan spekulasi manusia.
Kemudian mereka berbicara tentang Decree of God — ketetapan Allah yang kekal.
Allah, dalam kedaulatan-Nya, menetapkan segala sesuatu yang terjadi untuk kemuliaan-Nya, termasuk keselamatan umat pilihan. Namun ketetapan ini tidak meniadakan tanggung jawab manusia, melainkan menegaskan kebesaran kasih karunia Allah.
Sebagaimana dikatakan John Owen, “Tidak ada penghiburan yang lebih besar bagi orang percaya selain mengetahui bahwa hidupnya ada dalam tangan Allah yang berdaulat.”
2. Keselamatan oleh Kristus Semata
Westminster Confession pasal 8 menegaskan:
“It pleased God, in His eternal purpose, to choose and ordain the Lord Jesus... to be the Mediator between God and man.”
Yesus Kristus adalah satu-satunya Pengantara. Keselamatan tidak dapat diperoleh melalui perbuatan, gereja, atau sakramen, tetapi hanya melalui iman kepada Kristus. Ini adalah inti Injil yang murni — Sola Gratia, Sola Fide, Solus Christus.
3. Kehidupan Kudus sebagai Buah Justifikasi
Majelis Westminster menolak doktrin yang memisahkan iman dan ketaatan. Mereka menegaskan bahwa iman sejati pasti menghasilkan buah kekudusan. Dalam Larger Catechism Q.75 dikatakan:
“Sanctification is a work of God’s grace, whereby they whom God hath chosen are renewed in the whole man after the image of God.”
Kekudusan bukan hasil usaha manusia, tetapi karya Roh Kudus yang memperbaharui kita hari demi hari.
III. Ibadah yang Kudus dan Berpusat pada Firman
Selain doktrin dan tata gereja, Westminster Assembly juga sangat menekankan ibadah yang benar (Reformed Worship). Mereka percaya bahwa ibadah adalah pusat kehidupan gereja, dan karena itu harus sesuai dengan prinsip Alkitab.
Dari sinilah lahir apa yang disebut Regulative Principle of Worship:
“Hanya apa yang diperintahkan Allah dalam Firman-Nya yang boleh dilakukan dalam ibadah.”
Mereka menolak semua bentuk ibadah yang berasal dari tradisi manusia atau selera budaya. Ini bukan legalisme, melainkan bentuk ketaatan kepada Allah yang cemburu atas kemuliaan-Nya.
Seperti dikatakan John Knox, “Jika Allah tidak memerintahkan suatu hal dalam ibadah, maka kita dilarang melakukannya.”
Ibadah sejati bukan pertunjukan emosi atau hiburan rohani, melainkan perjumpaan umat Allah dengan kemuliaan-Nya melalui Firman, doa, dan sakramen.
Dalam konteks gereja modern, prinsip ini menjadi sangat relevan. Banyak gereja menyesuaikan ibadah untuk menarik dunia, tetapi melupakan bahwa ibadah sejati adalah untuk Allah, bukan manusia. Westminster mengingatkan kita: gereja dipanggil untuk menyembah dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24).
IV. Panggilan Gereja untuk Memberitakan Injil dan Mendidik Bangsa
Majelis Westminster bukan hanya berbicara tentang struktur dan doktrin, tetapi juga tentang misi gereja. Mereka percaya bahwa setiap umat yang ditebus dipanggil untuk memberitakan Injil kepada dunia.
Dalam Larger Catechism Q.63 mereka menulis:
“The visible church hath the privilege of being under God’s special care and government; of being protected and preserved in all ages.”
Artinya, gereja adalah alat Allah untuk menjaga terang Injil di dunia. Ia tidak boleh diam atau puas dengan dirinya sendiri.
Menurut Samuel Rutherford, “Gereja yang sejati adalah gereja yang mengutus.”
Artinya, gereja yang hidup adalah gereja yang terus memperluas kerajaan Kristus melalui pemberitaan Firman dan teladan hidup kudus.
Inilah semangat yang juga menggerakkan para Puritan dan misionaris Reformed di kemudian hari. Mereka melihat bahwa kebenaran yang dibela dalam Majelis Westminster bukan hanya untuk dipahami, tetapi untuk dihidupi dan dibagikan.
V. Implikasi bagi Gereja Masa Kini
Apa yang bisa kita pelajari dari karya besar Majelis Westminster bagi gereja masa kini?
-
Kembali kepada otoritas Firman Allah.
Di zaman postmodern ini, banyak gereja tergoda untuk menyesuaikan ajarannya dengan opini publik atau tren budaya. Namun gereja Reformed sejati harus tetap berdiri di atas Firman yang tidak berubah.Seperti dikatakan oleh B.B. Warfield, “Reformed theology is nothing less than the consistent application of the sovereignty of God in every area of life.”
-
Pemimpin rohani harus tunduk kepada Kristus sebagai Kepala Gereja.
Tidak ada pemimpin yang berhak memerintah seolah-olah gereja adalah miliknya. Seorang pendeta hanyalah hamba, penatalayan Kristus. Polity yang sehat menjaga agar gereja tetap tunduk kepada otoritas Kristus, bukan kepada ambisi manusia. -
Ibadah harus murni dan berpusat pada Firman.
Gereja tidak boleh mengejar popularitas, tetapi kesetiaan kepada perintah Allah. Ibadah bukan untuk memuaskan perasaan, tetapi untuk meninggikan Allah. -
Teologi yang kokoh harus diiringi kehidupan yang kudus.
Westminster mengingatkan bahwa doktrin bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk dihidupi. Gereja yang memiliki pengakuan iman yang benar harus menunjukkan buahnya dalam kasih, kesalehan, dan penginjilan. -
Gereja harus menjadi terang di tengah kegelapan zaman.
Dunia membutuhkan gereja yang berani bersaksi tentang kebenaran. Dalam era kebingungan moral, relativisme, dan materialisme, gereja harus berdiri teguh sebagai tiang dan penopang kebenaran (1 Timotius 3:15).
Penutup: Gereja yang Setia kepada Kristus
Saudara-saudara, karya Majelis Westminster adalah bukti nyata bahwa Allah tidak pernah meninggalkan gereja-Nya. Ia terus memelihara umat-Nya dengan kebenaran.
Sebagaimana Allah memakai Luther di Jerman dan Calvin di Jenewa, Ia juga memakai para teolog Westminster untuk memulihkan kemurnian doktrin dan kehidupan gereja di Inggris dan Skotlandia.
Dan kini, warisan itu menjadi milik kita — bukan hanya untuk dipelajari, tetapi untuk dihidupi. Kita dipanggil untuk menjadi gereja yang setia kepada Firman, tunduk pada Kristus, dan hidup bagi kemuliaan Allah saja.
Seperti yang tertulis dalam Westminster Shorter Catechism pertanyaan pertama:
“Apakah tujuan utama hidup manusia?”
“Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya.”
Kiranya gereja di zaman ini kembali hidup dengan visi yang sama: bahwa seluruh keberadaan kita — doktrin, ibadah, pelayanan, dan misi — hanya untuk kemuliaan Allah.
Soli Deo Gloria.